SEJARAH
PERIKANAN DAN KELAUTAN
“Pantai
Selayar Sulawesi Selatan”
Di Susun Oleh :
Kelompok 9
Adli muhammad adzan 230110130052
Rayana akbar maulana 230110130047
Jamaludin 230110130040
Leni maryani 230110130013
Ardi armada putra 230110130048
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU
KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas Sejarah
Perikanan di Kabupaten kepulauan Selayar.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat
tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan
itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita sekalian.
Jatinangor, 10 Maret 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ................................................................................................. i
DFTAR
ISI................................................................................................................... ii
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang .................................................................................................. 1
BAB
II KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian
Teori Sosiologi Menurut Para Ahli Sosiologi.................................. 3
2.2.
Teori Sosiologi Ekonomi................................................................................... 8
2.3 Gambaran Umum Wilayah Pesisir dan Laut Sulawesi Selatan................... 9
2.4 Sejarah Selayar................................................................................................ 11
2.5 Selayar dalam Jaringan Pelayaran
Nasional..................................................... 13
2.6
Jejak Kehadiran Orang Melayu ke Selayar...................................................... 15
2.7
Selayar dari Masa ke Masa............................................................................... 19
2.8
Selayar di Era Pelayaran.................................................................................. 20
2.9
Selayar di Era Pelayaran.................................................................................. 24
2.10
Potensi Sumber Daya Laut di Provinsi Sulawesi Selatan.............................. 25
BAB
III ANALISIS
3.1.
Modernisasi Perikanan dan Kelautan.............................................................. 27
BAB
IV PENUTUP
4.1.
Kesimpulan..................................................................................................... 29
4.2.
Saran............................................................................................................... 29
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang kehidupan manusia. Salah satunya adalah mempelajari tentang sosialisasi
dan pembentukan kepribadian. Selain daripada itu, Sosiologi merupakan disiplin
ilmu yang memiliki cakupan luas dan memiliki banyak cabang. Hal ini disebabkan
sosiologi memiliki tokoh-tokoh yang membuat studi sosiologi semakin berkembang
mengikuti perkembangan zaman serta situasi yang dihadapi. Adapun para tokoh
tersebut menyumbangkan teori-teorinya mengenai studi sosiologi sesuai dengan
peristiwa-peristiwa yang mereka alami dizamannya.
Wilayah Sulawesi Selatan dilihat dari rupa bumi Indonesia sangat
strategis karena berada di tengah kepulauan Indonesia. Wajar bila menjadi lalu
lintas perdagangan antar negara sejak dulu bahkan titik interaksi ekologis
antara dua samudera luas yaitu Pasifik dan Samudera Indonesia. Selain itu,
perairan Sulsel menyimpan ragam ekosistem laut, pulau dan ekosistem penting
seperti terumbu karang, mangroves dan perairan lepas.
Perairan Spermonde di barat Kota Makassar yang diisi
puluhan pulau, kawasan Teluk Bone di timur yang membentang dari Sinjai hingga
Luwu serta Laut Flores yang menyimpan dan menawarkan daya tarik Taman Nasional
Taka Bonerate (Selayar) merupakan wahana sosial-ekonomi warga sejak lama.
Pada tingkat regional, Perairan Sulsel merupakan rupa wilayah kepulauan
yang menjadi simpul interaksi tiga kawasan strategis,
Sulawesi-Nusatenggara-Bali. Ditilik dari dimensi sejarah, Sulawesi bagian
Selatan adalah kawasan yang paling dinamis. Sejak zaman keemasan kerajaan Gowa,
kawasan ini adalah pusat pendidikan dan kebudayaan sekaligus syahbandar
perdagangan yang dijejali pendatang dari berbagai bangsa. Pada zaman Sulsel
merupakan basis perjuangan nasional, bahkan saat pembebasan Irian Barat,
Makassar (ibukota Sulsel) merupakan basis perjuangan pemerintah RI. Posisi itu
dapat disebut sebagai simpul fungisonal dalam sisi geopolitik. Dimensi Kelautan
merupakan bagian integral Indonesia. Sejatinya, pengalaman historis tersebut
menjadi modal sekaligus pemantik pergerakan pengelolaan kelautan sebagai sumber
inspirasi pembangunan nasional dan daerah.
Ini bukan program coba-coba, dan bukan
sebuah program dasar yang baru akan mempelajari atau menelusuri kegiatan para
nelayan dan sumber dayanya, akan tetapi sebuah upaya dan langkah nyata yang
merupakan praktek dari teori hasil yang telah diteliti selama ini. Insya Allah ke
depan, sebuah pusat riset perikanan akan terbangun di Selayar. Sehingga
pelayanan informasi terhadap nelayan dari hasil riset nantinya akan langsung
dimanfaatkan oleh nelayan kita. Bayangkan bila informasi pergerakan ikan
dalam setiap siklus pergerakannya dapat terdeteksi dan langsung diinformasikan
bagi nelayan kita, bukankah kemudian hasil tangkapan akan semakin banyak,
termasuk bila kemudian ada hal-hal penting dari pusat riset yang saat itu
sangat dibutuhkan nelayan, misalnya informasi cuaca atau kejadian disekitar
laut Selayar, jelas Marjani. Sementara itu, dalam perencanaa ini, pihaknya akan
segera melakukan kerjasama dengan para peneliti perikanan dan kelautan
dari sejumlah kampus yang ada di Sulawesi-selataan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Teori Sosiologi Menurut Para Ahli Sosiologi
1. Ibnu Khaldun
(1332-1406)
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia, Afrika
Utara, 27 Mei 1332 (Faghirazadeh, 1982). Ia kahir dari keluarga terpelajar,
dimasukkan ke sekolah Al-Quran, kemudian mempelajari matematika dan sejarah.
Semasa hidupnya ia membantu berbagai Sultan di Tunisia, Maroko, Spanyol dan
Al-Jazair sebagai duta besar, bendaharawan dan anggota dewan penasehat sultan.
Adapun pendapat Khaldun tentang
watak-watak masayarakat manusia dijadikannya sebagai landasan konsepsinya bahwa
kebudayaan dalam berbagai bangsa berkembang melalui empat mazhab yaitu fase
primitif atau nomaden, fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran
yang mengantarkan kehancuran. Kemudian keempat perkembangan ini oleh Khaldun
sering disebut dengan fase pembangun, pemberi gambar gembira, penurut, dan
penghancur.
