expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 17 Maret 2014

Kelompok 9 Selayar Sulawesi Selatan



SEJARAH PERIKANAN DAN KELAUTAN
“Pantai Selayar  Sulawesi Selatan”

                         Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Perikanan


Di Susun Oleh :

Kelompok 9
Adli muhammad adzan              230110130052
Rayana akbar maulana              230110130047
Jamaludin                                    230110130040
Leni maryani                               230110130013
Ardi armada putra                     230110130048
  



FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014




KATA PENGANTAR


Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas Sejarah Perikanan di Kabupaten kepulauan Selayar.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

                                                                            
Jatinangor, 10 Maret 2014


                                                                                                          Penulis  





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................. i
DFTAR ISI................................................................................................................... ii 

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Teori Sosiologi Menurut Para Ahli Sosiologi.................................. 3
2.2. Teori Sosiologi Ekonomi................................................................................... 8
2.3 Gambaran Umum Wilayah Pesisir dan Laut Sulawesi Selatan................... 9
2.4 Sejarah Selayar................................................................................................ 11
2.5 Selayar dalam Jaringan Pelayaran Nasional..................................................... 13
2.6 Jejak Kehadiran Orang Melayu ke Selayar...................................................... 15
2.7 Selayar dari Masa ke Masa............................................................................... 19
2.8 Selayar di Era Pelayaran.................................................................................. 20
2.9 Selayar di Era Pelayaran.................................................................................. 24
2.10 Potensi Sumber Daya Laut di Provinsi Sulawesi Selatan.............................. 25
BAB III ANALISIS
3.1. Modernisasi Perikanan dan Kelautan.............................................................. 27
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan..................................................................................................... 29
4.2. Saran............................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA  





BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan manusia. Salah satunya adalah mempelajari tentang sosialisasi dan pembentukan kepribadian. Selain daripada itu, Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki cakupan luas dan memiliki banyak cabang. Hal ini disebabkan sosiologi memiliki tokoh-tokoh yang membuat studi sosiologi semakin berkembang mengikuti perkembangan zaman serta situasi yang dihadapi. Adapun para tokoh tersebut menyumbangkan teori-teorinya mengenai studi sosiologi sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang mereka alami dizamannya.
Wilayah Sulawesi Selatan dilihat dari rupa bumi Indonesia sangat strategis karena berada di tengah kepulauan Indonesia. Wajar bila menjadi lalu lintas perdagangan antar negara sejak dulu bahkan titik interaksi ekologis antara dua samudera luas yaitu Pasifik dan Samudera Indonesia. Selain itu, perairan Sulsel menyimpan ragam ekosistem laut, pulau dan ekosistem penting seperti terumbu karang, mangroves dan perairan lepas.
Perairan Spermonde di barat Kota Makassar yang diisi puluhan pulau, kawasan Teluk Bone di timur yang membentang dari Sinjai hingga Luwu serta Laut Flores yang menyimpan dan menawarkan daya tarik Taman Nasional Taka Bonerate (Selayar) merupakan wahana sosial-ekonomi warga sejak lama.  Pada tingkat regional, Perairan Sulsel merupakan rupa wilayah kepulauan yang menjadi simpul interaksi tiga kawasan strategis, Sulawesi-Nusatenggara-Bali. Ditilik dari dimensi sejarah, Sulawesi bagian Selatan adalah kawasan yang paling dinamis. Sejak zaman keemasan kerajaan Gowa, kawasan ini adalah pusat pendidikan dan kebudayaan sekaligus syahbandar perdagangan yang dijejali pendatang dari berbagai bangsa. Pada zaman Sulsel merupakan basis perjuangan nasional, bahkan saat pembebasan Irian Barat, Makassar (ibukota Sulsel) merupakan basis perjuangan pemerintah RI. Posisi itu dapat disebut sebagai simpul fungisonal dalam sisi geopolitik. Dimensi Kelautan merupakan bagian integral Indonesia. Sejatinya, pengalaman historis tersebut menjadi modal sekaligus pemantik pergerakan pengelolaan kelautan sebagai sumber inspirasi pembangunan nasional dan daerah.
Ini bukan program coba-coba, dan bukan sebuah program dasar yang baru akan mempelajari atau menelusuri kegiatan para nelayan dan sumber dayanya, akan tetapi sebuah upaya dan langkah nyata yang merupakan praktek dari teori hasil yang telah diteliti selama ini. Insya Allah ke depan, sebuah pusat riset perikanan akan terbangun di Selayar. Sehingga pelayanan informasi terhadap nelayan dari hasil riset nantinya akan langsung dimanfaatkan oleh nelayan kita. Bayangkan bila informasi  pergerakan ikan dalam setiap siklus pergerakannya dapat terdeteksi dan langsung diinformasikan bagi nelayan kita, bukankah kemudian hasil tangkapan akan semakin banyak, termasuk bila kemudian ada hal-hal penting dari pusat riset yang saat itu sangat dibutuhkan nelayan, misalnya informasi cuaca atau kejadian disekitar laut Selayar, jelas Marjani. Sementara itu, dalam perencanaa ini, pihaknya akan segera melakukan  kerjasama dengan para peneliti perikanan dan kelautan dari  sejumlah kampus yang ada di Sulawesi-selataan.




 BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Teori Sosiologi Menurut Para Ahli Sosiologi
1. Ibnu Khaldun (1332-1406)
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia, Afrika Utara, 27 Mei 1332 (Faghirazadeh, 1982). Ia kahir dari keluarga terpelajar, dimasukkan ke sekolah Al-Quran, kemudian mempelajari matematika dan sejarah. Semasa hidupnya ia membantu berbagai Sultan di Tunisia, Maroko, Spanyol dan Al-Jazair sebagai duta besar, bendaharawan dan anggota dewan penasehat sultan.
Adapun pendapat Khaldun tentang watak-watak masayarakat manusia dijadikannya sebagai landasan konsepsinya bahwa kebudayaan dalam berbagai bangsa berkembang melalui empat mazhab yaitu fase primitif atau nomaden, fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran yang mengantarkan kehancuran. Kemudian keempat perkembangan ini oleh Khaldun sering disebut dengan fase pembangun, pemberi gambar gembira, penurut, dan penghancur.
2. Auguste Comte (1789-1857)
Auguste Comte lahir di Mountpelier Perancis, 19 Januari 1798. Ia merupakan bapak sosiologi, orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi (socius dan logos). Pengaruhnya besar sekali terhadap para teoritis sosiologi selanjutnya (terutama Hebert Spencer dan Emile Durkheim). Dia mempunyai anggapan bahwa sosiologi terdiri dari dua bagian pokok, yaitu social statistic (statika sosial atau struktur sosial yang ada) dan social dynamic (dinamika sosial atau perubahan sosial). Sebagai sosial statistik, sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sebagai social dinamik, meneropong bagaimana lembaga-lembaga itu berkembang dan mengalami perkembangan sepanjang masa.
Landasan pendekatan Comte ialah teori evolusinya atau hukum tiga tingkatan. Ia menyatakan ada tiga tingkatan intelektual yang harus dilalui dunia di sepanjang sejarahnya. Pertama, tahap teologismenekankan pada keyakinan bahwa kekuatan adikodrati, tokoh agama, dan keteladanan kemanusiaan menjadi dasar segala sesuatu. Kedua, tahap metafisik ditandai oleh keyakinan bahwa kekuatan abstraklah yang menerangkan segala sesuatu, bukannya dewa-dewa personal. Ketiga, tahap positivistik yang ditandai oleh keyakinan terhadap ilmu sains. Manusia mulai cenderung menghentikan penelitian terhadap (Tuhan atau alam) dan dunia sosial guna mengetahui hukum-hukum yang mengaturnya. 
Dalam teorinya tentang dunia, Comte menyatakan bahwa kekacauan intelektual menyebabkan kekacauan sosial. Menurut pandangannya, kehidupan di dunia ini sudah cukup kacau, dan yang dibutuhkan dunia adalah perubahan intelektual. Ada beberapa aspek lain yang juga berperan penting dalam pengembangan teori sosiologi. Ia menyatakan bahwa kita harus memperhatikan struktur sosial dan perubahan sosial. Ia menekankan besarnya peran konsesnsus dalam masyarakat. Dan ia juga menekankan perlunya memahami teori abstrak dan melakukan riset sosiologi. Comte yakin sosiologi akhirnya akan menjadi kekuatan ilmiah dominan di dunia karena kemampuan istimewanya dalam menafsirkan hukum sosial dan melakukan reformasi yang bertujuan menyelesaikan masalah dalam sistem.
Menurut Comte, masyarakat harus diteliti atas dasar fakta-fakta objektif dan dia juga menekankan pentingnya penelitian-penelitian perbandingan antara berbagai masyarakat yang berlainan. Hasil karya Comte yang terutama adalah : 
1)   The Scientific Labors Necerssary for Reorganization of Society (1822);
2)   The Positive Philosophy (6 jilid 1830-1840);
3)   Subjective Synthesis (1820-1903).
3. Karl Marx (1818-1883)
         Karl Marx lahir di Trier, Prusia, 5 Mei 1818. Ia adalah seorang ahli filsafat sejarah Jerman. Marx hidup selama abad ke-19, yaitu saat kapitalisme merajai wilayah Eropa dan Amerika.
Marx yakin bahwa setiap manusia perlu bekerja di dalam dan dengan alam. Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki. Dengan kata lain manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial. Mereka perlu bekerja bersama untuk menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup. Melalui perjalanan sejarah, proses alamiah ini dihancurkan, dan mencapai titik puncaknya dalam kapitalisme. Kapitalisme pada dasarnya adalah sebuah struktur yang membuat batas pemisah antara seorang individu dan proses produksi, produk yang diproses dan orang lain, dan akhirnya juga memisahkan diri individu itu sendiri.
Dalam terminologi sarjana beraliran Marxist, tanaman produksi, pabrik baja, dan yang serupanya disebut sebagai alat-alat produksi, dan mereka yang menjadi pemiliknya disebut dengan kaum borjuis. Para pekerja yang menjual tenaganya untuk kaum borjuis itu disebut kaumproletar. Marx percaya bahwa setiap masyarakat kapitalis pada akhirnya akan terpecah oleh konflik antara kaum borjuis dan proletar.
Menurut Marx, kapitalisme di dalamnya memiliki penyebab-penyebab kerusakannya. Kaum borjuis memberi upah yang sangat rendah sehingga kaum proletar hampir tidak mungkin bertahan hidup. Marx memberi prediksi bahwa kehidupan para pekerja yang sengsara itu akan memberi penyadaran bahwa satu-satunya cara untuk keluar dari kesengsaraan itu adalah dengan bersatu dan melakukan revolusi. Marx juga percaya bahwa sifat dasar pekerja industri juga memberi kontribusi bagi kejatuhan kapitalisme. Marx yakin bahwa tragedi kapitalisme terjadi dengan cara bahwa suatu sistem mentransformasikan kerja dari sesuatu yang bermakna menjadi sesuatu yang tidak bermakna.   
4. Herbert Spencer (1820-1903)
Spencer lahir di Derby, Inggris 27 April 1820. Ia menganut pandangan evolusi yang berkeyakinan bahwa kehidupan masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang semakin baik dan karena itulah kehidupan masyarakat harus dibiarkan berkembang sendiri. Berbeda dengan Comte, Spencer memusatkan perhatian pada individu, sedangkan Comte menekankan pada unit yang lebih besar seperti keluarga. Dalam bukunya The Principles of Sociology ( 3 jilid, 1877), Spencer menguraikan materi sosiologi secara rinci dan sistematis. Dia mengatakan bahwa objek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik, agama,pengendalian sosial dan industri. Dia juga menekankan bahwa sosiologi harus menyoroti hubungan timbalbalik antara unsur-unsur masyarakat seperti pengaruh norma-norma atas kehidupan keluarga, hubungan antara lembaga politik dan lembaga keagamaan.
Salah satu teori evolusinya berkaitan dengan peningkatan ukuran masyarakat. Masyarakat tumbuh melalui perkembangbiakan individu dan penyatuan kelompok-kelompok. Peningkatan ukurannya, masyarakat berubah melalui penggabungan, yakni makin lama makin menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan. Dalam tulisannya mengenai etika dan politik, Spencer mengemukakan gagasan evolusiya yang lain. Di satu sisi ia memandang masyarakat berkembang menuju keadaan moral yang ideal atau sempurna. Di sisi lain ia menyatakan bahwa masyarakat yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannyalah yang akan bertahan hidup, sedangkan masyarakat yang tak mampu menyesuaikan diri terpaksa menemui ajalnya. Hasil proses ini adalah peningkatan kemampuan menyesuaikan diri masyarakat secara keseluruhan.
Hasil karya yang terkenal lainnya: 
1)        Social Statistic (1850);
2)        Principles of Psychology (1955);
3)        Principles of Biologis (2 jilid, 1864 dan 1961)
4)        Principles of Ethics (1893)
5. Emile Durkheim (1858-1917)
Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis 15 April. Dia adalah seorang sosiolog teoritis dan praktisi pendidikan. Durkheim fokus kepada kesatuan masyarakat. Menurutnya, sosiologi meneliti lembaga-lembaga dalam masyarakat dan proses-proses sosial. Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia membedakan antara dua tipe utama solidaritas: solidaritas mekanis, dan solidaritas organis. Lambat laun pembagian kerja dalam masyarakat semakin berkembang sehingga solidaritas mekanis berubah menjadi solidaritas organis.
Dalam The Rule of Sosiological Method (1895/1982) Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial. Ia membayangkan fakta sosial sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu. Ia  juga membedakan antara dua tipe fakta sosial: material dan nonmaterial. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan terutama oleh fakta sosial nonmaterial. Sedangkan masyarakat modern, kekuatan kesadaran kolektif telah menurun, pembagian kerja yang ruwet, yang mengikat orang yang satu dengan orang lainnya dalam hubungan saling tergantung. Dan dalam karyanya yang terakhir, The Elementary Forms of Religious Life (1912/1965) Durkheim yakin bahwa sumber agama adalah masyarakat itu sendiri. Dalam agama primitif benda-benda seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang didewakan. Akhirnya Durkheim menyimpulkan bahwa masyarakat dan agama adalah satu dan sama. 
Dalam masalah sosiologi, ia mengklasifikasikan pembagian sosiologi atas tujuh kelompok, yaitu: 
1.    Sosiologi umum yang mencakup kepribadian individu dan kelompok manusia.
2.    Sosiologi agama
3.    Sosiologi hukum dan moral yang mencakup organisasi politik, organisasi social, perkawinan dan keluarga.
4.    Sosiologi tentang kejahatan
5.    Sosiologi ekonomi yang mencakup ukuran-ukuran penelitian dan kelompok kerja
6.    Demografi yang mencakup masyarakat pedesaan dan perkotaan
7.    Sosiologi estetika
Hasil karyanya yang terkemuka: 
1.  The Social Division of Labor (1893)
2.  The Rules of Sociological Method (1895)
3.  The Elementary Forms of Religious (1912)
6. Max Webber (1864-1920)
Max Webber, seorang Jerman yang lahir di Erfurt 21 April 1864. Weber belajar beragam subjek, mencakup hukum, ekonomi, sejarah, agama, dan filsafat. Dia juga sempat menduduki jabatan-jabatan akademik penting di sejumlah universitas di Jerman, dan dia juga merupakan tokoh terkenal dikalangan politisi pada masanya. Karya Weber pada dasarnya adalah teori tentang proses rasionalisasi.
Weber percaya bahwa saat tradisi hilang dan digantikan dengan rasionalitas, Eropa mengalami industrialisasi dan mengadopsi ekonomi kapitalistik. Misalnya, dalam sebuah masyarakat tradisional seorang petani yang sakit mungkin akan meminta pertolongan tetangga, namun dalam masyarakat industri seorang pekerja yang sakit tak memilki siapapun kecuali agen birokrasi pemerintah. 
Ia berusaha memberikan pengertian mengenai perilaku manusia dan sekaligus menelaah sebab-sebab terjadinya interaksi social. Weber melihat bahwa birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi. Mengenai proses birokratisasi ia membedakan antara tiga jenis sistem otoritas yakni tradisional, karismatik, dan rasional legal. Max juga terkenal dengan teori ideal typus, yaitu merupakan suatu konstruksi dalam pikiran seorang peneliti yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis gejala-gejala dalam masyarakat. Karya yang ditulisnya antara lain: 
1.    The History of Trading Companies During the Moddle Ages (disertasi,1889)
2.    Economy and Society (1920)
3.    Collected Essays on Sociology of Region (3 jilid, 1921)

2-2 Teori Sosiologi Ekonomi
Didalam kehidupan masyarakat sebagai satu system maka bidang ekonomi hanya sebagai salah satu bagian atau subsistem saja. Oleh karena itu, didalam memahami aspek kehidupan ekonomi masyarakat maka perlu dihubungkan antara factor ekonomi dengan factor lain dalam kehidupan masyarakat tersebut. Factor-faktor tersebut antara lain: faktor agama dan nilai-nilai tradisional, ikatan kekeluargaan, etnisitas, dan stratifikasi sosial.
Faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang langsung terhadap perkembangan ekonomi. Faktor agama dan nilai-nilai tradisional: ada nilai-nilai yang mendorong perkembangan ekonomi, akan tetapi ada pula nilai-nilai yang menghambat perkembangan ekonomi. Demikian pula dengan kelompok solidaritas, dalam hal ini yakni keluarga dan kelompok etnis, yang terkadang mendorong pertumbuhan dan terkadang pula menghambat pertumbuhan ekonomi.

