expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Selasa, 18 Maret 2014

Kelompok 6 , PANGANDARAN

TUGAS MAKALAH SOSIOLOGI PERIKANAN
PANGANDARAN CIAMIS JAWA BARAT






Kelompok 6:
Desi Triyani (230110130025)
Cyntia Kurniawati (230110130026)
M. Rionaldhie A (230110130038)
Alan Alamsyah(230110130053)
Muhammad Rizki (230110130054)
Silfi Nur Aulia Ulfa (230110130056)



Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Jalan Raya Bandung – Sumedang Km 21 Jatinagor 45363 Telp. (022) 7796316 Jawa Barat


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah berkenan memberi petunjuk dan kekuatan kepada kami sehingga makalah “Sosiologi Perikanan (Pangandaran, Ciamis Jawa Barat)” ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu meskipun kurang sempurna dalam sisi penulisan maupun isi yang terkandung di dalamnya. Makalah ini kami buat guna memenuhi salah satu tugas Sosiologi Perikanan.
 Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dorongan dan arahan dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, Kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam belajar dan hasilnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



                                                                                                            Penyusun:
                                                                                                            Kelompok 6




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Makalah 
Pangandaran adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian paling selatan kabupaten Pangandaran dan merupakan daerah wisata utama di Kabupaten Pangandaran.Pangandaran berasal dari dua buah kata pangan dan daran yang artinya pangan adalah makanan dan daran adalah pendatang. Jadi Pangandaran artinya sumber makanan para pendatang.
            Dengan lebih banyak memiliki wilayah yang di dominasi perairan. Potensi perikanan di pangandaran sangat besar untuk dikembangkan. Tetapi kehidupan nelayan terutama nelayan tradisional dianggap sebagai kelompok masyarakat miskin dan seringkali dijadikan objek eksploitatif oleh para pemilik modal, harga ikan sebagai sumber pendapatannya dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak.

            Meskipun demikian Pangandaran memiliki sector pariwisata yang sangat menjanjikan, diantaranya keindahan pantai pangandaran, obyek Wisata Citumang, Goa Taringgul, Pantai batu hiu, Pantai Batukaras, Pantai karang nini, Green Canyon atau sungai Cukang Taneuh dengan tebing yang sangat indah dan air hijau bening.

B.     Rumusan Makalah
1.      Sejarah Pengandaran
2.      Potensi Perikanan di Pangandaran
3.      Kehidupan nelayan di Pangandaran
4.      Potensi pariwisata di Pangandaran



                                  
C.     Tujuan Penulisan Makalah
1.      Mahasiswa dapat mengetahui sejarah Pangandaran
2.      Mahasiswa dapat mengetahui potensi perikanan di Pangandaran
3.      Mahasiswa dapat mengetahui kehidupan nelayan di Pangandaran
4.      Mahasiswa dapat mengetahui potensi parawisata di Pangandaran


















BAB II
KAJIAN PUSTAKA

1.      Sejarah Pangandaran
Pada awalnya Desa Pananjung Pangandaran ini dibuka dan ditempati oleh para nelayan dari suku sunda. Penyebab pendatang lebih memilih daerah Pangandaran untuk menjadi tempat tinggal karena gelombang laut yang kecil yang membuat mudah untuk mencari ikan. Karena di Pantai Pangandaran inilah terdapat sebuah daratan yang menjorok ke laut yang sekarang menjadi cagar alam atau hutan lindung, tanjung inilah yang menghambat atau menghalangi gelombang besar untuk sampai ke pantai. Di sinilah para nelayan menjadikan tempat tersebut untuk menyimpan perahu yang dalam bahasa sundanya disebut andar setelah beberapa lama banyak berdatangan ke tempat ini dan menetap sehingga menjadi sebuah perkampungan yang disebut Pangandaran. Pangandaran berasal dari dua buah kata pangan dan daran . yang artinya pangan adalah makanan dan daran adalah pendatang. Jadi Pangandaran artinya sumber makanan para pendatang.

Lalu para sesepuh terdahulu memberi nama Desa Pananjung, karena menurut para sesepuh terdahulu di samping daerah itu terdapat tanjung di daerah inipun banyak sekali terdapat keramat-keramat di beberapa tempat. Pananjung artinya dalam bahasa sunda Pangnanjung-nanjungna ( paling subur atau paling makmur).

Pada mulanya Pananjung merupakan salah satu pusat kerajaan, sejaman dengan kerajaan Galuh Pangauban yang berpusat di Putrapinggan sekitar abad XIV M.  setelah munculnya kerajaan Pajajaran di Pakuan Bogor.  Nama rajanya adalah Prabu Anggalarang yang salah satu versi mengatakan bahwa beliau masih keturunan Prabu Haur Kuning, raja pertama kerajaan Galuh Pagauban, namun sayangnya kerajaan Pananjung ini hancur diserang oleh para Bajo (Bajak Laut) karena pihak kerajaan tidak bersedia menjual hail bumi kepada mereka, karena pada saat itu situasi rakyat sedang dalam keadaan paceklik (gagal panen).
Pada tahun 1922 pada jaman penjajahan Belanda oleh Y. Everen (Presiden Priangan) Pananjung dijadikan taman baru, pada saat melepaskan seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa.
Karena memiliki keanekaragaman satwa dan jenis – jenis tanaman langka, agar kelangsungan habitatnya dapat terjaga maka pada tahun 1934 Pananjung dijadikan suaka alam dan marga satwa dengan luas 530 Ha.  Pada tahun 1961 setelah ditemukannya Bunga Raflesia padma status berubah menjadi cagar alam.
Dengan meningkatnya hubungan masyarakat akan tempat rekreasi maka pada tahun 1978 sebagian kawasan tersebut seluas 37, 70 Ha dijadikan Taman Wisata.  Pada tahun 1990 dikukuhkan pula kawasan perairan di sekitarnya sebagai cagar alam laut (470,0 Ha) sehingga luas kawasan pelestarian alam seluruhnya menjadi 1000,0 Ha.  Perkembangan selanjutnya, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 104 KPTS-II 1993 pengusahaan wisata TWA Pananjung Pangandaran diserahkan dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam kepada Perum Perhutani dalam pengawasan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, Kesatuan Pemangkuan Hutan Ciamis, bagian Kemangkuan Hutan Pangandaran.
Terbentuknya Kabupaten Pangandaran semakin terang sebagai sejarah baru Pangandaran-Jawa Barat, berdasarkan sidang Paripurna DPR RI dan Menteri Dalam Negeri, Kamis, 25 Oktober 2012, Kabupaten Pangandaran disetujui menjadi Kabupaten Baru sebagai Pemekaran dari Kabupaten Ciamis-Jawa Barat. Awal tonggak Sejarah Pangandaran akan segera terlahir sebagai Daerah Otonomi Baru di Indonesia, sedangkan untuk pembentukan susunan pejabat daerah, baru akan bisa dilaksanakan pada tahun 2013 mendatang, dan peresmian Kabupaten Pangandaran sekitar 9 bulan mendatang.
Sejarah Baru Pangandaran menjadi Kabupaten sebagai awal lahirnya Pangandaran sebagai Kota Wisata terpisah dari Kabupaten Ciamis. Jika kita pernah mendengar Sejarah Pangandaran tempo dulu hanya sebuah perkampungan nelayan yang dihuni oleh beberapa kepala keluarga, tetapi jika kita tengok lebih kebelakang tentang cerita Pinisepuh dan Sesepuh Pangandaran, sesungguhnya Sejarah Pangandaran begitu besar, kita bisa lihat di Cagar Alam Pangandaran banyak peninggalan sejarah dari jaman KEDEWAAN seperti sendang Rengganis, sejarah Hindu seperti Situs Batu Kalde, dan sejarah perkembangan Pangandaran hingga sekarang akan menjadi Kabupaten Pangandaran.