2. Auguste Comte
(1789-1857)
Auguste Comte lahir di Mountpelier
Perancis, 19 Januari 1798. Ia merupakan bapak sosiologi, orang pertama
yang menggunakan istilah
sosiologi (socius dan logos). Pengaruhnya besar sekali
terhadap para teoritis sosiologi selanjutnya (terutama Hebert Spencer dan Emile
Durkheim). Dia mempunyai anggapan bahwa sosiologi terdiri dari dua bagian
pokok, yaitu social statistic (statika sosial atau struktur sosial
yang ada) dan social dynamic (dinamika sosial atau perubahan
sosial). Sebagai sosial statistik, sosiologi merupakan sebuah ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Sebagai social dinamik, meneropong bagaimana lembaga-lembaga itu
berkembang dan mengalami perkembangan sepanjang masa.
Landasan pendekatan Comte ialah teori
evolusinya atau hukum tiga tingkatan. Ia menyatakan ada tiga tingkatan
intelektual yang harus dilalui dunia di sepanjang sejarahnya.
Pertama, tahap teologismenekankan pada keyakinan bahwa kekuatan
adikodrati, tokoh agama, dan keteladanan kemanusiaan menjadi dasar segala
sesuatu. Kedua, tahap metafisik ditandai oleh keyakinan bahwa
kekuatan abstraklah yang menerangkan segala sesuatu, bukannya dewa-dewa
personal. Ketiga, tahap positivistik yang ditandai oleh keyakinan
terhadap ilmu sains. Manusia mulai cenderung menghentikan penelitian terhadap
(Tuhan atau alam) dan dunia sosial guna mengetahui hukum-hukum yang
mengaturnya.
Dalam teorinya tentang dunia, Comte
menyatakan bahwa kekacauan intelektual menyebabkan kekacauan sosial. Menurut
pandangannya, kehidupan di dunia ini sudah cukup kacau, dan yang dibutuhkan
dunia adalah perubahan intelektual. Ada beberapa aspek lain yang juga berperan
penting dalam pengembangan teori sosiologi. Ia menyatakan bahwa kita harus
memperhatikan struktur sosial dan perubahan sosial. Ia menekankan besarnya
peran konsesnsus dalam masyarakat. Dan ia juga menekankan perlunya memahami
teori abstrak dan melakukan riset sosiologi. Comte yakin sosiologi akhirnya
akan menjadi kekuatan ilmiah dominan di dunia karena kemampuan istimewanya
dalam menafsirkan hukum sosial dan melakukan reformasi yang bertujuan
menyelesaikan masalah dalam sistem.
Menurut Comte, masyarakat harus diteliti
atas dasar fakta-fakta objektif dan dia juga menekankan pentingnya
penelitian-penelitian perbandingan antara berbagai masyarakat yang
berlainan. Hasil karya Comte yang terutama adalah :
1) The
Scientific Labors Necerssary for Reorganization of Society (1822);
2) The
Positive Philosophy (6 jilid 1830-1840);
3) Subjective
Synthesis (1820-1903).
3. Karl Marx
(1818-1883)
Karl
Marx lahir di Trier, Prusia, 5 Mei 1818. Ia adalah seorang ahli filsafat
sejarah Jerman. Marx hidup selama abad ke-19, yaitu saat kapitalisme merajai
wilayah Eropa dan Amerika.
Marx yakin bahwa setiap manusia perlu
bekerja di dalam dan dengan alam. Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang
memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki.
Dengan kata lain manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial. Mereka perlu
bekerja bersama untuk menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk
hidup. Melalui perjalanan sejarah, proses alamiah ini dihancurkan, dan mencapai
titik puncaknya dalam kapitalisme. Kapitalisme pada dasarnya adalah sebuah
struktur yang membuat batas pemisah antara seorang individu dan proses
produksi, produk yang diproses dan orang lain, dan akhirnya juga memisahkan
diri individu itu sendiri.
Dalam terminologi sarjana beraliran
Marxist, tanaman produksi, pabrik baja, dan yang serupanya disebut sebagai
alat-alat produksi, dan mereka yang menjadi pemiliknya disebut dengan kaum
borjuis. Para pekerja yang menjual tenaganya untuk kaum borjuis itu
disebut kaumproletar. Marx percaya bahwa setiap masyarakat kapitalis pada akhirnya
akan terpecah oleh konflik antara kaum borjuis dan proletar.
Menurut Marx, kapitalisme di dalamnya
memiliki penyebab-penyebab kerusakannya. Kaum borjuis memberi upah yang sangat
rendah sehingga kaum proletar hampir tidak mungkin bertahan hidup. Marx memberi
prediksi bahwa kehidupan para pekerja yang sengsara itu akan memberi penyadaran
bahwa satu-satunya cara untuk keluar dari kesengsaraan itu adalah dengan
bersatu dan melakukan revolusi. Marx juga percaya bahwa sifat dasar pekerja
industri juga memberi kontribusi bagi kejatuhan kapitalisme. Marx yakin bahwa
tragedi kapitalisme terjadi dengan cara bahwa suatu sistem mentransformasikan
kerja dari sesuatu yang bermakna menjadi sesuatu yang tidak
bermakna.
4. Herbert Spencer
(1820-1903)
Spencer lahir di Derby, Inggris 27 April
1820. Ia menganut pandangan evolusi yang berkeyakinan bahwa kehidupan
masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang semakin baik dan
karena itulah kehidupan masyarakat harus dibiarkan berkembang sendiri. Berbeda
dengan Comte, Spencer memusatkan perhatian pada individu, sedangkan Comte
menekankan pada unit yang lebih besar seperti keluarga. Dalam bukunya The
Principles of Sociology ( 3 jilid, 1877), Spencer menguraikan materi
sosiologi secara rinci dan sistematis. Dia mengatakan bahwa objek sosiologi
yang pokok adalah keluarga, politik, agama,pengendalian sosial dan
industri. Dia juga menekankan bahwa sosiologi harus menyoroti hubungan
timbalbalik antara unsur-unsur masyarakat seperti pengaruh norma-norma atas
kehidupan keluarga, hubungan antara lembaga politik dan lembaga keagamaan.
Salah satu teori evolusinya berkaitan
dengan peningkatan ukuran masyarakat. Masyarakat tumbuh melalui
perkembangbiakan individu dan penyatuan kelompok-kelompok. Peningkatan
ukurannya, masyarakat berubah melalui penggabungan, yakni makin lama makin
menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan. Dalam tulisannya mengenai etika
dan politik, Spencer mengemukakan gagasan evolusiya yang lain. Di satu sisi ia
memandang masyarakat berkembang menuju keadaan moral yang ideal atau sempurna.
Di sisi lain ia menyatakan bahwa masyarakat yang paling mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungannyalah yang akan bertahan hidup, sedangkan masyarakat yang tak
mampu menyesuaikan diri terpaksa menemui ajalnya. Hasil proses ini adalah
peningkatan kemampuan menyesuaikan diri masyarakat secara keseluruhan.