2.3    Gambaran Umum Wilayah Pesisir dan Laut Sulawesi Selatan

Provinsi Sulawesi Selatan adalah salah satu provinsi di indonesia yang secara geografis merupakan daerah bebasis kelautan yang sangat besar. Provinsi sulawesi selatan memiliki garis pantai sepanjang 1.937 Km dan luas perairan laut 266.877 Km2. Itu dikarenakan Dari 24 kabupaten yang terdapat di provinsi sulawesi selatan, 2/3 diantaranya adalah kabupaten yang memiliki wilayah pesisir dan laut. Selain itu provinsi sulawesi selatan memiliki 263 pulau-pulau kecil yang tersebar di beberapa kabupaten diantaranya makassar, kabupaten selayar, kabupaten bone, dan kabupaten pangkaje’ne dan kepulauan (pangkep).
Menurut selaku kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten kepulauan Selayar Sulawesi selatan DR.Ir.Marjani Sultan MSi, Potensi Perikanan tangkap di kabupaten kepulauan selayar memiliki beragam kekayaan, yaitu
Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2008:
JENIS IKAN :
Ikan Manyung : 18,4 ton                    Ikan Layang : 190,8 ton
Ikan Sunglir : 24,3 ton                        Ikan Tetengkek : 35,4 ton,
Ikan Bawal Hitam : 1,5 ton,               Ikan Cendro : 36,6 ton
Ikan ekor kuning : 69,9 ton,                Ikan Selar : 51,6 ton,              
Ikan Kuwe : 39,2 ton                          Ikan Layang : 190,8 ton
Ikan Sunglir : 24,3 ton                        Ikan Tetengkek : 35,4 ton,
Ikan Bawal Hitam : 1,5 ton,               Ikan Bawal Putih : 4,6 ton,
Ikan Kakap Putih : 380,8 ton,             Ikan Tembang : 644,5 ton,
Ikan Lemuru : 287,9 ton,                    Ikan Teri : 1.411,8 ton,          
Ikan Terbang : 106,2 ton,                    Ikan Julung -Julung : 101,4 ton,
Ikan Gerot-gerot : 517,9 ton,              Ikan peperek : 672,6 ton,
Ikan lencam : 870,7 ton,                     Ikan Kakap Merah : 723,5 ton,
Ikan Belanak : 48,5 ton,                      Ikan biji nangka : 45,6 ton,
ikan kurisi : 33 ton,                             Ikan tenggiri : 228,9 ton,
Ikan tenggiri Papan : 48,5 ton,            Ikan Cucut : 515,9 ton,
ikan Pari : 381,2 ton,                           Ikan Baronang Lingkis : 34,5 ton,
Ikan Kerapu Sunu : 689,1 ton,            Ikan Kerapu Karang : 5 ton,
Ikan Kerapu Bebek : 3 ton,                 Ikan Kembung : 271,8 ton,
Ikan Cakalang : 193,5 ton,                  Ikan Madidihang : 437,1 ton,
Ikan Tongkol Abu-abu : 66,8 ton,
Ikan lainnya : 765,1 ton,
a)    BINATANG BERKULIT KERAS
Udang Putih : 17,1 ton,
Udang lainnya : 687,4 ton,
Kepiting : 98 ton,
Rajungan : 22,1 ton,
b)   BINATANG LUNAK
Cumi-cumi : 583,1 ton,
Gurita : 243,2 ton,
Taripang : 621,7 ton
c)    TANAMAN AIR
Rumput Laut : 777,1 ton
PRODUKSI 2008 (TON)  13.245


2.4  Sejarah Selayar

Sejarah Selayar - Kabupaten Kepulauan Selayar adalah sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi SelatanIndonesia. Ibu kota kabupaten Kepulauan Selayar adalah Kota Benteng. Kabupaten ini memiliki luas sebesar 10.503,69 km² (wilayah daratan dan lautan) dan berpenduduk sebanyak ±134.000 jiwa. Kabupaten Kepulauan Selayar terdiri dari 2 sub area wilayah pemerintahan yaitu wilayah daratan yang meliputi kecamatan Benteng, Bontoharu, Bontomanai, Buki, Bontomatene, dan Bontosikuyuserta wilayah kepulauan yang meliputi kecamatan Pasimasunggu Timur, Takabonerate, Pasimarannu, dan Pasilabena.
Pada masa lalu, Kabupaten Kepulauan Selayar pernah menjadi rute dagang menuju pusat rempah-rempah di Maluku. Di Pulau Selayar, para pedagang singgah untuk mengisi perbekalan sambil menunggu musim yang baik untuk berlayar. Dari aktivitas pelayaran ini pula muncul nama Selayar. Nama Selayar berasal dari kata cedaya (Bahasa Sanskerta) yang berarti satu layar, karena konon banyak perahu satu layar yang singgah di pulau ini. Kata cedaya telah diabadikan namanya dalam Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada abad 14. Ditulis bahwa pada pertengahan abad 14, ketika Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanegara, Selayar digolongkan dalam Nusantara, yaitu pulau-pulau lain di luar Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti bahwa armada Gajah Mada atau Laksamana Nala pernah singgah di pulau ini.
Selain nama Selayar, pulau ini dinamakan pula dengan nama Tana Doang yang berarti tanah tempat berdoa. Di masa lalu, Pulau Selayar menjadi tempat berdoa bagi para pelaut yang hendak melanjutkan perjalanan baik ke barat maupun ke timur untuk keselamatan pelayaran mereka. Dalam kitab hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa (abad 17), Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga karena letaknya yang strategis sebagai tempat transit baik untuk pelayaran menuju ke timur dan ke barat. Disebutkan dalam naskah itu bahwa bagi orang yang berlayar dari Makassar ke Selayar, Malaka, dan Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus orang.
Belanda mulai memerintah Selayar pada tahun 1739. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan dimana residen pertamanya adalah W. Coutsier (menjabat dari 1739-1743). Berturut-turut kemudian Selayar diperintah oleh orang Belanda sebanyak 87 residen atau yang setara dengan residen seperti Asisten Resident, Gesagherbber, WD Resident, atau Controleur. Kabupaten Selayar yang merupakan salah satu Kabupaten dalam wilayah Provinsi Slawesi Selatan, terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerahdaerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822). Yang kemudian berubah nama menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar berdasarkan PP. No. 59 Tahun 2008.
Selayar baik sebagai nama sub-etnis Makassar maupun sebutan untuk spasial bernama kabupaten, tampaknya belum terlalu akrab di telinga semua orang. Bahkan dalam historiografi Indonesia, Selayar pun tampaknya belum mendapat tempat yang “layak” dan memadai serta masih kurang dilirik sebagai obyek kajian ilmiah. Dalam kekosongan ruang-ruang ilmiah tertentu menyangkut Selayar inilah, menjadi salah satu alasan fundamental kehadiran karya tulis ini. Tulisan ini bermaksud mengurai beberapa sumber sejarah tentang Selayar yang berhubungan dengan orang Melayu. Sebut saja keberadaan Kerajaan Buki’, menurut cerita rakyat dan sumber tertulis kerajaan dalam lontara bilang terkait dengan kehadiran seorang anak Raja Riau (Melayu) ke Selayar awal abad Ke-16. Selain itu, menurut cerita rakyat Seorang saudagar Minangkabau yang bernama Ince Abdul Rahim dalam perjalanannya menuju Maluku bersama rombongan, pernah singgah  di Selayar. Sejak saat itu, kelompok saudagar kemudian sering singgah bahkan ada di antara mereka yang melakukan perkawinan dengan penduduk setempat. Keturunan mereka itulah yang menjadi penduduk yang menghuni Kampung Padang sekarang. Bahkan penamaan Selayar, pun diduga keras berasal dan diberikan oleh orang Melayu.
Jejak kehadiran orang Melayu di Selayar, juga dapat ditelusuri melalui penggunaan nama penduduk terutama yang mendiami perkampungan bernama Padang dan nama tempat di Desa Buki. Kemudian hal yang tidak kalah penting yakni posisi Selayar dalam jaringan pelayaran dan perdagangan Nusantara sejak abad ke-13, yang memungkinkan berbagai suku bangsa singgah di tempat ini.