2.      Potensi Perikanan di Pangandaran

Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Ciamis mencatat produksi tangkapan ikan laut yang dilakukan nelayan di wilayah Ciamis selatan, sepanjang tahun 2011 mencapai 441,77 ton, atau perputaran uang yang dihasilkan mencapai angka Rp. 7,415 milyar.

Plh Kepala DKP Kab. Ciamis, Sutriaman, Kamis (27/1), mengatakan, tangkapan ikan nelayan belum optimal. Apalagi akhir-akhir ini, cuaca ektrim membuat nelayan tidak mungkin untuk melaut. Angka tersebut sebetulnya masih belum optimal. Tangkapan ikan kali ini juga dipengaruhi cuaca buruk dan gelombang pasang, jadinya kurang maksimal. Padahal berdasarkan data tangkapan ikan tahun 2006 cukup lebih baik, bahkan catatan tahun 2009 hasil tangkapannya jauh lebih baik, ungkapnya.

Sutriaman mengutarakan, tangkapan ikan untuk tahun 2012 mengalami kemerosotan. Banyak diantara nelayan yang enggan melaut, lantaran cuaca sering tidak bersahabat. Padahal mereka berharap, dengan adanya bantuan kapal, hasil tangkapan ikan bisa lebih meningkat seperti tahun-tahun sebelumnya.
Potensi hasil tangkapan ikan nelayan Pangandaran, bisa mencapai Rp 200 juta perhari. Namun, belum semua potensi itu bisa dimaksimalkan oleh nelayan, akibat  keterbatasan alat tangkap modern, katanya.

Di tempat terpisah, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kab. Ciamis, Jeje Wiradinata, menyebutkan, potensi hasil tangkapan ikan nelayan Pangandara bisa berkisar antara Rp. 150 sampai 200 juta perhari, namun yang baru terealiasi hanya sekitar Rp 50 juta. Meski pendapatan anjlok total. Namun hasil tangkapan perhari masih bertahan di angka Rp.50 juta. Kondisi itu lumayan dianggap baik, karena tangkapan ikan mengunakan alat tradisional, ungkapnya.Jeje menjelaskan, kemungkinan hasil tangkapan ikan belum bisa stabil, selama cuaca tidak menentu. Hanya saja, ada harapan lain, dengan pulihnya tujuh Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada di Pangandaran.

Terakhir KUD yang dipulihkan yakni KUD Minasari Pangandaran, yang beroperasi kembali pertanggal 10 Januari. Segala kebutuhan dan keperluan nelayan mudah-mudahan terpenuhi, ungkapnya. Buntut pulihnya KUD, sejumlah Tempat Pelelangan Ikan (TPI) juga hidup. Harga ikan di tingkat nelayan juga mengalami kenaikan. Misalnya, harga jual ikan bawal dari biasanya dijual Rp.140 ribu perkg, di TPI Minasari bisa dilelang dengan harga Rp.195 ribu hingga Rp.200 ribu perkg. Dan untuk bawal putih tipe dua saja bisa dijual serendah-rendahnya Rp.150 ribu per kg.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis Sutriaman mengatakan jika pada tahun 2013 ini, pihaknya mengaloka­sikan anggaran sebesar Rp 68 Milyar untuk pe­ngembangan budidaya ikan dari Kabupaten Ciamis. "Anggaran tersebut diproyeksikan untuk Balai Benih Ikan (BBI) karena di Pangandaran wilayahnya sangat potensial dalam pengembangan budi daya ikan. Sedang­kan dana stimulan dari DAK tahun 2013 untuk Kelompok Kawungsari sebesar Rp 300 Juta," kata Sutriaman dalam kegiatan Penilaian Kelompok Pembu­didaya Ikan (POKDA­KAN) Ka­wungsari Desa Kerta­yasa Keca­matan Cijulang pekan lalu.

Penilaian dilakukan langsung rombongan tim penilai Tingkat Provinsi Jawa Barat, yang dihadiri oleh Pen­jabat Bupati Pangandaran Endjang Na­ffandy, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cia­mis Sutriaman, Kepala Dinas Kelautan Perikan­an dan Kehu­tanan Kabupaten Pangandaran, Adi Nugraha dan beberapa Kepala SKPD, Camat, dan pela­ku usaha perikanan se Ka­bupaten Pangandaran. Ketua Tim Penilai Lomba UPR Ting­kat Jabar Heri Guna­wadi me­nyebutkan, penilaian dilakukan dalam rangka pembinaan dan evaluasi tentang kegiatan usaha perikanan. Harapannya produktivitas pembudidaya terdongkrak, namun berharap binaan bukan hanya seremonial belaka saya yakin Pimpinan kepala daerah sekarang bpk H Enjang Napandy lebih peduli dan pokus terhadap pemberdayaan yang sudah nyata di masyarakat ujar Ujang Sapdia di kolam ikan koi di Cibenda Parigi ketika di konfirmasi.

“Jujur di sini kami beberapa orang yang tergabung dalam kelompok sudah berjalan hampir 4 tahun melaksanakan pemberdayaan ikan konsumsi (lele,gurame dll) adapun saat ini kami memberdayakan ikan koi dan bebek pedaging alhamdulilah sudah panen beberapa kali dan hasilnya lumayan bagus apalagi belum banyak pesaing.” Ujar bpk H Enjang.

3.      Komunitas nelayan di Pangandaran
          Setiap komunitas terdiri atas elemen pembentuknya yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan utuh yang terikat melalui suatu jaringan sosial. Jaringan sosial pada suatu masyarakat menunjukkan berbagai tipe hubungan sosial yang terikat atas dasar identitas kekerabatan, ras, etnik, pertemanan, ketetanggaan, ataupun atas dasar kepentingan tertentu. Menurut Boissevain (1978), jaringan sosial masyarakat adalah struktur sosial masyarakat itu sendiri. Jaringan sosial adalah pola hubungan sosial di antara individu, pihak, kelompok atau organisasi. Jaringan sosial memperlihatkan suatu hubungan sosial yang sedang terjadi sehingga lebih menunjukkan proses daripada bentuk (Bee, 1974). Menurut Warner (dalam Scott, 1991) hubungan sosial yang terjadi bersifat mantap/permanen, memperlihatkan kohesi dan integrasi bagi bertahannya suatu komunitas, serta menunjukkan hubungan timbal balik. Dengan demikian, suatu komunitas pada dasarnya merupakan kumpulan hubungan yang membentuk jaringan sebagai tempat interaksi antara satu pihak dengan pihak lainnya. Menurut Mitchell, (dalam Scott, 1991) kekuatan jaringan dipengaruhi oleh resiprositas, intensitas, dan durabilitas hubungan antarpihak.