Hasil
karya yang terkenal lainnya:
1)
Social Statistic (1850);
2)
Principles of Psychology (1955);
3)
Principles of Biologis (2 jilid,
1864 dan 1961)
4)
Principles of Ethics (1893)
5. Emile Durkheim
(1858-1917)
Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis
15 April. Dia adalah seorang sosiolog teoritis dan praktisi pendidikan.
Durkheim fokus kepada kesatuan masyarakat. Menurutnya, sosiologi meneliti
lembaga-lembaga dalam masyarakat dan proses-proses sosial. Durkheim
melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia membedakan
antara dua tipe utama solidaritas: solidaritas mekanis, dan solidaritas
organis. Lambat laun pembagian kerja dalam masyarakat semakin berkembang sehingga
solidaritas mekanis berubah menjadi solidaritas organis.
Dalam The Rule of Sosiological Method
(1895/1982) Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari apa
yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial. Ia membayangkan fakta sosial sebagai
kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa
individu. Ia juga membedakan antara dua tipe fakta sosial:
material dan nonmaterial. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif
dipersatukan terutama oleh fakta sosial nonmaterial. Sedangkan masyarakat modern,
kekuatan kesadaran kolektif telah menurun, pembagian kerja yang ruwet, yang
mengikat orang yang satu dengan orang lainnya dalam hubungan saling tergantung.
Dan dalam karyanya yang terakhir, The Elementary Forms of Religious Life
(1912/1965) Durkheim yakin bahwa sumber agama adalah masyarakat itu sendiri.
Dalam agama primitif benda-benda seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang
didewakan. Akhirnya Durkheim menyimpulkan bahwa masyarakat dan agama adalah
satu dan sama.
Dalam masalah sosiologi, ia mengklasifikasikan
pembagian sosiologi atas tujuh kelompok, yaitu:
1. Sosiologi
umum yang mencakup kepribadian individu dan kelompok manusia.
2. Sosiologi
agama
3. Sosiologi
hukum dan moral yang mencakup organisasi politik, organisasi social, perkawinan
dan keluarga.
4. Sosiologi
tentang kejahatan
5. Sosiologi
ekonomi yang mencakup ukuran-ukuran penelitian dan kelompok kerja
6. Demografi
yang mencakup masyarakat pedesaan dan perkotaan
7. Sosiologi
estetika
Hasil
karyanya yang terkemuka:
1. The Social Division of
Labor (1893)
2. The
Rules of Sociological Method (1895)
3. The
Elementary Forms of Religious (1912)
6. Max Webber
(1864-1920)
Max Webber, seorang Jerman yang
lahir di Erfurt 21 April 1864. Weber belajar beragam subjek, mencakup
hukum, ekonomi, sejarah, agama, dan filsafat. Dia juga sempat menduduki
jabatan-jabatan akademik penting di sejumlah universitas di Jerman, dan dia
juga merupakan tokoh terkenal dikalangan politisi pada masanya. Karya Weber
pada dasarnya adalah teori tentang proses rasionalisasi.
Weber percaya bahwa saat tradisi hilang
dan digantikan dengan rasionalitas, Eropa mengalami industrialisasi dan
mengadopsi ekonomi kapitalistik. Misalnya, dalam sebuah masyarakat tradisional
seorang petani yang sakit mungkin akan meminta pertolongan tetangga, namun
dalam masyarakat industri seorang pekerja yang sakit tak memilki siapapun
kecuali agen birokrasi pemerintah.
Ia berusaha memberikan pengertian
mengenai perilaku manusia dan sekaligus menelaah sebab-sebab terjadinya
interaksi social. Weber melihat bahwa birokrasi sebagai contoh klasik
rasionalisasi. Mengenai proses birokratisasi ia membedakan antara tiga jenis
sistem otoritas yakni tradisional, karismatik, dan rasional legal. Max juga
terkenal dengan teori ideal typus, yaitu merupakan suatu konstruksi dalam pikiran
seorang peneliti yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis
gejala-gejala dalam masyarakat. Karya yang ditulisnya antara lain:
1. The
History of Trading Companies During the Moddle Ages (disertasi,1889)
2. Economy
and Society (1920)
3. Collected
Essays on Sociology of Region (3 jilid, 1921)
2-2
Teori Sosiologi Ekonomi
Didalam
kehidupan masyarakat sebagai satu system maka bidang ekonomi hanya sebagai
salah satu bagian atau subsistem saja. Oleh karena itu, didalam memahami aspek
kehidupan ekonomi masyarakat maka perlu dihubungkan antara factor ekonomi
dengan factor lain dalam kehidupan masyarakat tersebut. Factor-faktor tersebut
antara lain: faktor agama dan nilai-nilai tradisional, ikatan kekeluargaan,
etnisitas, dan stratifikasi sosial.
Faktor-faktor
tersebut mempunyai pengaruh yang langsung terhadap perkembangan ekonomi. Faktor
agama dan nilai-nilai tradisional: ada nilai-nilai yang mendorong perkembangan
ekonomi, akan tetapi ada pula nilai-nilai yang menghambat perkembangan ekonomi.
Demikian pula dengan kelompok solidaritas, dalam hal ini yakni keluarga dan
kelompok etnis, yang terkadang mendorong pertumbuhan dan terkadang pula
menghambat pertumbuhan ekonomi.
2.3
Gambaran Umum
Wilayah Pesisir dan Laut Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Selatan adalah salah satu provinsi di indonesia yang
secara geografis merupakan daerah bebasis kelautan yang sangat besar. Provinsi
sulawesi selatan memiliki garis pantai sepanjang 1.937 Km dan luas perairan
laut 266.877 Km2. Itu dikarenakan Dari 24 kabupaten yang terdapat di provinsi
sulawesi selatan, 2/3 diantaranya adalah kabupaten yang memiliki wilayah
pesisir dan laut. Selain itu provinsi sulawesi selatan memiliki 263 pulau-pulau
kecil yang tersebar di beberapa kabupaten diantaranya makassar, kabupaten selayar,
kabupaten bone, dan kabupaten pangkaje’ne dan kepulauan (pangkep).