2.5  Selayar dalam Jaringan Pelayaran Nasional
Melalui catatan sejarah dalam buku Kartagama Pupuh XIV, Selayar sudah dikenal sejak masa pemerintahan kerajaan Majapahit pada abad ke-13. Sebagaimana disebutkan bahwa: “…tersebut pula pulau-pulau Makassar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Selayar, Sumba, Solor Muar. Lagi pula Wanda (n), Ambon, atau pulau Maluku, Wamin, Seram, Timor, dan beberapa lagi pulau yang lain”. Hal ini menunjukkan bahwa bersama beberapa tempat lain di Indonesia, Selayar telah memiliki peran penting terutama terkait hubungan masyarakatnya dengan dunia luar. Dengan kata lain, jika Selayar dijadikan sebagai tujuan pelayaran baik tujuan utama maupun untuk keperluan transit, berarti motifinya terkait dengan beberapa peran penting.
Bukti lain mengenai peran penting Selayar sejak abad ke-13, dapat diketahui melalui hasil pengamatan terhadap temuan fragmen-fragmen keramik di Gantarang Lalangbata. Dari hasil observasi diketahui bahwa keramik ini berasal dari Dinasti Yuang (abad Ke-13 dan 14) yang berbentuk poci kecil berwarna putih. Hal ini menunjukkan bahwa Selayar telah berkiprah pada abad ini dan tentu saja Kerajaan Gantarang berperan penting pula. Kerajaan ini dipimpin oleh Raja Baka, dengan kehidupan adat-istiadat khas yang ditunjukkan.  Dalam naskah hukum perdagangan dan pelayaran “Ammana Gappa” yang berbahasa Bugis, Selayar juga telah disebutkan sebagai salah satu daerah tujuan niaga. Kemudian mengingat letak geografis Selayar yang sangat strategis bagi pelayaran, daerah ini dijadikan juga sebagai satu bandar transit untuk menunggu musim berlayar yang baik. Hal ini tentu dipahami mengingat sistem pelayaran pada masa itu masih sangat tergantung pada muson atau arah hembusan angin.  Peran penting pulau Selayar juga dijelaskan oleh Schrieke bahwa pada masa itu kapal-kapal/yang memuat barang-barang dagangan pada muson timur berlayar melewati Sumatra, Borneo, Patani dan Siam, sedangkan pada muson barat melewati Batam, Bali, Bima, Solor, Timor, Alor, Selayar, Buton, Maluku dan Mindanao.
Dalam sumber yang sama juga dijelaskan mengenai kedudukan Selayar abad ke-17, saat berada di bawah kekuasaan Gowa. Selayar pada masa ini merupakan jalur perdagangan yang melewati pelabuhan Tuban, Gresik, Surabaya, India, dan Asia Selatan. Sejak Perjanjian Bogaya 1667 antara Gowa dan Belanda, Selayar menjadi daerah kekuasaan Belanda (VOC). Perjanjian ini didorong oleh keinginan Belanda mengambil alih monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia bagian Timur. Bahkan lebih dari itu, jalur perdagangan keramik melalui Philipina, kepulauan Nusantara, Afrika Timur, dan Timur Tengah, ingin dikuasainya.  Sumber lain menjelaskan bahwa Sejak Makassar ditaklukkan 1667, pemerintah kolonial telah membangun jalur pelayaran yakni Batavia, Semarang, Surabaya, Makassar, Buton, Amboina, Ternate dan kembali mengikuti jalur yang sama setiap tahunnya. Dalam perkembangan selanjutnya, tahun 1832 ditambah satu jalur perdagangan pesisir dari Makassar, Bantaeng, Selayar, Buton, Selayar, Bantaeng, Makassar. Jalur perdagangan pesisir ini diperluas ketika Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) mengambil alih kegiatan perdagangan maritim pemerintahan Kolonial dengan membuka jalur pelayaran ke-10 yang beroperasi setiap 4 minggu yang berlaku sejak 17 Januari 1891 dan bermula di Makassar, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Sinjai, Palima, Palopo, Buton, Kendari, Buton, Palopo, Palima, Sinjai, Bonerate, Selayar, Bulukumba, Bantaeng, Makassar, Ampenan, Bali-Buleleng, Surabaya, Singapura, untuk kemudian kembali ke Makassar dan menelusuri jalur itu lagi.
Peranan penting Selayar dapat juga dilihat pada data akhir abad ke-18 yakni saat perdagangan Makassar mengalami kemerosotan (kemunduran). Penyebabnya yakni karena Bone mengembangkan pelabuhan Pare-Pare dan Bonerate bagian pelayaran niaga ke arah barat dan adanya boikot penduduk (setelah masuknya Inggris).  Bukti lainnya mengenai peran penting Selayar dalam jaringan pelayaran dan perdagangan, yakni pertumbuhan jumlah perahu pada dekade 1870-an. Bahkan disebutkan pedagang dari Bone dan Tanete terlibat dalam aktivitas ini. Demikian pentingnya peran pulau ini, sehingga digambarkan menyerupai Pota, Reo, dan Bari di Manggarai (Flores Barat), situasi di Buleleng (Bali), Ampenan (Lombok), Gresik (Jawa), Banjarmasin, Pagatan (Kalimantan), Ambon, dan Sumbawa.
Data lain juga menjelaskan bahwa pada awal abad ke-20, komoditi utama dalam perdagangan adalah kopra. Dalam perdagangan kopra ini, Selayar memiliki andil yang sangat penting, dimana daerah ini tercatat sebagai pemasok kopra dalam perdagangan antar pulau yakni dari Maluku, Marauke, Ternate, Gorontalo, Manado, dan Selayar. Komoditi yang menjadi primadona ini, banyak dibawa ke Makassar dan selanjutnya di ekspor ke Singapura. Mengacu pada beberapa keterangan mengenai posisi geografis Selayar dalam jalur pelayaran Nusantara tersebut, maka sangat memungkinkan memang wilayah ini menjadi “tujuan” atau dijadikan daerah transit dalam aktivitas pelayaran. 
2.6  Jejak Kehadiran Orang Melayu ke Selayar
Berbicara mengenai kehadiran orang Melayu di Selayar, tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan beberapa faktor antara lain kondisi sosio-politik Indonesia abad ke-16. Kondisi yang dimaksud adalah masa pasca Kerajaan Malaka jatuh (1511) yang menyebabkan banyak pedagang Melayu Islam mengungsi dan mencari tempat baru untuk melakukan transaksi dagang. Kondisi ini juga disertai oleh pandangan orang Melayu menganggap orang Portugis sebagai orang kafir yang mesti dijauhi. Salah satu tujuan pelayaran mereka adalah Kerajaan Gowa, yang terkenal dengan bandarnya yakni Somba Opu. Mengenai kedatangan orang Melayu di Gowa (Makassar) sebagaimana dijelaskan dalam lontara, yakni sekitar tahun 1561 yakni pada masa pemerintahan raja Gowa X Tunipallangga (1561-1565). Malahan menurut sumber sejarah lainnya, bahwa sejak setengah abad sebelumnya telah banyak orang Melayu datang ke Gowa untuk berdagang.
Seorang berkebangsaan Inggris Silhordt menyebutkan bahwa tahun 1625, ribuan orang Melayu tinggal di Makassar. Sebagian besar dari mereka berasal dari Kerajaan Patani dan Johor. Selain itu, data menunjukkan bahwa tahun 1665 beberapa ratus warga dari Minangkabau dan Campa hidup di bawah perlindungan raja. Pernyataan ini didukung oleh data bahwa eksodus orang-orang Melayu ke wilayah timur Indonesia masih berlanjut hingga paruh pertama abad ke-17 disebabkan oleh blokade Belanda atas Selat Malaka serta adanya serangan-serangan di atas kapal di setiap tempat di belahan Timur Nusantara. Bahkan proses menghilangnya para pedagang Melayu di Malaka, berlanjut hingga Inggris datang ke Malaya akhir abad ke-18 dimana mereka tidak menemukan orang Melayu lagi.
Uraian mengenai motif persebaran orang-orang Melayu ke dunia Timur Nusantara tersebut, merupakan pondasi ilmiah untuk menelusuri kehadiran orang Melayu di Selayar. Pertama, posisi Selayar dalam jaringan pelayaran dan perdagangan Nusantara dari Barat ke Timur atau sebaliknya, menjadi alasan kuat yang memungkinkan orang Melayu singgah atau beberapa di antaranya tinggal menetap di pulau yang juga akrab dikenal dengan sebutan Tanadoang ini. Kedua, pada kurun waktu kedatangan orang-orang Melayu di Gowa, Selayar berada di bawah kekuasaan kerajaan ini sehingga kontak antar keduanya bukan tidak mungkin melibatkan orang-orang Melayu yang notabene sangat dekat dengan penguasa Kerajaan Gowa. 
Selain itu, catatan sejarah juga menunjukkan bahwa ketika orang Portugis mengunjungi pelabuhan Siang, mereka mendapatkan penjelasan bahwa pedagang-pedagang muslim dari Patani, Pahang dan Ujung Tanah telah tinggal di Selayar sejak Tahun 1480. Kedatangan para ahli Melayu ini, selain berdagang secara tidak langsung mereka juga ikut menyebarkan agama Islam di Selayar.