          Jaringan sosial pada komunitas nelayan dapat dibedakan atas tiga bentuk, yaitu jaringan vertikal (hirarkis), jaringan horizontal (pertemanan), dan jaringan diagonal (kakak-adik) (Wolf, 1966; Scott, 1972. Hubungan vertikal (hirarkis) adalah hubungan dua pihak yang berlangsung secara tidak seimbang karena satu pihak mempunyai dominasi yang lebih kuat dibanding pihak lain, atau terjadi hubungan patron-klien. Hubungan diagonal adalah hubungan dua pihak di mana salah satu pihak memiliki dominasi sedikit lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Hubungan horizontal adalah hubungan dua pihak di mana masing-masing pihak menempatkan diri secara sejajar satu sama lainnya. Pada kenyataannya dalam suatu komunitas, termasuk komunitas nelayan1, ke tiga bentuk jaringan ini saling tumpang tindih dan bervariasi, serta bentuk yang satu tidak dapat secara tegas dipisahkan dari bentuk lainnya (Rudiatin, 1997. Jaringan sosial ini merupakan salah satu bentuk strategi nelayan dalam menghadapi lingkungan pekerjaannya yang tidak menentu (Rudiatin; Kusnadi, 2000).

          Kehidupan nelayan terutama nelayan tradisional dianggap sebagai kelompok masyarakat miskin dan seringkali dijadikan objek eksploitatif oleh para pemilik modal(Bailey, 1982). Harga ikan sebagai sumber pendapatannya dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak (Mubyarto dan Dove, 1985), sehingga distribusi pendapatan menjadi tidak merata. Gejala modernisasi perikanan tidak banyak membantu bahkan membuat nelayan atau nelayan buruh menjadi terpinggirkan (Satria, 2001). Kehadiran lembaga ekonomi, seperti koperasi, belum sepenuhnya dapat membantu upaya peningkatan taraf hidup nelayan.

          Ketergantungan para nelayan tradisional kepada para pemilik modal cukup besar karena pendapatan mereka tidak menentu, baik untuk memenuhi kebutuhan produksi ataupun kebutuhan hidup rumah tangganya. Dalam penyediaan alat produksi, nelayan seringkali harus membina hubungan dengan pihak penyandang dana. Nelayan pun membina hubungan dengan nelayan buruh yang akan membantunya dalam kegiatan penangkapan ikan. Dalam aktivitas distribusi pemasaran, para nelayan juga berhubungan dengan pihak lain seperti para pedagang. Berbagai hubungan yang dibina oleh para nelayan tersebut menunjukkan bahwa hubungan tersebut dapat seimbang atau tidak seimbang. Hubungan tidak seimbang biasanya menjadi hubungan patron-klien, dimana patron mempunyai dan memperoleh sumber daya yang berlebih dibanding kliennya. Sedangkan hubungan yang seimbang memperlihatkan pola hubungan yang bersifat pertemanan, seperti hubungan antarnelayan. Kedua pola hubungan sosial tersebut terjadi pada kelompok nelayan kecil (tradisional) atau pun pada kelompok nelayan besar. Namun, pola hubungan dalam kelompok nelayan besar lebih kompleks daripada dalam kelompok nelayan kecil, baik segi kuantitas atau pun kualitasnya. 

          Di Indonesia, sebagian besar kelompok nelayan tergolong ke dalam jenis nelayan kecil (tradisional) yang memiliki pola ekonomi subsisten. Untuk meningkatkan jumlah produksi mereka maka peralatan produksinya perlu diganti dengan yang lebih modern. Namun beberapa penelitian sebelumnya terhadap nelayan skala besar menunjukkan bahwa distribusi pendapatan tidak memihak kepada mereka yang benar-benar sebagai nelayan, termasuk nelayan buruh. Hal ini dikarenakan peralatan produksi merupakan milik penanam modal, sedangkan nelayan hanya berperan sebagai anak buah kapal (ABK). Oleh karena itu, surplus produksi lebih banyak dinikmati oleh para pemilik modal dan para pedagang/tengkulak (Rudiatin, 1997; Kusnadi, 2000; dan Satria, 2001). Modernisasi produksi bagi kalangan nelayan skala kecil tidak cukup dengan hanya mengganti peralatan produksi. Meskipun demikian penting pula upaya memberdayakan nelayan kecil sekaligus mengembangkan hubungan-hubungan sosial di antara pihak yang terkait dalam sistem produksi dan sistem distribusi pemasarannya. 
          Mengapa? Karena pada kedua aspek tersebut, seringkali nelayan menempati posisi yang tidak menguntungkan. Peningkatan usaha dan pendapatan nelayan tergantung dari dua aktivitas nelayan tersebut, yaitu perbaikan sistem produksi dan sistem distribusi pemasaran. Ke dua faktor ini penting mengingat perbaikan sistem produksi akan mengakibatkan hasil produksi yang lebih besar, sedangkan perbaikan dalam sistem distribusi pemasaran mengakibatkan pembagian keuntungan akan menyebar secara merata dan adil.
          Masalah yang dikaji sehubungan kondisi di atas adalah sejauh mana kondisi hubungan sosial pada komunitas nelayan tradisional yang menyebabkan nelayan berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Makalah ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang:

-  Karakteristik sosial ekonomi nelayan Pangandaran

- Jaringan sosial komunitas nelayan yang berhubungan dengan aktivitas produksi, dan

- Jaringan sosial komunitas nelayan yang berhubungan dengan mekanisme distribusi pemasarannya. 

          Makalah  ini ditulis berdasarkan penelitian deskriptif terhadap nelayan tradisional di desa Pangandaran Ciamis, Jawa Barat. Nelayan di desa ini telah secara turun-temurun beraktivitas sebagai nelayan tradisional. Populasi penelitian adalah seluruh nelayan di desa Pangandaran yang terdaftar sebagai anggota koperasi nelayan Mina Sari, satu-satunya koperasi nelayan di desa ini. Sampel dipilih secara acak sistematis (sistematic random sampling) berdasarkan data anggota koperasi, sebanyak 40 responden nelayan (nelayan pemilik) dan 40 responden pendega (nelayan buruh). Data primer diperoleh melalui kuesioner. Selain itu, data juga diperoleh melalui wawancara terstruktur dan wawancara mendalam terhadap informan nelayan, pendega, pedagang, dan pengurus koperasi, serta melalui pengamatan. Data sekunder diperoleh melalui buku Profil Desa dan Laporan Tahunan Koperasi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus dan Nopember tahun 2000, peneliti juga telah mengenal kehidupan nelayan di desa ini pada masa sebelumnya. 

         
Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan

          Nelayan merupakan jenis pekerjaan yang digeluti oleh lebih dari separuh penduduk desa (56,8%), baik yang tergolong sebagai nelayan pemilik ataupun nelayan buruh (pendega). Nelayan Pangandaran tergolong ke dalam nelayan kecil atau nelayan tradisional, yang beroperasi menggunakan perahu kecil berawak dua orang dengan cara kerja dan peralatannya masih sederhana. Salah satu faktor yang menyebabkan nelayan Pangandaran tidak mengoperasikan jenis perahu besar seperti yang digunakan oleh para nelayan besar adalah ketiadaan darmaga bagi kebutuhan berlabuh. Demi peningkatan produksi, keberadaan dermaga ini sangat diidamkan oleh para nelayan dan terus diupayakan agar pemerintah membangunnya. Meskipun demikian hingga saat penelitian ini berlangsung, pembangunan dermaga tersebut belum ada tanda-tanda terealisir.