Menurut selaku kepala Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten kepulauan Selayar Sulawesi selatan DR.Ir.Marjani
Sultan MSi, Potensi
Perikanan tangkap di kabupaten kepulauan selayar
memiliki beragam kekayaan,
yaitu
Produksi
Perikanan Tangkap Tahun 2008:
JENIS
IKAN :
Ikan
Manyung : 18,4 ton Ikan
Layang : 190,8 ton
Ikan
Sunglir : 24,3 ton Ikan
Tetengkek : 35,4 ton,
Ikan
Bawal Hitam : 1,5 ton, Ikan
Cendro : 36,6 ton
Ikan
ekor kuning : 69,9 ton, Ikan
Selar : 51,6 ton,
Ikan
Kuwe : 39,2 ton Ikan
Layang : 190,8 ton
Ikan
Sunglir : 24,3 ton Ikan
Tetengkek : 35,4 ton,
Ikan
Bawal Hitam : 1,5 ton, Ikan
Bawal Putih : 4,6 ton,
Ikan
Kakap Putih : 380,8 ton, Ikan
Tembang : 644,5 ton,
Ikan
Lemuru : 287,9 ton, Ikan
Teri : 1.411,8 ton,
Ikan
Terbang : 106,2 ton, Ikan
Julung -Julung : 101,4 ton,
Ikan
Gerot-gerot : 517,9 ton, Ikan peperek : 672,6 ton,
Ikan
lencam : 870,7 ton, Ikan
Kakap Merah : 723,5 ton,
Ikan
Belanak : 48,5 ton, Ikan
biji nangka : 45,6 ton,
ikan
kurisi : 33 ton, Ikan tenggiri : 228,9 ton,
Ikan
tenggiri Papan : 48,5 ton, Ikan
Cucut : 515,9 ton,
ikan
Pari : 381,2 ton, Ikan
Baronang Lingkis : 34,5 ton,
Ikan
Kerapu Sunu : 689,1 ton, Ikan
Kerapu Karang : 5 ton,
Ikan
Kerapu Bebek : 3 ton, Ikan Kembung :
271,8 ton,
Ikan
Cakalang : 193,5 ton, Ikan Madidihang
: 437,1 ton,
Ikan
Tongkol Abu-abu : 66,8 ton,
Ikan
lainnya : 765,1 ton,
a)
BINATANG BERKULIT KERAS
Udang
Putih : 17,1 ton,
Udang
lainnya : 687,4 ton,
Kepiting
: 98 ton,
Rajungan
: 22,1 ton,
b)
BINATANG LUNAK
Cumi-cumi : 583,1 ton,
Gurita : 243,2 ton,
Taripang : 621,7 ton
c)
TANAMAN AIR
Rumput Laut : 777,1 ton
PRODUKSI 2008 (TON) 13.245
2.4 Sejarah
Selayar
Sejarah
Selayar - Kabupaten Kepulauan Selayar adalah sebuah kabupaten yang terletak di
Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten Kepulauan Selayar
adalah Kota Benteng. Kabupaten ini memiliki luas sebesar 10.503,69 km² (wilayah daratan dan
lautan) dan berpenduduk sebanyak ±134.000 jiwa. Kabupaten Kepulauan Selayar
terdiri dari 2 sub area wilayah pemerintahan yaitu wilayah daratan yang
meliputi kecamatan Benteng, Bontoharu, Bontomanai, Buki, Bontomatene, dan
Bontosikuyuserta wilayah kepulauan yang meliputi kecamatan Pasimasunggu Timur,
Takabonerate, Pasimarannu, dan Pasilabena.
Pada
masa lalu, Kabupaten Kepulauan Selayar pernah menjadi rute dagang menuju pusat
rempah-rempah di Maluku. Di Pulau Selayar, para pedagang singgah untuk mengisi
perbekalan sambil menunggu musim yang baik untuk berlayar. Dari aktivitas
pelayaran ini pula muncul nama Selayar. Nama Selayar berasal dari kata cedaya (Bahasa
Sanskerta) yang berarti satu
layar, karena konon banyak perahu satu layar yang singgah di pulau ini. Kata
cedaya telah diabadikan namanya dalam Kitab Negarakertagama karangan Empu
Prapanca pada abad 14. Ditulis bahwa pada pertengahan abad 14, ketika Majapahit dipimpin oleh Hayam
Wuruk yang bergelar
Rajasanegara, Selayar digolongkan dalam Nusantara, yaitu pulau-pulau lain di
luar Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti bahwa
armada Gajah Mada atau Laksamana Nala pernah singgah di pulau ini.
Selain
nama Selayar, pulau ini dinamakan pula dengan nama Tana Doang yang berarti
tanah tempat berdoa. Di masa lalu, Pulau
Selayar menjadi
tempat berdoa bagi para pelaut yang hendak melanjutkan perjalanan baik ke barat
maupun ke timur untuk keselamatan pelayaran mereka. Dalam kitab hukum pelayaran
dan perdagangan Amanna Gappa (abad
17), Selayar disebut sebagai salah satu daerah
tujuan niaga karena letaknya yang strategis sebagai tempat transit baik untuk
pelayaran menuju ke timur dan ke barat. Disebutkan dalam naskah itu bahwa bagi
orang yang berlayar dari Makassar ke Selayar, Malaka, dan Johor, sewanya 6 rial
dari tiap seratus orang.
Belanda mulai memerintah Selayar pada tahun 1739. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan dimana residen pertamanya adalah W. Coutsier (menjabat dari 1739-1743). Berturut-turut kemudian Selayar diperintah oleh orang Belanda sebanyak 87 residen atau yang setara dengan residen seperti Asisten Resident, Gesagherbber, WD Resident, atau Controleur. Kabupaten Selayar yang merupakan salah satu Kabupaten dalam wilayah Provinsi Slawesi Selatan, terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerahdaerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822). Yang kemudian berubah nama menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar berdasarkan PP. No. 59 Tahun 2008.
Belanda mulai memerintah Selayar pada tahun 1739. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan dimana residen pertamanya adalah W. Coutsier (menjabat dari 1739-1743). Berturut-turut kemudian Selayar diperintah oleh orang Belanda sebanyak 87 residen atau yang setara dengan residen seperti Asisten Resident, Gesagherbber, WD Resident, atau Controleur. Kabupaten Selayar yang merupakan salah satu Kabupaten dalam wilayah Provinsi Slawesi Selatan, terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerahdaerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822). Yang kemudian berubah nama menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar berdasarkan PP. No. 59 Tahun 2008.
Selayar baik sebagai nama sub-etnis
Makassar maupun sebutan untuk spasial bernama kabupaten, tampaknya belum
terlalu akrab di telinga semua orang. Bahkan dalam historiografi Indonesia,
Selayar pun tampaknya belum mendapat tempat yang “layak” dan memadai serta
masih kurang dilirik sebagai obyek kajian ilmiah. Dalam kekosongan ruang-ruang
ilmiah tertentu menyangkut Selayar inilah, menjadi salah satu alasan
fundamental kehadiran karya tulis ini. Tulisan ini bermaksud mengurai beberapa
sumber sejarah tentang Selayar yang berhubungan dengan orang Melayu. Sebut
saja keberadaan Kerajaan Buki’, menurut cerita rakyat dan sumber tertulis
kerajaan dalam lontara bilang terkait dengan kehadiran seorang anak Raja Riau
(Melayu) ke Selayar awal abad Ke-16. Selain itu, menurut cerita rakyat
Seorang saudagar Minangkabau yang bernama Ince Abdul Rahim dalam perjalanannya
menuju Maluku bersama rombongan, pernah singgah di Selayar. Sejak
saat itu, kelompok saudagar kemudian sering singgah bahkan ada di antara mereka
yang melakukan perkawinan dengan penduduk setempat. Keturunan mereka itulah yang
menjadi penduduk yang menghuni Kampung Padang sekarang. Bahkan penamaan
Selayar, pun diduga keras berasal dan diberikan oleh orang Melayu.