Catatan sejarah Selayar lainnya yang menjelaskan hal ikhwal mengenai Orang Melayu, yakni terkait dengan keberadaan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Tanadoang. Kerajaan yang dimaksudkan adalah Buki yakni nama salah satu dari 4 (empat) kerajaan kecil sebelum masuknya pengaruh Asing di daerah ini.  Berdasarkan catatan yang termaktub dalam sebuah lontara bahwa kerajaan-kerajaan di Selayar adalah Kerajaan Gantarang, Buki, Putabangun, dan Saluk yang kemudian menjadi Kerajaan Bontobangun. Khusus mengenai keberadaan Kerajaan Buki’, menurut cerita rakyat bahwa nama Buki’ berasal dari kata “bukit”. Sumber sejarah kerajaan ini tertulis dalam lontara bilang (tulisan harian atau silsilah raja), yang menceritakan bahwa dahulu seorang anak Raja Riau (Melayu) diasingkan karena selalu membuat keributan dalam kerajaan. Anak Raja Riau tersebut kemudian berangkat menggunakan kapal namun tidak pernah sampai pada tujuannya. Sang nahkoda kapal berkata: “kita salah layar”. Perkataan nahkoda tersebutlah kemudian yang dikatakan (atau dianggap) sebagai asal mula nama Selayar. Anak Raja Riau tiba di sebuah bukit yang kemudian menjadi asal nama Kerajaan Buki’, yang diperkirakan muncul sejak awal abad Ke-16. Salah satu tinggalan dari kerajaan Buki’ adalah Sapo Lohe (istana Kerajaan Buki’) yang merupakan pusat pemerintahan. Tinggalan lain berupa kuburan tua di sekitar Sapo Lohe, Buhung Bone-bone (tempat permandian permaisuri dan putra-putranya), dan benda pusaka kerajaan yang tersimpan hingga saat ini.    
Sumber lain menjelaskan bahwa dahulu kala ada seorang anak raja Riau (Melayu) yang notabene gemar berkelahi, suka membuat keributan baik dalam maupun di luar wilayah kerajaan dan sukar diatur oleh ayahnya, kemudian diasingkan (dibuang) ke Selayar. Proses pengasingan tersebut, dimulai dengan sidang terbatas yang dihadiri oleh para hulubalang (penasihat raja) dan hasil sidang pun memutuskan bahwa untuk menjaga kestabilan negeri, maka solusi terbaik adalah putra raja ini harus diasingkan. Karena itu, dibuatlah tiga buah perahu berikut persiapan logistiknya, nahkoda, awak kapal, serta pengawal. Segera setelah ketiga perahu selesai, maka diadakanlah sebuah upacara perpisahan dan dalam upacara perpisahan tersebut, sang raja  berkata:
“Wahai, puteraku walaupun kamu akan kuasingkan kan tetap anakku, dan ketahuilah bahwa tidak ada bekas anak. Aku tidak akan membencimu, yang aku benci hanyalah kelakuanmu dan tabiatmu yang sering melawan perintahku sedangkan saya adalah ayahmu sekaligus rajamu, bahkan nasihat-nasihat ayahmu pun kamu tidak hiraukan, kamu sering membikin kerusuhan dan sering melanggar adat (hukum) yang berlaku dalam kerajaan kita, bahkan yang paling memalukan bagi ayah, ayahmu kini tidak mampu lagi memerintah kamu, sedangkan kamupun adalah rakyatku juga. Oleh karena itu, wahai anakku pergilah kamu kemana engkau mau, bersama nahkoda, awak perahu, dan pengawalmu. Bilamana kamu tiba di tempat tujuan, dirikanlah kerajaan sendiri, di sana kamu dapat berbuat sesuka hatimu, karena itulah kemauannya dan itulah yang kamu cari. Kelak kemudian hari sebagian dari keturunanmu akan kembali dan tinggal di tanah leluhurnya. Selamat jalan dan do’a ayah menyertaimu”.
Segera setelah acara perpisahan digelar, maka berangkatlah sang putera raja ke arah timur bersama pengawalnya. Sekitar sebulan lamanya berlayar, laut kelihatan pun bundar dan sebuah pulau pun tak kelihatan selama berhari-hari, ketika itu nahkoda berkata: “kita salah layar”. Namun tidak lama kemudian sang putera raja melihat bintik hitam, lalu beliau memerintahkan kepada nahkodanya untuk menuju ke bintik hitam tersebut. Ketika agak mendekat, maka tampaklah bintik hitam tadi seperti bukit, kemudian nahkoda pun mendapat perintah untuk segera berlabuh di pantai barat bukit tersebut. Tempat berlabuh ketiga kapal ini oleh penduduk dinamakan Sagangia (tempat yang kita sayangi). Sang putera raja pun beristirahat sejenak di Baruyya. Sebagai pendatang sekaligus untuk menjaga keamanan, maka mereka memutuskan untuk tinggal di atas sebuah bukit dan mereka pun lalu memulai kehidupan serta komunitas ini berkembang  dari waktu ke waktu.
Belum diketahui bagaimana bentuk dan corak pemerintahan Kerajaan Melayu tersebut, namun diperkirakan hukum rimba (siapa yang kuat maka dialah yang berkuasa) merupakan corak kekuasaan pada masanya. Kepemimpinan orang Melayu di Tanadoang tidak berangsung lama dan hanya sampai pada masa kekuasaan Angrong Guruya Raja ri Buki (keturunan anak raja Melayu). Segera setelah itu, kekuasaan berada di tangan raja dari keturunan Kerajaan Gowa yakni Laki Padada (Putra Sombaya ri Gowa) yang mempersunting putri  Angrong Guruyya yakni Bissu Kati. Dari hasil perkawinan inilah kemudian melahirkan seorang putra bernama Patta Buki’ Dg. Sitaba (Lalaki Pertama Kerajaan Buki’ yang memerintah sekitar tahun 1557-1611) dan kemudian mempersunting Bissu Patima Daeng Suginna (Sepupu puteri penguasa Salu’). Berdasarkan sumber lisan (cerita rakyat) dan sumber tertulis (lontara) setempat, ungkapan sang putera raja yakni kita salah layar itulah yang dianggap asal-usul penamaan Selayar. Demikian pula istilah bukit yang mereka lihat saat berlayar sekaligus tempat awal mereka memulai mengembangkan komunitas, itulah yang dianggap asal nama Kerajaan Buki. Bahkan Baruia pun dianggap berasal dari ungkapan sang putera raja yakni “kita BARU tiba YA”.
Jejak kehadiran orang Melayu di Selayar lainnya, dapat diketahui melalui penamaan pemukiman yang bersimbolkan Melayu yakni Kampung Padang. Pemukiman ini berada di wilayah administratif Kecamatan Bontoharu Kabupaten Selayar dan secara geografis terletak di bibir pantai barat pulau ini. Dengan demikian, sangat besar peluang untuk dijadikan tempat persinggahan bagi kapal-kapal untuk menambah perbekalan dan pesediaan air minum serta berlindung dari cuaca yang buruk dalam suatu musim pelayaran. Selain itu, menurut cerita rakyat Seorang saudagar Minangkabau yang bernama Ince Abdul Rahim dalam perjalanannya menuju Maluku bersama rombongan, pernah singgah  di Selayar. Sejak saat itu, kelompok saudagar kemudian sering singgah bahkan ada di antara mereka yang melakukan perkawinan dengan penduduk setempat. Keturunan mereka itulah yang menjadi penduduk yang menghuni Kampung Padang sekarang. Bahkan penamaan Selayar, pun diduga keras berasal dan diberikan oleh orang Melayu.
Realitas empiris ini juga didukung oleh kenyataan bahwa di Padang dewasa ini banyak didapati nama penduduk yang diawali dengan kata Ince, Baba, Puang dan berbagai ciri nama bangsa asing lainnya. Melalui daftar nama para pemilik bagan perahu yang tinggal di Padang, ditemukan nama-nama seperti Ince Usman, Ince Bau’, Ince Salman, Ince Irwan, dan lain-lain. Meskipun demikian, dewasa ini penduduk kampung ini sudah heterogen sebagaimana tampak nama-nama seperti: Baba Desan, Nurdin Coa, Angko’, Yo’ang, dan lain-lain. Bahkan nama-nama keturunan Bugis juga terdapat di Padang seperti Beddu Rahman, Sahide’, Andi Sahibo’, dan seterusnya.  Bila ditelusuri lebih jauh proses interaksi sosial yang berlangsung di Kampung Padang, akan diperoleh kesan menarik untuk dikutip yakni sudah demikian sulitnya membedakan mereka. Masyarakat keturunan Bugis, Melayu (Sumatera), dan Cina yang telah mampu menggunakan bahasa lokal (Selayar) secara fasih, tak ubahnya seperti suku Selayar tulen.  
Pengaruh Melayu lainnya di Selayar juga tampak pada penggunaan istilah (bahasa) untuk menggambarkan spasial seperti: Tana Malaju (Tanah Melayu), Sa’la Silajara (Selat Selayar), Kampung Sela (dari kata Selat), Desa Kohala (dari kata Kuala), dan lain-lain. Bahkan menurut beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat sekitar 115 nama tempat seperti selat, pulau, lokasi, kampung dan nama sungai menggunakan istilah dari bahasa Melayu. Selain itu, terdapat lebih dari 4.000 kosa kata bahasa Selayar berasal dari bahasa Melayu.