          Untuk menyokong kegiatan usaha, nelayan membentuk koperasi (KUD Mina Sari) yang diharapkan dapat mempermudah pengadaan peralatan. Koperasi ini berkembang menjadi usaha simpan pinjam yang merupakan salah satu sumber dana bagi nelayan, baik kebutuhan dana operasional usaha ataupun untuk keperluan rumah tangganya. Koperasi ini terus berkembang bahkan hingga saat ini telah mempunyai tambahan unit usaha berupa gedung pertemuan dan olah raga serta warung telepon. Jumlah anggota koperasi pada tahun 1999 sebanyak 668 orang. Koperasi ini tidak terbuka bagi nelayan buruh walaupun ada pendega yang telah menjadi anggota koperasi karena sudah lama dan faktor pertimbangan lain yang diputuskan oleh rapat anggota koperasi. Kepentingan pendega atas pelayanan koperasi, seperti pinjaman uang atau barang, diatasnamakan kepada nelayan (sebagai majikannya). 

          Koperasi ini juga menangani kegiatan pemasaran (distribusi) ikan melalui kegiatan usaha tempat pelelangan ikan (TPI). TPI yang dikelola koperasi adalah satu-satunya pintu masuk bagi para pedagang/tengkulak untuk melakukan pelelangan ikan. Tidak semua pedagang/tengkulak dapat ikut lelang di TPI tetapi hanya sekitar 4-5 orang pedagang yang bermodal besar. Para nelayan tidak berhubungan langsung dengan para pedagang atau tengkulak dalam proses pelelangan ikan tetapi diserahkan sepenuhnya kepada petugas TPI.

          Selain koperasi, pada pertengahan tahun 2000 telah pula terbentuk susunan pengurus kelompok nelayan di bawah naungan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). HNSI Pangandaran membawahi seluruh nelayan Pangandaran dan sekitarnya. Oleh karena pembentukan susunan pengurus HNSI baru dibentuk tidak lama sebelum penelitian dilakukan, maka kegiatan atau pun sosialisasi program yang akan dijalankan belum dapat didiskusikan.

Jaringan Sosial dalam Sistem Produksi Nelayan

          Pada umumnya, para nelayan majikan di Pangandaran adalah pemilik alat produksi dan ikut terlibat langsung dalam proses produksi (penangkapan ikan). Hanya sebagian kecil dari mereka yang tergolong menjadi nelayan yang tidak aktif melaut. Mereka tidak aktif karena faktor usia atau perempuan yang melanjutkan usaha suami. 

          Bagaimana jaringan sosial sehubungan dengan kegiatan produksi? Sistem produksi nelayan terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu kegiatan penyediaan alat-alat produksi pemeliharaan alat-alat produksi dan penangkapan ikan.

Pengadaan Alat-alat Produksi

          Alat-alat produksi seperti perahu, jaring, mesin, wadah-wadah dan alat-alat lainnya disediakan oleh nelayan itu sendiri. Alat-alat tersebut pada umumnya dibeli dari pihak lain. Nelayan harus menyediakan modal uang untuk membeli peralatan tersebut. Memang, modal uang tidak selamanya berasal dari uang milik sendiri tetapi berupa pula uang pinjaman. Hampir separuh nelayan (45%) masih membutuhkan dana pinjaman untuk membeli peralatan. Pihak utama yang menjadi penyedia modal adalah koperasi. Pihak lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.

          Oleh karena itu, nelayan tradisional di Pangandaran dapat dikatakan sebagai nelayan pemilik modal atau pemilik alat produksi sekaligus sebagai nelayan yang aktif melaut. Hal ini berbeda dengan kondisi nelayan skala besar karena pemilik peralatan biasanya para pemilik modal yang tidak aktif melaut, sedangkan nelayannya hanya berperan sebagai anak buah kapal (Bailey, 1982; Lampe, 1989; Rudiatin, 1997; Kusnadi, 2000; Satria, 2001). Oleh karenanya, pemilik modal dapat dibedakan menjadi pemilik modal yang meminjamkan uangnya kepada nelayan, seperti koperasi, dan pemilik modal yang menginvestasikan uangnya untuk membeli peralatan produksi sebagai miliknya sendiri.

          Peralatan produksi diperoleh nelayan dengan cara membeli di koperasi ataupun di tempat lain. Perahu biasanya dibeli dari Cilacap Jawa Tengah, sebuah kota nelayan di pantai selatan Jawa Tengah yang letaknya tidak jauh dari Pangandaran. Pembelian perahu ini biasanya difasilitasi oleh koperasi sekaligus sebagai penyandang sebagian bahkan keseluruhan dana yang diperlukan. Dalam pelaksanaannya, biasanya satu atau dua pengurus koperasi melakukan pembelian perahu tersebut ataupun peralatan lainnya, yang kadangkala pula pergi bersama-sama dengan nelayan yang membutuhkannya.

          Sebagai penjerat ikan, para nelayan menggunakan jaring nilon/gilnet, jaring senar, jaring arad, jogol dan pancing. Untuk memperoleh jaring ini, nelayan dapat membelinya dari koperasi, toko atau pedagang keliling yang juga menyediakan alat-alat lainnya. Ada pula nelayan yang membelinya di Tanjung Priok Jakarta atau di Cirebon karena harganya lebih murah. 

          Kondisi yang sama juga berlaku dalam pembelian/penyediaan mesin motor. Mesin motor dapat mereka peroleh dengan cara membeli di toko terdekat atau tempat lain dengan perkiraan memperoleh harga yang lebih murah. Beberapa nelayan membeli mesin motor bekas yang diperolehnya melalui perantara yang mendapatkannya dari Cilacap, Cirebon ataupun Jakarta dengan harga separoh dari harga baru. 

          Kalangan pendega sebetulnya juga berkeinginan untuk menjadi nelayan yang mempunyai peralatan produksi sendiri (82,5%). Namun hingga saat ini mereka tidak memiliki dana untuk membeli alat produksi tersebut. Terdapat beberapa hambatan yang dirasakan pendega dalam upaya mereka memperoleh dana. Hampir separuh dari para pendega (45%) kesulitan mencari pinjaman dana karena merasa tidak memiliki jaminan/agunan, dan sekitar sepertiganya (35%) karena merasa penghasilannya tidak menentu sehingga takut tidak dapat mengembalikan pinjaman.

Pemeliharaan Alat-alat Produksi

          Kegiatan lain sehubungan kegiatan produksi ini adalah kegiatan pemeliharaan alat-alat produksi. Alat yang secara rutin memerlukan perhatian nelayan adalah jaring penangkap ikan. Walaupun demikian tentunya dua peralatan lainnya (perahu dan mesin motor) juga membutuhkan perhatian, meskipun untuk kedua alat ini pada tingkat kerusakan tertentu dikerjakan oleh bengkel. Kegiatan pemeliharaan alat ini biasanya melibatkan nelayan sendiri, pihak keluarga dan pendega, serta pihak lain seperti warung/toko sebagai penyedia bahan dan bengkel sebagai penyedia jasa terampil. 