Jejak kehadiran orang Melayu di Selayar,
juga dapat ditelusuri melalui penggunaan nama penduduk terutama yang mendiami
perkampungan bernama Padang dan nama tempat di Desa Buki. Kemudian hal yang
tidak kalah penting yakni posisi Selayar dalam jaringan pelayaran dan
perdagangan Nusantara sejak abad ke-13, yang memungkinkan berbagai suku bangsa
singgah di tempat ini.
2.5 Selayar dalam
Jaringan Pelayaran Nasional
Melalui catatan sejarah dalam buku
Kartagama Pupuh XIV, Selayar sudah dikenal sejak masa pemerintahan kerajaan
Majapahit pada abad ke-13. Sebagaimana disebutkan bahwa: “…tersebut pula
pulau-pulau Makassar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Selayar, Sumba,
Solor Muar. Lagi pula Wanda (n), Ambon, atau pulau Maluku, Wamin, Seram, Timor,
dan beberapa lagi pulau yang lain”. Hal ini menunjukkan bahwa bersama
beberapa tempat lain di Indonesia, Selayar telah memiliki peran penting
terutama terkait hubungan masyarakatnya dengan dunia luar. Dengan kata lain,
jika Selayar dijadikan sebagai tujuan pelayaran baik tujuan utama maupun untuk
keperluan transit, berarti motifinya terkait dengan beberapa peran penting.
Bukti lain mengenai peran penting
Selayar sejak abad ke-13, dapat diketahui melalui hasil pengamatan terhadap
temuan fragmen-fragmen keramik di Gantarang Lalangbata. Dari hasil observasi
diketahui bahwa keramik ini berasal dari Dinasti Yuang (abad Ke-13 dan 14) yang
berbentuk poci kecil berwarna putih. Hal ini menunjukkan bahwa Selayar telah
berkiprah pada abad ini dan tentu saja Kerajaan Gantarang berperan penting
pula. Kerajaan ini dipimpin oleh Raja Baka, dengan kehidupan adat-istiadat khas
yang ditunjukkan. Dalam naskah hukum
perdagangan dan pelayaran “Ammana Gappa” yang berbahasa Bugis, Selayar juga
telah disebutkan sebagai salah satu daerah tujuan niaga. Kemudian mengingat
letak geografis Selayar yang sangat strategis bagi pelayaran, daerah ini
dijadikan juga sebagai satu bandar transit untuk menunggu musim berlayar yang
baik. Hal ini tentu dipahami mengingat sistem pelayaran pada masa itu masih
sangat tergantung pada muson atau arah hembusan angin. Peran penting pulau Selayar juga dijelaskan
oleh Schrieke bahwa pada masa itu kapal-kapal/yang memuat barang-barang
dagangan pada muson timur berlayar melewati Sumatra, Borneo, Patani dan Siam,
sedangkan pada muson barat melewati Batam, Bali, Bima, Solor, Timor, Alor,
Selayar, Buton, Maluku dan Mindanao.
Dalam sumber yang sama juga dijelaskan
mengenai kedudukan Selayar abad ke-17, saat berada di bawah kekuasaan Gowa.
Selayar pada masa ini merupakan jalur perdagangan yang melewati pelabuhan
Tuban, Gresik, Surabaya, India, dan Asia Selatan. Sejak Perjanjian Bogaya 1667 antara
Gowa dan Belanda, Selayar menjadi daerah kekuasaan Belanda (VOC). Perjanjian
ini didorong oleh keinginan Belanda mengambil alih monopoli perdagangan
rempah-rempah di Indonesia bagian Timur. Bahkan lebih dari itu, jalur
perdagangan keramik melalui Philipina, kepulauan Nusantara, Afrika Timur, dan
Timur Tengah, ingin dikuasainya. Sumber lain menjelaskan bahwa Sejak
Makassar ditaklukkan 1667, pemerintah kolonial telah membangun jalur pelayaran
yakni Batavia, Semarang, Surabaya, Makassar, Buton, Amboina, Ternate dan
kembali mengikuti jalur yang sama setiap tahunnya. Dalam perkembangan
selanjutnya, tahun 1832 ditambah satu jalur perdagangan pesisir dari Makassar,
Bantaeng, Selayar, Buton, Selayar, Bantaeng, Makassar. Jalur perdagangan
pesisir ini diperluas ketika Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM)
mengambil alih kegiatan perdagangan maritim pemerintahan Kolonial dengan
membuka jalur pelayaran ke-10 yang beroperasi setiap 4 minggu yang berlaku
sejak 17 Januari 1891 dan bermula di Makassar, Bantaeng, Bulukumba, Selayar,
Sinjai, Palima, Palopo, Buton, Kendari, Buton, Palopo, Palima, Sinjai,
Bonerate, Selayar, Bulukumba, Bantaeng, Makassar, Ampenan, Bali-Buleleng,
Surabaya, Singapura, untuk kemudian kembali ke Makassar dan menelusuri jalur
itu lagi.
Peranan penting Selayar dapat juga
dilihat pada data akhir abad ke-18 yakni saat perdagangan Makassar mengalami
kemerosotan (kemunduran). Penyebabnya yakni karena Bone mengembangkan pelabuhan
Pare-Pare dan Bonerate bagian pelayaran niaga ke arah barat dan adanya boikot
penduduk (setelah masuknya Inggris). Bukti lainnya mengenai peran penting
Selayar dalam jaringan pelayaran dan perdagangan, yakni pertumbuhan jumlah
perahu pada dekade 1870-an. Bahkan disebutkan pedagang dari Bone dan Tanete
terlibat dalam aktivitas ini. Demikian pentingnya peran pulau ini, sehingga
digambarkan menyerupai Pota, Reo, dan Bari di Manggarai (Flores Barat), situasi
di Buleleng (Bali), Ampenan (Lombok), Gresik (Jawa), Banjarmasin, Pagatan
(Kalimantan), Ambon, dan Sumbawa.
Data lain juga menjelaskan bahwa pada
awal abad ke-20, komoditi utama dalam perdagangan adalah kopra. Dalam
perdagangan kopra ini, Selayar memiliki andil yang sangat penting, dimana
daerah ini tercatat sebagai pemasok kopra dalam perdagangan antar pulau yakni
dari Maluku, Marauke, Ternate, Gorontalo, Manado, dan Selayar. Komoditi yang
menjadi primadona ini, banyak dibawa ke Makassar dan selanjutnya di ekspor ke
Singapura. Mengacu pada beberapa keterangan mengenai posisi geografis Selayar
dalam jalur pelayaran Nusantara tersebut, maka sangat memungkinkan memang
wilayah ini menjadi “tujuan” atau dijadikan daerah transit dalam aktivitas
pelayaran.