2.7  Selayar dari Masa ke Masa
1. Selayar Dan Luwuk dalam buku La Galigo
Disebutkan bahwa kerajaan-kerajaan awal yang berdiri di daratan Sulawesi Selatan antara lain, kerajaan Luwuk, Wewang Nriwuk dan Tompoktikka. Kerajaan Wewang Nriwuk dan Tompoktikka sendiri masih kontroversial keberadaannya. Kerajaan Luwuk berkembang menjadi ketua komuniti Bugis dengan wilayah meliputi Tana Ugi, sepanjang sungai Walenae, tanah pertanian timur, pesisir pantai Teluk Bone, semenanjung Bira, Pulau Selayar dan Tanjung Bantaeng. Ini terjadi pada sekitar abad 12. Jadi pada abad itu, Selayar berada di bawah pengaruh Luwuk. Boleh jadi gelar Opu dan Andi yang banyak terdapat pada nama orang-orang Selayar merupakan warisan dari Luwuk.
Bagaimana Luwuk masuk ke Selayar?
Dikisahkan bahwa dalam perjalanannya dari Cina menuju Luwuk, Sawerigading (lidah orang Selayar menyebut "Seheregading") bersama istrinya, I We Cuddai dan tiga orang puteranya, La Galigo, Tenri Dio dan Tenri Balobo singgah di pulau Selayar dan langsung menuju sebuah tempat bernama Puta Bangung dengan membawa sebuah nekara perunggu yang besar. Mereka lantas dianggap sebagai tomanurung (semacam keturunan dewa). Selanjutnya Tenri Dio diangkat menjadi raja Putabangung, sementara nekara yang mereka bawa masih tersimpan di Matalalang dan menjadi salah satu obyek wisata di Kabupaten Kepulauan Selayar. Masa ini dikenal dengan istilah Periode Galigo, yaitu periode kekuasaan manusia dewa yang mengatur tata tertib dunia dengan kepemimpinan religius kharismatik. Periode Galigo diperkirakan berlangsung sekitar abad 7 sampai abad ke 10 M, tetapi menurut Christian Pelras, periode ini terjadi pada sekitar abad 12.
2.8 Selayar di Era Pelayaran
Di masa lalu, Selayar pernah menjadi rute dagang menuju pusat rempah-rempah di Moluccan (Maluku). Di Pulau Selayar, para pedagang singgah untuk mengisi perbekalan sambil menunggu musim yang baik untuk berlayar. Dari aktivitas pelayaran ini pula muncul nama Selayar. Nama Selayar berasal dari kata "cedaya" (Bahasa Sansekerta) yang berarti, satu layar, karena konon banyak perahu satu layar yang singgah di pulau ini. Kata cedaya telah diabadikan namanya dalam Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada abad 14. Ditulis bahwa pada pertengahan abad 14, ketika Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanegara, Selayar digolongkan dalam Nusantara, yaitu pulau-pulau lain di luar Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti bahwa armada Gajah Mada atau Laksamana Nala pernah singgah di pulau ini.
Selain nama Selayar, pulau ini dinamakan pula dengan nama Tana Doang yang berarti tanah tempat berdoa. Di masa lalu, Pulau Selayar menjadi tempat berdoa bagi para pelaut yang hendak melanjutkan perjalanan baik ke barat maupun ke timur untuk keselamatan pelayaran mereka. Dalam kitab hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa (abad 17), Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga karena letaknya yang strategis sebagai tempat transit baik untuk pelayaran menuju ke timur dan ke barat. Disebutkan dalam naskah itu bahwa bagi orang yang berlayar dari Makassar ke Selayar, Malaka, dan Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus orang.
3. Selayar dan Kerajaan lain di daratan Sulawesi Selatan
Pada suatu ketika Raja Angangnionjo Tomaburu Limanna (Bone), ketika berkunjung ke Somba Opu bertemu dengan Opu Tanete (Selayar) yang datang menghadap raja Makassar untuk melaporkan bahwa ia membawa peti mayat yang berisi mayat jenasah putera Raja Luwuk bernama LasoE, yang mati akibat perahunya karam di Selayar. Raja Angangnionjo sendiri adalah pengganti raja Daeng Sinjai. Beliau memerintah Bone dari tahun 1597-1603. Sehubungan dengan itu, raja Makassar kemudian meminta kesediaan raja Angangnionjo untuk menemani Opu Tanete mengantarkan peti jenazah itu.
Dalam merancang pengusungan jenazah ini dicapai kesepakatan bahwa iring-iringan itu adalah irinmg-iringan kerajaan Tanete meskipun dikawal oleh Opu Tanete dan Raja Angangnionjo. Rasa persaudaraan kemudian timbul di antara keduanya dan atas persetujuan Raja Gowa, sekembali dari Luwuk mereka berikrar membentuk persekutuan dan persaudaraan yang isi pokoknya; Jika rakyat Angangnionjo bepergian ke Tanete (Selayar) maka dia menjadi orang Tanete, demikian sebaliknya. Dan jika armada Raja Angangniuonjo berada di perairan Tanete (Selayar), mereka wajib singgah walaupun tergesa-gesa, demikian pula sebaliknya. Sejak saat itu, Kerajaan Angangnionjo diubah namanya menjadi Kerajaan Tanete. (Hal ini masih membingungkan penulis. Apa ini ada pula hubungannya dengan daerah Tanete yang ada di Bulukumba?)
4. Selayar Dan Buton
Di awal tahun 1500-an, ada raja dari Selayar bernama Opu Manjawari yang membantu Raja Mulae (Raja Buton V) mengusir kelompok bajak laut pimpinan La Bolontio yang saat itu menguasai Sulawesi bagian timur sampai Kepulauan Moro Filipina. Turut dalam pengusiran ini Lakilaponto, yang karena jasa-jasanya berhasil mengusir La Bolontio kemudian diangkat menjadi Sultan Buton I dengan gelar Sultan Muhrum atau Sultan Kaimuddin. Opu Manjawari sendiri diangkat menjadi Sapati pada tahun 1526. Demi mempererat persahabatan mereka, Opu Manjawari kemudian menikahkan Lakilaponto dengan salah satu puterinya. Cucu Opu Manjawari dari Lakilaponto Sultan Muhrum bernama La Sangaji di kemudian hari diangkat menjadi Sultan Kaimuddin III. Anak perempuan Opu yang lain bernama Banaka menikah dengan Raja Batauga. Lakilaponto juga menikahi anak raja Jampea dan memiliki anak bernama La Tumparassi yang kemudian diangkat menjadi Sultan Kaimuddin II.
5. Selayar dan Perdagangan
Christiaan Heersink menggambarkan bahwa komoditas perekonomian di Selayar pada abad 17, agak kurang diperhatikan. Namun marjinalisasi ini tidak serta mendatangkan ketidakberuntungan karena hal ini justru memungkinkan penduduk Selayar memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam merespon perubahan kondisi ekonomi. Kondisi tanah yang pada mulanya dianggap kurang cocok untuk berbagai komoditas pertanian, membuat orientasi terhadap perdagangan maritim menjadi pilihan utama bagi para penduduk. Ini sudah terjadi bahkan jauh hari sebelum pemerintah kolonial menduduki tanah ini. Namun ini juga bukan berarti bahwa Selayar tidak pernah memfokuskan dirinya pada industri pertanian. Pada abad 17 Selayar pernah menjadi pengekspor tekstil ke daerah-daerah kepulauan lainnya. Di abad 19, ketika pasaran tekstil mengalami penurunan akibat kalah bersaing dengan tekstil barat, Selayar beralih menjadi pengekspor kelapa dan teripang. Pada saat itu kelapa memang menjadi komoditas primadona dunia, sehingga pada tahun 1850-an, kapal-kapal orang Selayar telah berlayar ke Irian, Serawak dan Singapura. Pada tahun 1860-an, pemerintah Belanda pernah memperkenalkan tanaman kapas, kapuk, dan kopi yang terbukti gagal berkembang, akibat sedikitnya populasi penduduk yang bisa dipekerjakan untuk komoditas ini. Ketergantungan pada pertanian kelapa ini pula yang di kemudian hari menyebabkan perekonomian selayar mengalami kesulitan ketika terjadi krisis harga kelapa dunia di awal abad 20. "Emas hijau" yang dulunya menjadi primadona ini tak bisa diandalkan lagi bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk sekedar memenuhi tuntutan perut, banyak penduduk yang konon menyelundupkan tekstil ke daratan Sulawesi, bahkan terjadi migrasi penduduk secara besar-besaran dari Selayar ke daerah seberang. Ikut dalam migrasi itu adalah para tukang pasang gigi emas yang dulunya bisa mendapat untung banyak karena banyak orderan.