          Kerusakan yang terjadi pada alat jaring, seperti jaring sobek, dikerjakan oleh nelayan dan pendega. Keterlibatan pendega dalam kegiatan ini merupakan bagian dari tugas sebagai pendega. Namun, tugas ini lebih merupakan bantuan yang diharapkan oleh nelayan dari pendeganya. Pekerjaan seperti membetulkan jaring ini seringkali menjadi sumber konflik ringan manakala pendega tidak ikut terlibat dengan alasan yang tidak jelas. Nelayan biasanya tidak senang bila mempunyai pendega yang tidak peduli dengan urusan ini, kecuali ada urusan yang sangat penting. Jika hal ini terjadi, nelayan harus mengerjakannya seorang diri atau dibantu oleh salah satu anggota keluarganya. Jika ketidakpedulian pendega berulang kali dilakukan maka dapat menjadi sebab terjadinya pemutusan hubungan kerja. Di sini terlihat bahwa hubungan melayan-pendega tidaklah setara tetapi memperlihatkan hubungan yang hirarkis. Namun jika pendega peduli akan hal ini maka akan potensial untuk membentuk dan mempertahankan jalinan hubungan sosial nelayan-pendega. Kondisi tersebut sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan hubungan nelayan pendega dalam kegiatan pemeliharaan perahu dan mesin motor. Pada tingkat tertentu, ketika kerusakan perahu dan mesin yang tidak membutuhkan jasa trampil biasanya kegiatan ini hanya melibatkan nelayan dan pendega. Sebuah kasus yang terjadi saat penelitian ini dilakukan adalah seorang nelayan tidak pergi ke laut karena galah penyeimbang perahu patah terkena ombak. Kejadian ini menyebabkan pendega harus libur kerja dan justru ditugaskan untuk mengganti galah tersebut, yaitu dengan mencari bambu dari jenis tertentu yang tempatnya cukup jauh. Berkenaan dengan pekerjaan ini, pendega tersebut tidak menerima upah khusus dari nelayan majikannya tetapi hanya diberi uang untuk keperluam membeli bambu dan transport saja. Demikian pula jika terjadi kerusakan pada mesin motor maka orang yang mengantarkannya ke bengkel adalah nelayan sendiri, anggota keluarga, atau oleh pendeganya. Pendega biasanya menjadi pihak tumpuan nelayan dalam mengerjakan hal yang berkaitan dengan pekerjaan nelayan di luar kegiatan mencari/menangkap ikan di laut. Dengan demikian sebenarnya pekerjaan nelayan dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu pekerjaan di laut dan pekerjaan di darat. 

          Pekerjaan di laut lebih merupakan hubungan kerja yang memperlihatkan hubungan yang bersifat ekonomi semata. Hal ini dapat dijumpai pada hubungan kerja antara nelayan dengan siapapun yang menjadi pendeganya. Baik pendega tetap maupun pendega sementara (‘cabutan’) mendapatkan upah yang sama, yaitu 20% dari penghasilan kotor. Sedangkan pekerjaan di darat kurang memperlihatkan hubungan kerja yang bersifat ekonomi tetapi justru lebih melibatkan dimensi lain, sosial dan psikologis. Mengapa demikian? Pekerjaan di darat ini dianggap nelayan sebagai konsekuensi logis dari hubungan kerja nelayan-pendega yang merupakan wujud kebersamaan dalam rangka mencari nafkah sehingga harus saling membantu. Dari pihak pendega diketahui bahwa sudah sepantasnya bila pendega membantu pekerjaan nelayan karena pendega memiliki ketergantungan kepada nelayan, bukan saja sebatas hubungan kerja tetapi juga hubungan di luar kerja. Seringkali pada masa sulit ikan, penghasilan menurun, pendega membutuhkan uluran tangan majikannya (nelayan) demi menutupi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Jadi, majikan diposisikan sebagai pelindung dan penjamin sosial bagi kehidupan keluarga pendega. Kasus seorang pendega ketika menyelenggarakan hajatan sunatan anaknya, misalnya, ia menerima bantuan dana hajatan, biaya sewa mobil, dan biaya dokter. Majikannya tersebut juga menjadi orang yang dituakan dalam acara hajatan tersebut. Demikian pula terjadi hal yang sebaliknya, pada kasus yang dialami isteri seorang pendega yang ikut membantu membuat kue dan makanan lainnya pada keluarga majikan (nelayan) ketika majikannya menikahkan putranya. Dari kasus ini terlihat bahwa hubungan antara nelayan dan pendega tidak hanya terbatas pada ‘kontrak’ kerja tetapi meluas pada hubungan sosial dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Kegiatan Penangkapan Ikan
         
          Beberapa kegiatan yang termasuk dalam kegiatan penangkapan ikan ini adalah penyiapan peralatan dan penangkapan ikan. Pihak yang terkait dengan nelayan dalam kegiatan ini adalah pendega, anggota keluarga, jasa angkut peralatan dan jasa angkat-turun perahu ke laut (pangegoh). 

          Kegiatan penangkapan ikan dilakukan pada waktu yang cukup bervariasi. Secara umum dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu penangkapan ikan pada pagi hari, siang/sore hari, dan malam hari. Penyiapan jaring dan mesin biasanya melibatkan nelayan dan pendega, kadang-kadang juga anggota keluarga nelayan. Peranan anggota keluarga dalam proses produksi ini terletak dalam proses persiapan ketika hendak berangkat ke laut. Isteri biasanya berperan dalam menyiapkan perbekalan makan dan anak yang laki-laki biasanya membantu dalam menyiapkan kelengkapan lainya, seperti membantu mengangkat jaring atau mesin. Sebagian nelayan juga mempunyai tukang/jasa angkut yang sekaligus mempersiapkan peralatannya. Peralatan selengkapnya dibawa dengan menggunakan gerobak dorong dari rumah ke pantai atau sebaliknya dari pantai ke rumah. 
         
          Pihak yang tidak kalah pentingnya dalam proses kegiatan produksi adalah para pangegoh. Pangegoh bertugas memindahkan perahu di pantai yaitu menaikkan perahu dari air ke darat atau sebaliknya menurunkannya dari darat ke air. Pangegoh ini bekerja dalam bentuk kelompok. Satu kelompok pangegoh terdiri dari 8 orang. Di antara sesama pangegoh telah dibagi berdasarkan wilayah dan mereka harus selalu siap bekerja kapanpun diperlukan para nelayan yang hendak melaut. Setiap kelompok pangegoh menangani sekitar 30 perahu. Pangegoh ini mendapatkan upah secara harian, setelah nelayan selesai menjual ikannya di TPI.

          Dalam mencari ikan, sesuai dengan jenis perahu bertipe kecil, cukup dilakukan oleh dua orang, yaitu seorang nelayan (majikan) dan seorang pendega. Jumlah pendega yang menjadi mitra nelayan sama dengan jumlah perahu yang dimilikinya. Pemilikan jumlah perahu terbanyak adalah dua perahu (82,5%). Para nelayan tidak bisa bekerja bila tidak ada pendega sebagai pendampingnya. Pembagian tugas di laut tidaklah tegas, seperti kegiatan menyebar atau menarik jaring tidaklah kaku, keduanya saling berganti dalam melakukan berbagai pekerjaan. 