2.6 Jejak Kehadiran Orang Melayu ke Selayar
Berbicara mengenai kehadiran orang
Melayu di Selayar, tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan beberapa faktor
antara lain kondisi sosio-politik Indonesia abad ke-16. Kondisi yang dimaksud
adalah masa pasca Kerajaan Malaka jatuh (1511) yang menyebabkan banyak pedagang
Melayu Islam mengungsi dan mencari tempat baru untuk melakukan transaksi
dagang. Kondisi ini juga disertai oleh pandangan orang Melayu menganggap orang
Portugis sebagai orang kafir yang mesti dijauhi. Salah satu tujuan pelayaran
mereka adalah Kerajaan Gowa, yang terkenal dengan bandarnya yakni Somba Opu. Mengenai
kedatangan orang Melayu di Gowa (Makassar) sebagaimana dijelaskan dalam
lontara, yakni sekitar tahun 1561 yakni pada masa pemerintahan raja Gowa X
Tunipallangga (1561-1565). Malahan menurut sumber sejarah lainnya, bahwa sejak
setengah abad sebelumnya telah banyak orang Melayu datang ke Gowa untuk
berdagang.
Seorang berkebangsaan Inggris Silhordt
menyebutkan bahwa tahun 1625, ribuan orang Melayu tinggal di Makassar. Sebagian
besar dari mereka berasal dari Kerajaan Patani dan Johor. Selain itu, data menunjukkan
bahwa tahun 1665 beberapa ratus warga dari Minangkabau dan Campa hidup di bawah
perlindungan raja. Pernyataan ini didukung oleh data bahwa eksodus orang-orang
Melayu ke wilayah timur Indonesia masih berlanjut hingga paruh pertama abad
ke-17 disebabkan oleh blokade Belanda atas Selat Malaka serta adanya
serangan-serangan di atas kapal di setiap tempat di belahan Timur Nusantara.
Bahkan proses menghilangnya para pedagang Melayu di Malaka, berlanjut hingga
Inggris datang ke Malaya akhir abad ke-18 dimana mereka tidak menemukan orang
Melayu lagi.
Uraian mengenai motif persebaran
orang-orang Melayu ke dunia Timur Nusantara tersebut, merupakan pondasi ilmiah
untuk menelusuri kehadiran orang Melayu di Selayar. Pertama, posisi
Selayar dalam jaringan pelayaran dan perdagangan Nusantara dari Barat ke Timur
atau sebaliknya, menjadi alasan kuat yang memungkinkan orang Melayu singgah
atau beberapa di antaranya tinggal menetap di pulau yang juga akrab dikenal
dengan sebutan Tanadoang ini. Kedua, pada kurun waktu kedatangan
orang-orang Melayu di Gowa, Selayar berada di bawah kekuasaan kerajaan ini
sehingga kontak antar keduanya bukan tidak mungkin melibatkan orang-orang
Melayu yang notabene sangat dekat dengan penguasa Kerajaan Gowa.
Selain itu, catatan sejarah juga
menunjukkan bahwa ketika orang Portugis mengunjungi pelabuhan Siang, mereka
mendapatkan penjelasan bahwa pedagang-pedagang muslim dari Patani, Pahang dan
Ujung Tanah telah tinggal di Selayar sejak Tahun 1480. Kedatangan para ahli
Melayu ini, selain berdagang secara tidak langsung mereka juga ikut menyebarkan
agama Islam di Selayar.
Catatan sejarah Selayar lainnya yang
menjelaskan hal ikhwal mengenai Orang Melayu, yakni terkait dengan keberadaan
sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Tanadoang. Kerajaan yang dimaksudkan
adalah Buki yakni nama salah satu dari 4 (empat) kerajaan kecil sebelum
masuknya pengaruh Asing di daerah ini. Berdasarkan catatan yang
termaktub dalam sebuah lontara bahwa kerajaan-kerajaan di Selayar adalah
Kerajaan Gantarang, Buki, Putabangun, dan Saluk yang kemudian menjadi Kerajaan
Bontobangun. Khusus mengenai keberadaan Kerajaan Buki’, menurut cerita rakyat
bahwa nama Buki’ berasal dari kata “bukit”. Sumber sejarah kerajaan ini
tertulis dalam lontara bilang (tulisan harian atau silsilah raja), yang
menceritakan bahwa dahulu seorang anak Raja Riau (Melayu) diasingkan karena
selalu membuat keributan dalam kerajaan. Anak Raja Riau tersebut kemudian
berangkat menggunakan kapal namun tidak pernah sampai pada tujuannya. Sang
nahkoda kapal berkata: “kita salah layar”. Perkataan nahkoda tersebutlah
kemudian yang dikatakan (atau dianggap) sebagai asal mula nama Selayar. Anak
Raja Riau tiba di sebuah bukit yang kemudian menjadi asal nama Kerajaan Buki’,
yang diperkirakan muncul sejak awal abad Ke-16. Salah satu tinggalan dari
kerajaan Buki’ adalah Sapo Lohe (istana Kerajaan Buki’) yang merupakan pusat
pemerintahan. Tinggalan lain berupa kuburan tua di sekitar Sapo Lohe, Buhung
Bone-bone (tempat permandian permaisuri dan putra-putranya), dan benda pusaka
kerajaan yang tersimpan hingga saat ini.
Sumber lain menjelaskan bahwa dahulu
kala ada seorang anak raja Riau (Melayu) yang notabene gemar berkelahi, suka
membuat keributan baik dalam maupun di luar wilayah kerajaan dan sukar diatur
oleh ayahnya, kemudian diasingkan (dibuang) ke Selayar. Proses pengasingan
tersebut, dimulai dengan sidang terbatas yang dihadiri oleh para hulubalang
(penasihat raja) dan hasil sidang pun memutuskan bahwa untuk menjaga kestabilan
negeri, maka solusi terbaik adalah putra raja ini harus diasingkan. Karena itu,
dibuatlah tiga buah perahu berikut persiapan logistiknya, nahkoda, awak kapal,
serta pengawal. Segera setelah ketiga perahu selesai, maka diadakanlah sebuah
upacara perpisahan dan dalam upacara perpisahan tersebut, sang
raja berkata:
“Wahai,
puteraku walaupun kamu akan kuasingkan kan tetap anakku, dan ketahuilah bahwa
tidak ada bekas anak. Aku tidak akan membencimu, yang aku benci hanyalah
kelakuanmu dan tabiatmu yang sering melawan perintahku sedangkan saya adalah
ayahmu sekaligus rajamu, bahkan nasihat-nasihat ayahmu pun kamu tidak hiraukan,
kamu sering membikin kerusuhan dan sering melanggar adat (hukum) yang berlaku
dalam kerajaan kita, bahkan yang paling memalukan bagi ayah, ayahmu kini tidak
mampu lagi memerintah kamu, sedangkan kamupun adalah rakyatku juga. Oleh karena
itu, wahai anakku pergilah kamu kemana engkau mau, bersama nahkoda, awak
perahu, dan pengawalmu. Bilamana kamu tiba di tempat tujuan, dirikanlah
kerajaan sendiri, di sana kamu dapat berbuat sesuka hatimu, karena itulah
kemauannya dan itulah yang kamu cari. Kelak kemudian hari sebagian dari
keturunanmu akan kembali dan tinggal di tanah leluhurnya. Selamat jalan dan
do’a ayah menyertaimu”.