Bagaimana dengan para penduduk yang bertahan di Selayar sendiri? Kakek-nenek penulis sendiri bercerita bahwa pada masa itu terjadi paceklik. Orang Selayar yang tidak mampu membeli beras harus bertahan dengan menyantap ubi gadung dan biji mangga yang dicincang kemudian dikukus. Jika pengolahannya kurang sempurna, ubi gadung ini bisa membuat mabok. Sementara itu mereka yang merantau ke seberang, bekerja di perusahaan-perusahaan pengolahan kayu sebagai tukang gergaji dan sebagainya. Konon ada juga yang bekerja sebagai pedagang dan pelayan di hotel-hotel.
6. Selayar Pada Masa Pemerintah Kolonial Belanda
Belanda mulai memerintah Selayar pada tahun 1739. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan dimana residen pertamanya adalah W. Coutsier (menjabat dari 1739-1743). Berturut-turut kemudian Selayar diperintah oleh orang Belanda sebanyak 87 residen atau yang setara dengan residen seperti Asisten Resident, Gesagherbber, WD Resident, atau Controleur. Barulah Kepala pemerintahan ke 88 dijabat oleh orang Selayar, yakni Moehammad Oepoe Patta Boendoe. Saat itu telah masuk penjajahan Jepang sehingga jabatan residen telah berganti menjadi Guntjo Sodai, pada tahun 1942. Di zaman Kolonial Belanda, jabatan pemerintahan di bawah keresidenan adalah Reganschappen. Reganschappen saat itu adalah wilayah setingkat kecamatan yang dikepalai oleh pribumi bergelar "Opu". Dan kalau memang demikian, maka setidak-tidaknya ada sepuluh Reganschappen di Selayar kala itu, antara lain: Reganschappen Gantarang, Reganschappen Tanete, Reganschappen Buki, Reganschappen Laiyolo, Reganschappen Barang-Barang dan Reganschappen Bontobangung. Di bawah Regaschappen ada kepala pemerintahan dengan gelar Opu Lolo, Balegau dan Gallarang.
7. Selayar Pada masa Penjajahan Jepang
Di masa pendudukan Jepang, keresidenan diganti dengan istilah Guntjo Sodai dan Buken Kanriken. Masa penjajahan yang cuma berlangsung kurang lebih tiga setengah tahun hanya mengalami pergantian kepala pemerintahan sebanyak dua kali.
Bagaimana keadaan masyarakat Selayar pada masa penjajahan Jepang?
Kakek-nenek kembali angkat cerita bahwa Nippon pernah menyuruh mereka menanam jarak. Mereka juga dilarang makan nasi, walaupun mereka sendiri yang menanam padinya. Kalau mau makan nasi, harus pintar-pintar menyembunyikan padi. Karena jika ketahuan, maka habislah badan dirajah dengan cambuk atau pentungan. Selain itu, mereka juga dilarang menyalakan lampu di malam hari. Konon untuk menghindar dari intaian pesawat-pesawat Sekutu.
2.9  Kondisi Masyarakat Pesisir/Nelayan
Potensi kekayaan sumber daya laut ini tentu merupakan anugerah sekaligus bencana bagi para nelayan yang bermukim di wilayah pesisir dan laut provinsi sulawesi selatan. bahkan yang terjadi kondisi ekonomi dan sosial budaya masyarakat pesisir khususnya nelayan di provinsi ini sangat memprihatinkan. Kondisi geografis wilayah pesisir sulawesi selatan ternyata berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat yang berada di wilayah tersebut. Kemiskinan dan kesulitan hidup merupakan gambaran objektif kondisi masyarakat pesisir/nelayan di sulawesi selatan. salah satu penyebab dari kemiskinan yang dialami oleh nelayan terkhusus nelayan tradisional adalah monopoli hasil tangkap dan pasar yang dilakukan oleh industri-industri perikanan sehingga nelayan hanya sedikit mendapatkan hasil tangkap dengan harga yang relatif murah. Sementara cost untuk melakukan aktivitas tangkap terbilang sangat tinggi. Ditambah lagi master plan percepatan perluasan pembangunan ekonomi indonesia (MPEI) menjadikan provinsi sulawesi selatan sebagai wilayah yang diprioritaskan untuk  mendapat investasi guna peningkatan hasil laut. Dengan mendirikan industri perikanan.
di sulawesi selatan nelayan mendapat problem dan ancaman yaitu:
1)    Serbuan modal yang sangat kuat hingga ke wilayah pesisir sulawesi selatan. Investasi modal tersebut di wujudkan dalam bentuk perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah pesisir. Bahakan tempat perusahaan tambang tersebut beroperasi tidak begitu jauh dari tempat pemukiman nelayan. seperti yang terjadi di desa panaikang kecamatan sinjai timur kabupaten sinjai, dan kabupaten selayar. Akibatnya, Di desa panaikang kecamatan sinjai timur kabupaten sinjai setelah perusahaan tambang pasir besi beroperasi diwilayah mereka, kerusakan ekologis dan wilayah pesisir terjadi mulai dari pencemaran laut, hingga air laut naik hingga ke rumah-rumah penduduk. Keadaan ini merupakan gambaran pengelolaan sumber daya laut yang tidak berbasis masyarakat lokal atau nelayan setempat.
2)    Ancaman reklamasi pantai. Pemerintah provinsi sulawesi selatan dan pemerintah kota makassar sedang menjalankan mega proyek CPI Centre Point of Indonesia yang akan dijadikan pusat bisnis termegah di kawasan indonesia timur. Mega proyek centre point of indonesia ini dibangun seluas 600 hektar diatas permukaan laut yang ditimbun. Proyek ini telah menghancurkan mata pencaharian nelayan tradisional penangkap “tude”. Proyek itu juga telah membuat ribuan nelayan tradisional beralih profesi sebagai kuli bangunan, hinga tukang becak. Selain di kota makassar, rencana reklamasi panati akan dilakukan di kabupaten bantaeng. Reklamasi pantai di lakukan seluas 1 hektar diatas permukaan air laut panati seruni, dengan kedalaman 3 meter. Reklamasi pantai di kabupaten bantaeng rencananya untuk pembangunan hotel, swalayan, hingga tempat-tempat hiburan.
3)    Perubahan iklim. Di sulawesi selatan perbuhan iklim yang terjadi dan dirasakan oleh seluruh ummat manusia di dunia telah mempengaruhi hasil tangkapan nelayan sulawesi selatan. Perubahan cuaca hingga meningkatnya volume air laut sangat membuat para nelayan tidak berdaya sehingga para nelayan mengalami kekurangan hasil tangkapan seperti yang terjadi pada nelayan di desa situ baru kabupaten bulukumba dan nelayan di kecamatan galesong selatan kabupaten takalar.