          Dalam bidang pendapatan, nelayan majikan mendapatkan bagian yang lebih tinggi (80%). Besarnya jumlah pembagian yang diperoleh nelayan majikan dikarenakan majikan menguasai peralatan produksi, dimana untuk perlatan tersebut, majikan memperolah bagian sebesar 60%. Akan tetapi bila dilihat dari peran mereka sebagai nelayan maka baik majikan ataupun pendega sama-sama memperoleh bagian sebesar 20%. Upah sebesar itu merupakan konsekuensi logis dari hubungan kerja (ekonomi) selama 6-8 jam melaut mencari ikan. Hal ini berlaku secara umum pada komunitas nelayan di Pangandaran yang menentukan pembagian hasil tidak berdasar upah tetap (absolut) tetapi berdasarkan prosentase dari pendapatan sekali penangkapan ikan.

          Secara ekonomi, status majikan lebih tinggi dari pendeganya. Kemampuan ekonomi yang relatif terbatas dari pendega seringkali mengakibatkan majikan menjadi salah satu pihak yang dimintai bantuan oleh si pendega. Berdasarkan kemampuan ekonomi ini, nelayan majikan menjadi patron bagi si pendega. Berbagai bantuan pada bidang ekonomi dari majikan menjadikan pendega mempunyai utang budi terhadap majikannya. Sebagai contoh lebih dari dua pertiga (82,5%) dari pendega pernah memiliki hutang kepada majikannya. Saat ini, hampir separuh pendega (42,5%) mempunyai hutang kepada majikannya dan lebih dari separuhnya (60%) meminjam dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari. Dengan demikian, hubungan nelayan dengan pendega bukanlah semata-mata terbatas pada hubungan kerja (bersifat ekonomi) tetapi juga meluas pada hubungan di luar hubungan kerja tersebut. Keterikatan keduanya dalam hubungan kerja diperkuat oleh hubungan sosial yang mereka bentuk di luar hubungan kerja.

          Dalam mencari calon pendega, lebih dari separuh nelayan mencarinya sendiri (57,5%), sedangkan sisanya mendapatkannya melalui perantara seperti keluarga/kerabat, tetangga, atau teman. Dilihat dari siapa itu pendega dalam hubungannya dengan nelayan, sekitar sepertiga (37,5%) pendega merupakan orang lain (bukan kerabat, tetangga atau teman) yang biasanya berasal dari luar desa, tetapi sekitar sepertiga juga (35%) pendega masih mempunyai hubungan keluarga/kerabat dengan nelayan. Sedangkan sepertiga lainya merupakan tetangga dan teman. Hal ini menunjukkan bahwa para nelayan tidak terlalu mementingkan asal usul atau kedekatan sosial siapa yang menjadi pendeganya. Aspek yang dipentingkan adalah pendega mau bekerja dengan baik, jujur, dan ada saling pengertian (cocok) karena menurut mereka tidak selamanya pendega yang berasal dari kerabat sendiri mempunyai hubungan kerja sama yang baik. 

          Dalam mempertahankan dan membina hubungan baik dengan para pendeganya, para nelayan berupaya bertindak baik terhadap para pendega (40%) dan ikut menyelesaikan kesulitan yang dihadapi pendega (35%). Sebagai contoh, bilamana ada di antara pendega yang membutuhkan dana maka majikan dianggap perlu untuk memberikan bantuan. Data menunjukkan bahwa hampir separuh nelayan (42.5%) mengakui bahwa para pendeganya saat ini masih mempunyai hutang (pinjaman) karena kebutuhan ekonomi sehari-hari (50%). Begitu pula dalam menjaga hubungannya dengan majikan, para pendega berusaha untuk bertindak baik kepada majikan/ keluarganya (27,5%) dan menjaga kejujuran, rajin serta tepat waktu bila diperlukan oleh majikan (65%). Saling membantu dalam pekerjaan dan kehidupan keseharian menjadi faktor penting dalam mempertahankan hubungan sosial di antara mereka.

Jaringan Sosial Dalam Sistem Distribusi Pemasaran

          Sistem distribusi yang dimaksudkan adalah sistem penjualan dari hasil ikan yang diperoleh nelayan. Sistem distribusi dapat dilihat melalui dua kegiatan yaitu kegiatan pengangkutan dan penjualan/pelelangan ikan. Kegiatan pengangkutan adalah kegiatan penanganan ikan yang dilakukan sejak tibanya atau kembalinya nelayan dari kegiatan menangkap ikan hingga ikan tersebut berada di tempat penjualan ikan, yaitu tempat pelelangan ikan (TPI) atau pihak konsumen. Kegiatan distribusi ini juga dikenal sebagai kegiatan pemasaran. Secara umum, pihak yang terlibat dengan nelayan dalam sistem distribusi atau pemasaran ikan ini adalah jasa angkutan, pihak TPI/Koperasi, dan pedagang.

Kebutuhan Angkutan
         
          Jasa angkutan dalam sistem distribusi ini adalah jasa pembawa ikan hasil tangkapan dari pantai ke tempat pelelangan. Pada awalnya jasa ini dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan gerobak dorong atau becak sebagai alat angkutnya tetapi pada saat ini telah menggunakan mobil sehingga daya angkutnya semakin banyak (ikan milik beberapa nelayan dapat diangkut secara sekaligus) dan semakin cepat. Pada saat para nelayan merapat ke pantai maka tukang angkut membawa ikan milik para nelayan ke TPI secara silih berganti. 

          Sebagian nelayan bahkan tidak hanya mempercayai pengangkut ikan ini dalam kegiatan pengangkutan ikan saja tetapi kadang-kadang ia diminta untuk ‘menjual’ ikan di tempat lelang. Pada kondisi seperti ini, nelayan hanya menerima uang hasil penjualan ikannya di rumah. Para pengangkut ikan ini mendapatkan upah dengan tarif yang tidak tetap, tergantung dari jarak dari lokasi pendaratan ke TPI, dan jumlah (berat) ikan. Nelayan dan pengangkut ikan ini sudah mempunyai perkiraan berapa jumlah upah yang semestinya. Pada saat harga ikan sedang tinggi dan hasil tangkapan tergolong banyak, tukang angkut inipun akan menerima upah yang lebih (ada tip) dari biasanya. Hubungan keduanya tetap berjalan dengan baik karena diantara mereka terjadi hubungan yang saling menguntungkan.

Sistem Pelelangan Ikan
         
          Setelah ikan tiba di tempat pelelangan (TPI), nelayan menunggu saat pelelangan dilakukan. Pelelangan biasanya dilakukan sekitar jam 09.00 hingga jam 13.00 tetapi juga tergantung dari kondisi kapan biasanya para nelayan mendarat setelah menangkap ikan di laut. Di TPI ini nelayan berhubungan dengan petugas TPI dan para pembeli, yaitu para tengkulak atau pedagang ikan yang sudah mendapat ijin dari koperasi untuk melakukan pelelangan. Para pedagang mempunyai pelanggan para pedagang pasar lokal (Pangandaran dan sekitarnya), pasar di kota (seperti Banjar, Ciamis, dan Tasikmalaya), juga pemasok kepada PT X yang bergerak di bidang pengolahan ikan yang masih berdomisili di Pangandaran. Sedangkan para pedagang atau konsumen lain hanya dapat membeli ikan dari para pedagang yang terlibat lelang di TPI.