Segera setelah acara perpisahan digelar,
maka berangkatlah sang putera raja ke arah timur bersama pengawalnya. Sekitar
sebulan lamanya berlayar, laut kelihatan pun bundar dan sebuah pulau pun tak
kelihatan selama berhari-hari, ketika itu nahkoda berkata: “kita salah layar”.
Namun tidak lama kemudian sang putera raja melihat bintik hitam, lalu beliau
memerintahkan kepada nahkodanya untuk menuju ke bintik hitam tersebut. Ketika
agak mendekat, maka tampaklah bintik hitam tadi seperti bukit, kemudian nahkoda
pun mendapat perintah untuk segera berlabuh di pantai barat bukit tersebut.
Tempat berlabuh ketiga kapal ini oleh penduduk dinamakan Sagangia (tempat yang
kita sayangi). Sang putera raja pun beristirahat sejenak di Baruyya. Sebagai
pendatang sekaligus untuk menjaga keamanan, maka mereka memutuskan untuk
tinggal di atas sebuah bukit dan mereka pun lalu memulai kehidupan serta
komunitas ini berkembang dari waktu ke waktu.
Belum diketahui bagaimana bentuk dan
corak pemerintahan Kerajaan Melayu tersebut, namun diperkirakan hukum rimba
(siapa yang kuat maka dialah yang berkuasa) merupakan corak kekuasaan pada
masanya. Kepemimpinan orang Melayu di Tanadoang tidak berangsung lama dan hanya
sampai pada masa kekuasaan Angrong Guruya Raja ri Buki (keturunan anak raja
Melayu). Segera setelah itu, kekuasaan berada di tangan raja dari keturunan
Kerajaan Gowa yakni Laki Padada (Putra Sombaya ri Gowa) yang mempersunting
putri Angrong Guruyya yakni Bissu Kati. Dari hasil perkawinan inilah
kemudian melahirkan seorang putra bernama Patta Buki’ Dg. Sitaba (Lalaki
Pertama Kerajaan Buki’ yang memerintah sekitar tahun 1557-1611) dan kemudian
mempersunting Bissu Patima Daeng Suginna (Sepupu puteri penguasa Salu’). Berdasarkan
sumber lisan (cerita rakyat) dan sumber tertulis (lontara) setempat, ungkapan
sang putera raja yakni kita salah layar itulah yang dianggap asal-usul penamaan
Selayar. Demikian pula istilah bukit yang mereka lihat saat berlayar sekaligus
tempat awal mereka memulai mengembangkan komunitas, itulah yang dianggap asal
nama Kerajaan Buki. Bahkan Baruia pun dianggap berasal dari ungkapan sang
putera raja yakni “kita BARU tiba YA”.
Jejak kehadiran orang Melayu di Selayar
lainnya, dapat diketahui melalui penamaan pemukiman yang bersimbolkan Melayu
yakni Kampung Padang. Pemukiman ini berada di wilayah administratif Kecamatan
Bontoharu Kabupaten Selayar dan secara geografis terletak di bibir pantai barat
pulau ini. Dengan demikian, sangat besar peluang untuk dijadikan tempat
persinggahan bagi kapal-kapal untuk menambah perbekalan dan pesediaan air minum
serta berlindung dari cuaca yang buruk dalam suatu musim pelayaran. Selain
itu, menurut cerita rakyat Seorang saudagar Minangkabau yang bernama Ince
Abdul Rahim dalam perjalanannya menuju Maluku bersama rombongan, pernah
singgah di Selayar. Sejak saat itu, kelompok saudagar kemudian
sering singgah bahkan ada di antara mereka yang melakukan perkawinan dengan
penduduk setempat. Keturunan mereka itulah yang menjadi penduduk yang menghuni
Kampung Padang sekarang. Bahkan penamaan Selayar, pun diduga keras berasal dan
diberikan oleh orang Melayu.
Realitas empiris ini juga didukung oleh
kenyataan bahwa di Padang dewasa ini banyak didapati nama penduduk yang diawali
dengan kata Ince, Baba, Puang dan berbagai ciri nama bangsa asing lainnya.
Melalui daftar nama para pemilik bagan perahu yang tinggal di Padang, ditemukan
nama-nama seperti Ince Usman, Ince Bau’, Ince Salman, Ince Irwan, dan
lain-lain. Meskipun demikian, dewasa ini penduduk kampung ini sudah heterogen
sebagaimana tampak nama-nama seperti: Baba Desan, Nurdin Coa, Angko’, Yo’ang, dan
lain-lain. Bahkan nama-nama keturunan Bugis juga terdapat di Padang seperti
Beddu Rahman, Sahide’, Andi Sahibo’, dan seterusnya. Bila ditelusuri
lebih jauh proses interaksi sosial yang berlangsung di Kampung Padang, akan
diperoleh kesan menarik untuk dikutip yakni sudah demikian sulitnya membedakan
mereka. Masyarakat keturunan Bugis, Melayu (Sumatera), dan Cina yang telah
mampu menggunakan bahasa lokal (Selayar) secara fasih, tak ubahnya seperti suku
Selayar tulen.
Pengaruh Melayu lainnya di Selayar juga
tampak pada penggunaan istilah (bahasa) untuk menggambarkan spasial seperti:
Tana Malaju (Tanah Melayu), Sa’la Silajara (Selat Selayar), Kampung Sela (dari
kata Selat), Desa Kohala (dari kata Kuala), dan lain-lain. Bahkan menurut
beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat sekitar 115 nama tempat seperti
selat, pulau, lokasi, kampung dan nama sungai menggunakan istilah dari bahasa
Melayu. Selain itu, terdapat lebih dari 4.000 kosa kata bahasa Selayar berasal
dari bahasa Melayu.