2.10  Potensi Sumber Daya Laut di Provinsi Sulawesi Selatan
Adapun beberapa potensi yang dimiliki berdasarkan kategori diatas adalah:
1)  Sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) seperti perikanan, rumput laut, hutan bakau, tambak udang, dan sebagainya
2)  Sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources) seperti sumberdaya minyak dan gas bumi serta tambang pasir besi dan
3)  Jasa lingkungan, seperti pariwisata bahari, industri kapal, dan transportasi.

Dari hasil peninjauan pihaknya belum lama ini, Aswadi, menyimpulkan bahwa Kepulauan Selayar sangat cocok dikembangkan perikanan budidaya. “Perikanan budidaya memiliki keunggulan dan dapat memilih sendiri jenis ikan yang akan dibudidayakan,” ujar Iswadi yang juga adalah seorang pengusaha yang telah banyak bekerjasama dengan pemerintah, dalam pengembangan perikanan di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan mapun lokal Kabupaten Kepulauan Selayar.

2.7  Ada keraguan dengan inisiatif itu sebab terkait kelautan di Sulsel
Ada keraguan dengan inisiatif itu sebab terkait kelautan di Sulsel, ada beberapa informasi tentang:
1) Produksi perikanan seperti udang yang semakin merosot sejak 10 tahun terakhir karena serangan hama penyakit
2) Degradasi lingkungan semakin mengkhawatirkan
3) Jumlah penduduk semakin bertambah utamanya di pulau-pulau dengan sumberdaya yang sangat terbatas
4) Fungsi pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan yang memburuk utamanya pada pulau jauh seperti Kepulauan Pangkep, Selayar hingga Sinjai
5) Rentannya warga pesisir mengalami disfungsi sosial karena pengangguran, area tangkap perikanan yang semakin sempit dan jauh, penggunaan bom dan bius ikan serta kelumpuhan karena penyelaman.













                       

BAB III
ANALISIS

Tidak adanya sosialisasi yang terjalin dengan baik menyebabkan timbul nya permasalahan -permasalah yang di hadapi dunia perikanan di kabupaten kepulauan selayar hal ini dikarnakan  kurangannya  pendekataan social antara pemerintah dan pihak – pihak yang mengetahui lebih dalam dunia perikanan dengan masyarakat pesisisr sebagai nelayaan mengenai teknologi dan cara pemenfaatan sumber daya perikanan yang terdapat di kabupaten kepulauan selayar.
Mengurangi rentannya warga pesisir mengalami disfungsi sosial karena pengangguran, area tangkap perikanan yang semakin sempit dan jauh, penggunaan bom dan bius ikan serta kelumpuhan karena penyelaman.
          Tidak hanya itu,  ada beberapa program yang bisa di terapkan oleh pemerintah setempat yaitu salasatunya dengan mengadakan :
Ø Modernisasi Perikanan
Salah satu paradigma pembangunan yang banyak dianut adalah paradigma modernisasi. Agen pembangunan internasional dan pemerintah negara berkembang, menjadikan paradigma ini sebagai acuan otoritatif di dalam mana ia dilaksanakan sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Indonesia sejak tahun 1966, dalam proses pembangunannya, paradigma ini juga turut merasuk ke hampir semua sektor kehidupan (Sasono, 1980), termasuk dibidang perikanan dan kelautan (revolusi biru). Istilah revolusi biru (modernisasi perikanan) merupakan turunan dari revolusi hijau pada sektor pertanian, yang awal mulanya dilakukan melalui introduksi teknologi baru dalam kegiatan perikanan (motorisasi dan inovasi alat tangkap).
Secara teoritis modernisasi yang terjadi melalui kapitalisasi (peningkatan arus modal dan teknologi), akan berpengaruh terhadap perubahan struktur sosial masyarakat. Peningkatan kebutuhan spesialisasi pekerjaan atau tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru dengan posisi baru dalam struktur sosial masyarakat akan memainkan peranan-peranan sosial tertentu sesuai dengan tuntutan statusnya. Struktur-strukrur yang baru ini membawa sejumlah implikasi. Biersted (1970) mengemukakan tiga pokok pemikiran berkaitan dengan hal tersebut, yaitu (1) pembagian kerja merupakan wujud adanya bentuk pelapisan atau stratifikasi sosial dalam masyarakat; (2) pembagian kerja menghasilkan ragam posisi atau status dan peranan yang berbeda; dan (3) pembagian kerja sebagai fungsi dari besar kecilnya ukuran masyarakat, semakin besar ukuran masyarakat, pembagian kerja pun semakin nyata. Berdasarkan proposisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa stratifikasi sosial masyarakat dapat berubah setelah adanya modernisasi.
Relevansi yang menunjukkan adanya pengaruh modernisasi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat telah banyak dipublikasikan. Namun studi-studi tersebut, kebanyakan masih bertumpu pada kasus masyarakat agraris dimana pertanian padi-sawah dominan, seperti yang dilakukan Hayami dan Kikuchi (1987), Frans Huskens (1998), Collier et.all (1996), dan lainnya. Pada umumnya menjelaskan bahwa, masyarakat agraris dalam konteks ekologi padi sawah telah mengalami modernisasi namun masih merupakan representasi masyarakat dengan cara produksi sederhana atau bahkan komersial dimana cara produksi kapitalis yang padat teknologi serta industri pedesaan belum berkembang, sehingga dinamika formasi sosial belum terlalu tinggi. Sementara untuk studi sosiologi dengan mengambil kasus ekologi pantai dan pulau-pulau kecil dimana perikanan tangkap merupakan ciri utama belum banyak dilakukan di Indonesia
Apa sebenarnya yang terjadi pada masyarakat nelayan dengan program modernisasi, menjadi fenomena menarik untuk dikaji. Karena, modernisasi yang secara ideologis seharusnya untuk mensejahterakan nelayan tradisional justru realitanya anomali. Karena itu, studi ini hendak mengisi wacana baru dalam sosiologi masyarakat nelayan dengan memfokuskan diri menelaah dinamika formasi sosial yang terjadi akibat modernisasi yang telah berlangsung. Pemahaman mendalam tentang modernisasi perikanan dengan pendekatan teori sosiologi, diharapkan dapat memberi sumbangsih pemikiran dan informasi dalam upaya penyiapan tatanan kelembagaan untuk sebuah keberlanjutan pembangunan (revolusi biru) sehingga gerakan ini tidak mengulang “kegagalan” dari revolusi hijau yang ternyata menyisakan wujud ketimpangan antar petani di pedesaan (Damanhuri, 1996)
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpuilan
Selayar memiliki potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar karna memiliki banyak pulau pulau yang dapat menjadi tempat tinggal ikan – ikan dan juga berbagai biota air yang memiliki nilai jual akan tetapi permasalahan yang di hadapi oleh kepulauan selayar menyebabkan masyarakat nya kurang sejahtera karena bebrapa factor yang mencangkup semua itu contoh nya Kendala geografis, Terbatasnya fasilitas yang ada, Terbatasnya kualitas sumber daya manusia, Terbatasnya sumberdaya manusia di bidang standarisasi ekspor.
5.1 Saran
Menurut kami permasalahan yang berawal dari kurang baik nya kehidupan social diantara para pelaku yang menjadi subjek utama dunia perikanan di kepulauan selayar, sehingga dapat terjalin interaksi social antara pihak – pihak terkait untuk dapat  bekerja membenahi permasalahan yang lebih khusus seperti sumber dayaan masyarakat berbaikatan insfrastruktur, pengetahuaan dan teknologi agar dapat memperbaiki kemakmuraan masyarakat di kepulauan selayar itu sendiri. Sebenarnya  masalah itu biasa karna kehidupaan tidak lebas dari masalah, Justru dengan adanya masalah  akan banyak belajar untuk melatih intuisi dan belajar mencari solusi yang tepat sehingga jika dikemudian hari menemukan masalah yang sama sudah siap untuk melaluinya.







DAFTAR PUSTAKA
http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=3&doc=3d3 (Di akses pada tanggal 05 Maret 2014 Jam 21.30 WIB)
http://andiadriarief.blogspot.com/ (diakses pada tanggal 07 maret 2014)







          
 

 
 

1 komentar:

  1. info untuk para pembaca blog ini bahwa sebagian besar tulisan ini khususnya berhubungan dengan orang melayu di Selayar merupakan isi tulisan Dr Ahmadin Sejarawan UNM yg berjudul Orang Melayu dalam Sejarah Selayar sebuah makalah yg disajikan dalam seminar internasional di University Kebangsaan Malaysia 2008 lalu.

    BalasHapus