Mekanisme Pelelangan

          Sebelum pelelangan ikan dimulai, para pedagang menyetorkan sejumlah uang kepada pihak administrasi TPI sebagai dana pembelian ikan. Para nelayan tidak bertransaksi langsung dengan para pedagang/tengkulak yang sudah mendapatkan ijin dari koperasi/TPI tetapi di antara keduanya difasilitasi oleh petugas TPI. Petugas TPI mencatat semua transaksi penjualan ikan untuk setiap nelayan. Ikan yang datang di TPI kemudian diletakan di lantai berupa tumpukan ikan yang sejenis atau ditempatkan dalam wadah. 

          Fluktuasi harga ikan di TPI merupakan kesepakatan pedagang dan petugas TPI berdasarkan pada jenis ikan, jumlah total ikan sejenis pada hari itu, dan kualitas kesegaran ikan. Nelayan tidak mempunyai kekuatan apapun dalam menentukan harga. Nelayan hanya menggerutu jika terjadi harga ikan di bawah standar. Namun tidak jarang pula terjadi keributan kecil (konflik) antara nelayan dengan tengkulak dan petugas TPI karena harga ikan yang rendah dianggap sebagai hasil ‘persekongkolan’. Proses tawar menawar pada kondisi ini, nelayan berada pada posisi yang lemah, begitu pula posisi petugas TPI. Namun secara umum, hampir sepertiga responden (32,5%) menyatakan bahwa harga jual ikan di TPI lebih banyak mengikuti keputusan para pedagang tetapi sisanya (67,5%) menganggap TPI yang lebih sering menentukan harga ikan.

          Setelah kegiatan pelelangan ikan selesai, para nelayan dapat mengambil uang hasil penjualan ikan ke petugas TPI. Pada saat inilah petugas administrasi memotong uang nelayan untuk keperluan yang ada sangkutpautnya dengan kewajiban nelayan terhadap koperasi. 

          Penjualan ikan kepada pihak di luar TPI pada dasarnya karena sesuatu hal. Hampir separuh responden (42,5%) pernah menjual ikannya tidak melalui TPI tetapi langsung berhubungan dengan para pedagang eceran/bakul (25%), para tengkulak/ pemborong di luar TPI (7,5%), atau langsung ke PT X (5%). Hal ini mereka lakukan hanya pada kondisi yang khusus, misalnya ketika mereka tidak mendapatkan ikan yang cukup layak untuk dijual di TPI, atau sedang terlibat perjanjian hutang (ijon) dengan tengkulak/bakul tertentu, atau ingin mendapatkan harga jual yang relatif lebih tinggi dibanding harga jual di TPI saat itu. Namun secara umum, koperasi/TPI dianggap mampu memberikan harga lebih tinggi daripada pihak lain (57,5%).





4.      Potensi pariwisata di Pangandaran
           
            Pangandaran merupakan salah satu kecamatan paling selatan di kabupaten Ciamis, Jawa Barat yang  memiliki wilayah kepesisiran. Wilayah kepesisiran di Pangandaran ini secara umum telah di kembangkan sebagai daerah tujuan wisata, baik domestik maupun mancanegara.Potensi di bidang pariwisata di Pangandaran ini tidak lepas dari tipologi patai yang dimiliki oleh pesisir Pangandaran.
           
            Tipologi coast build by organism yang terdapat di Pangandaran keberadaannya berasosiasi dengan Tipologi marine deposition coast. Pantai ini bersebelahan dengan pantai  pasir putih. Pantai ini memiliki reeffrom sejauh 100 meter ke arah breaker zone laut dimana kedalamannya kurang dari 2 meter. Di pantai ini terdapat hamparan terumbu karang yang tumbuh cukup intensif. Pantai dengan tipologi seperti ini hanya terbentuk di satu sudut pantai di pulau pananjung.  Walaupun areanya tergolong  sempit, tetapi tipologi pantai seperti ini sudah dimanfaatkan oleh pemerintah setempat untuk spot wisata snorkeling.

            Tipologi wave erosion coast terdapat padasebagian besar tanjung Pulau Pananjung Pangandaran Tipologi ini nampak dengan ciri-ciri seperti bentuk pantai yang berliku atau terjal tidak teratur, material pantai didominasi material pasir. dan ditandai dengan keberadaan stack berupa hancuran batuan-batuan dengan berbagai ukuran yang berasal dari dinding pantai (cliff). Dinamika pantai yang terjadi pada daerah ini adalah erosi oleh gelombang (abrasi). Meskipun demikian, karena material penyusun batuan di wilayah ini adalah batuan gamping yang keras, dan tidak terdapat sarana dan prasarana umum yang berada disana sehingga abrasi yang terjadi di sana tidak begitu beresiko dan membayakan. 
           
            Berdasarkan tipologi yang dimilikinya,Pantai Pangandaran memiliki potensi parawisata yang cukup besar diwilayah kepesisirannya.

            Masing-masing tipologi pesisir memiliki potensi di jadikan tempat wisata, mengingat masing-masing tipologi pantai memiliki karakteristik yang unik yang layak ditawarkan sebagai objek wisata. Tipologi wave erosion coast memiliki kenampakkan laut lepas yang luas. Selain itu tipologi ini pada beberapa tempat memungkinkan untuk digunakan sebagai arena panjat tebing.

            Tipologi pesisir dengan tipe Marine deposition coast memiliki gisik pantai yang dapat digunakan sebagai tempat bermain, berenang, jala-jalan dan beberapa aktifitas lain yang dapat dilakukan selama berwisata.

            Selain suasana pantai yang bisa kita nikmati di Pangandaran, kita juga bisa mengunjungi salah satu obyek wisata alam yang memiliki daya tarik khusus yaitu Citumang Pangandaran.





Citumang PangandaranObyek Wisata Citumang Pangandaran yaitu sungai Citumang yang mengalir membelah hutan jati dengan airnya yang bening kebiruan. Tepian sungai yang terdiri dari ornamen batu-batu padas dengan relung dalam dihiasi relief alam dan aliran sungai yang menembus ke dalam goa. Keheningan alam akan Anda jumpai disini. Musik alami berupa gemercik air sungai, bisikan angin sepoi yang menyelinap di antara pepohonan dan suara satwahutan yang tak pernah sepi. Obyek wisata ini terletak di Desa Bojong Kecamatan Parigi Ciamis, berjarang lebihJalan menuju lokasi kurang 15 km dari Pangandaran ke arah barat. Atau sekitar 4 km dari jalan raya Pangandaran - Cijulang. Jarak seluruhnya dari kota Ciamis sekitar 95 km.
Citumang




            Dapat dicapai dengan kendaraan umum jurusan Cijulang, dilanjutkan dengan kendaraan ojeg, disambung dengan jalan kaki menelusuri tepi sungai dan kebun pendudukan sepanjang 500 meter.

Sisi lain CitumangSetelah melewati pintu masuk, kurang lebih 300 meter perjalanan yang harus Anda tempuh menuju titik tujuan. Sambil berjalan menuruh lokasi, perlu Anda ketahui bahwa nama Citumang berasal dari legenda tentang seekor buaya buntung, Si Tumang. Begitu kuatnya kepercayaan penduduk akan kehadirna buaya buntung tersebut sehingga sampai sekarang meninggalkan nama yang melekat kuat menjadi nama sungai. Versi lain kisah Citumang, berasal dari Cai (Bhs. Sunda = air) yang numpang (cai numpang) yang berkaitan dengan adalah air sungai yang mengalir di bawah tanah. Kata cai numpang ini seiringAir yang bening menanti Andaperjalanan waktu lama-lama berubah menjadi Citumang.

            Ketika Anda jumpai sungai yang rimbun dengan pohon di tiap sisinya, lanjutkan perjalanan Anda agak ke hulu, karena di sanalah bening dan sejuknya air dapat segera Anda nikmati.Tibalah kita di tempat tujuan. Aliran air yang mengalir menanti Anda untuk segera turun menikmati bening dan sejuknya air.

            Pada kedalaman tertentu Anda dapat menikmatinya dengan mandi dan berenang. Lima ratus meter dari lokasi pamandian ke arah hulu, dijumpai pesona alam berupa aliran sungai Citumang yang masuk ke dalam perut bumi dan keluar lagi di arah hilir. Aliran sungai yang masuk ke dalam goa ini diberi nama Goa Taringgul yang kemudian diberikan nama baru sebagai Sanghyang Tikoro (Batara Tenggorokan).
                        Menikmati Citumang, tidak sekedar mandi dan berenang seperti yang selama ini banyak dilakukan wisatawan asing, tapi dapat AndaAir keluar dari Sanghyang Tikorolakukan kegiatan lainnya seperti: menikmati suasana sepanjang sungai, petualangan ke dalam goa dan menikmati privacy di tengah alam yang asli, sejuk dan Citumangeksotis.

           





BAB III
ANALISISIS

          Jaringan sosial pada komunitas nelayan Pangandaran, seperti yang telah terurai di atas, terlihat dari hubungan-hubungan sosial yang terjadi di dalamnya. Data memperlihatkan adanya hubungan campuran dari ketiga bentuk hubungan sosial, yaitu hubungan vertikal atau hirarkis, hubungan diagonal dan hubungan horisontal. Hal ini tergantung dari konteks dan situasi di mana interaksi itu terjadi, misalnya yang terjadi pada hubungan antara nelayan dan pandega, bergerak dari hubungan horizontal hingga hubungan hirarkis, bahkan lebih mendalam lagi seperti hubungan bapak-anak.

          Hubungan sosial yang terbentuk dalam proses produksi antara nelayan dengan nelayan buruh adalah ketiga bentuk hubungan di atas, yakni hubungan horisontal hingga hubungan vertikal bahkan seperti hubungan bapak-anak. Dalam hubungan ini, dominasi berada di pihak nelayan. Sedangkan hubungannya dengan koperasi dan pedagang, nelayan lebih banyak menempati posisi subordinat. 

          Dalam aktivitas distribusi pemasaran, beberapa pihak yang mempunyai posisi penting adalah TPI/Koperasi dan pedagang. Hubungan sosial dalam aktivitas ini bersifat diagonal dan hirarkis, dimana nelayan dalam posisi subordinat. Dalam kondisi hubungan demikian, nelayan berada dalam posisi yang tergantung kepada pihak lain dan berkonsekuensi pada pembagian keuntungan yang tidak berpihak kepada nelayan.

          Peningkatan usaha dan pendapatan nelayan tergantung dari dua aktivitas nelayan, yaitu peningkatan pada sistem produksi dan sistem distribusi pemasaran. Kedua faktor ini penting mengingat peningkatan sistem produksi akan mengakibatkan hasil produksi yang lebih besar, sedangkan perbaikan dalam sistem distribusi pemasaran mengakibatkan pembagian keuntungan akan menyebar secara merata dan adil.
         
          Perbaikan sistem produksi menyangkut kebutuhan nelayan akan modal usaha. Lembaga penyedia modal, seperti koperasi dan bank, tidak selalu mudah memberikan pinjaman modal kepada nelayan. Hal ini menyebabkan beberapa nelayan mencari sumber lain seperti pemodal perorangan atau kerabatnya, dimana masing-masing membawa risiko tersendiri. Melihat kondisi ini, koperasi perlu diberikan suntikan dana sehingga dengan modal yang cukup itu nelayan tidak perlu mengantri untuk mendapatkan tambahan modal usaha. Demi kesejahteraan nelayan, terutama nelayan buruh, ke depan perlu pula dipikirkan pentingnya keterlibatan nelayan buruh sebagai anggota koperasi terutama bagi mereka yang telah memantapkan dirinya untuk bekerja sebagai nelayan.

          Berhubungan dengan bank (BRI), nelayan masih menghadapi persoalan jaminan serta keluwesan dalam membayar angsuran, mengingat fluktuasi pendapatan nelayan cukup tinggi. Keluwesan persyaratan bank memungkinkan nelayan dari kalangan yang paling bawah dapat memanfaatkan fasilitas kredit pinjaman. Perlu dipertimbangkan bahwa agunan dalam bentuk material diganti oleh agunan dalam bentuk jaringan sosial. Artinya, bilamana nelayan sebagai nasabah bank tidak disiplin maka jaringan sosial itu yang ikut bertanggung jawab. Kenyataan bahwa ada nelayan yang memanfaatkan jasa penyedia modal non bank (perorangan), dengan risiko yang cukup berat, berangsur-angsur mereka akan memanfaatkan jasa bank karena kemudahannya. Sebab, kemudahan dalam memberikan pinjaman dan waktu pengembalian yang luwes merupakan faktor penarik bagi nelayan, juga nelayan buruh, untuk memperoleh pinjaman dari pemodal perorangan ini. 

          Perbaikan sistem distribusi pemasaran menyangkut rekonstruksi sosial ekonomi yang mampu mensejajarkan posisi dari pihak-pihak yang terkait di dalam aktivitas ini, seperti mekanisme pelelangan dan berbagai dukungan teknis lainnya, misalnya cara mempertahankan kesegaran ikan. Pemerataan pendapatan memang merupakan kenyataan yang sulit untuk dijalankan, tetapi keinginan untuk saling membagi surflus produksi secara adil perlu dikedepankan. Dengan demikian, peningkatan kesejahteraan komunitas nelayan dapat dibangun melalui potensi lokal, yakni jaringan sosial yang terbentuk pada komunitas nelayan itu sendiri.
         
          Makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang jaringan sosial komunitas nelayan tradisional terutama pada bidang produksi dan distribusi pemasaran dan masukan dalam penyusunan program pemberdayaan ekonomi kerakyatan terutama upaya peningkatan dalam bidang produksi (hasil menjadi lebih banyak) dan perbaikan dalam bidang distribusi pemasaran (peningkatan pendapatan).



















BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
                                                        
Saran
Masyarakat pesisir pantai pangandaran masih membutuhkan pendidikan dan bantuan modal untuk memajukan sektor perikanan di pangandaran tersebut dengan cara memberikan nelayan wawasan yang lebih dan memberikan pelatihan-pelatihan untuk nelayan yang lebih baik.















DAFTAR PUSTAKA