2.7 Selayar dari Masa ke Masa
1. Selayar Dan
Luwuk dalam buku La Galigo
Disebutkan bahwa kerajaan-kerajaan awal
yang berdiri di daratan Sulawesi Selatan antara lain, kerajaan Luwuk, Wewang
Nriwuk dan Tompoktikka. Kerajaan Wewang Nriwuk dan Tompoktikka sendiri masih kontroversial
keberadaannya. Kerajaan Luwuk berkembang menjadi ketua komuniti Bugis dengan
wilayah meliputi Tana Ugi, sepanjang sungai Walenae, tanah pertanian timur,
pesisir pantai Teluk Bone, semenanjung Bira, Pulau Selayar dan Tanjung
Bantaeng. Ini terjadi pada sekitar abad 12. Jadi pada abad itu, Selayar berada
di bawah pengaruh Luwuk. Boleh jadi gelar Opu dan Andi yang banyak terdapat
pada nama orang-orang Selayar merupakan warisan dari Luwuk.
Bagaimana
Luwuk masuk ke Selayar?
Dikisahkan bahwa dalam perjalanannya
dari Cina menuju Luwuk, Sawerigading (lidah orang Selayar menyebut
"Seheregading") bersama istrinya, I We Cuddai dan tiga orang
puteranya, La Galigo, Tenri Dio dan Tenri Balobo singgah di pulau Selayar dan
langsung menuju sebuah tempat bernama Puta Bangung dengan membawa sebuah nekara
perunggu yang besar. Mereka lantas dianggap
sebagai tomanurung (semacam keturunan dewa). Selanjutnya Tenri Dio
diangkat menjadi raja Putabangung, sementara nekara yang mereka bawa masih
tersimpan di Matalalang dan menjadi salah satu obyek wisata di Kabupaten
Kepulauan Selayar. Masa ini dikenal dengan istilah Periode Galigo, yaitu
periode kekuasaan manusia dewa yang mengatur tata tertib dunia dengan
kepemimpinan religius kharismatik. Periode Galigo diperkirakan berlangsung
sekitar abad 7 sampai abad ke 10 M, tetapi menurut Christian Pelras, periode ini
terjadi pada sekitar abad 12.
2.8 Selayar di Era
Pelayaran
Di masa lalu, Selayar pernah menjadi
rute dagang menuju pusat rempah-rempah di Moluccan (Maluku). Di Pulau Selayar,
para pedagang singgah untuk mengisi perbekalan sambil menunggu musim yang baik
untuk berlayar. Dari aktivitas pelayaran ini pula muncul nama Selayar. Nama
Selayar berasal dari kata "cedaya" (Bahasa Sansekerta) yang berarti,
satu layar, karena konon banyak perahu satu layar yang singgah di pulau ini.
Kata cedaya telah diabadikan namanya dalam Kitab Negarakertagama
karangan Empu Prapanca pada abad 14. Ditulis bahwa pada pertengahan abad 14,
ketika Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanegara, Selayar
digolongkan dalam Nusantara, yaitu pulau-pulau lain di luar Jawa yang berada di
bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti bahwa armada Gajah Mada atau Laksamana
Nala pernah singgah di pulau ini.
Selain nama Selayar, pulau ini dinamakan
pula dengan nama Tana Doang yang berarti tanah tempat berdoa. Di masa lalu,
Pulau Selayar menjadi tempat berdoa bagi para pelaut yang hendak melanjutkan
perjalanan baik ke barat maupun ke timur untuk keselamatan pelayaran mereka.
Dalam kitab hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa (abad 17), Selayar
disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga karena letaknya yang strategis
sebagai tempat transit baik untuk pelayaran menuju ke timur dan ke barat.
Disebutkan dalam naskah itu bahwa bagi orang yang berlayar dari Makassar ke
Selayar, Malaka, dan Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus orang.
3. Selayar dan Kerajaan
lain di daratan Sulawesi Selatan
Pada suatu ketika Raja Angangnionjo
Tomaburu Limanna (Bone), ketika berkunjung ke Somba Opu bertemu dengan Opu Tanete
(Selayar) yang datang menghadap raja Makassar untuk melaporkan bahwa ia membawa
peti mayat yang berisi mayat jenasah putera Raja Luwuk bernama LasoE, yang mati
akibat perahunya karam di Selayar. Raja Angangnionjo sendiri adalah pengganti
raja Daeng Sinjai. Beliau memerintah Bone dari tahun 1597-1603. Sehubungan
dengan itu, raja Makassar kemudian meminta kesediaan raja Angangnionjo untuk
menemani Opu Tanete mengantarkan peti jenazah itu.
Dalam merancang pengusungan jenazah ini
dicapai kesepakatan bahwa iring-iringan itu adalah irinmg-iringan kerajaan
Tanete meskipun dikawal oleh Opu Tanete dan Raja Angangnionjo. Rasa
persaudaraan kemudian timbul di antara keduanya dan atas persetujuan Raja Gowa,
sekembali dari Luwuk mereka berikrar membentuk persekutuan dan persaudaraan
yang isi pokoknya; Jika rakyat Angangnionjo bepergian ke Tanete (Selayar) maka
dia menjadi orang Tanete, demikian sebaliknya. Dan jika armada Raja
Angangniuonjo berada di perairan Tanete (Selayar), mereka wajib singgah
walaupun tergesa-gesa, demikian pula sebaliknya. Sejak saat itu, Kerajaan
Angangnionjo diubah namanya menjadi Kerajaan Tanete. (Hal ini masih
membingungkan penulis. Apa ini ada pula hubungannya dengan daerah Tanete yang
ada di Bulukumba?)
4. Selayar Dan Buton
Di awal tahun 1500-an, ada raja dari
Selayar bernama Opu Manjawari yang membantu Raja Mulae (Raja Buton V) mengusir
kelompok bajak laut pimpinan La Bolontio yang saat itu menguasai Sulawesi
bagian timur sampai Kepulauan Moro Filipina. Turut dalam pengusiran ini
Lakilaponto, yang karena jasa-jasanya berhasil mengusir La Bolontio kemudian
diangkat menjadi Sultan Buton I dengan gelar Sultan Muhrum atau Sultan
Kaimuddin. Opu Manjawari sendiri diangkat menjadi Sapati pada tahun 1526. Demi
mempererat persahabatan mereka, Opu Manjawari kemudian menikahkan Lakilaponto
dengan salah satu puterinya. Cucu Opu Manjawari dari Lakilaponto Sultan Muhrum
bernama La Sangaji di kemudian hari diangkat menjadi Sultan Kaimuddin III. Anak
perempuan Opu yang lain bernama Banaka menikah dengan Raja Batauga. Lakilaponto
juga menikahi anak raja Jampea dan memiliki anak bernama La Tumparassi yang
kemudian diangkat menjadi Sultan Kaimuddin II.
5. Selayar dan
Perdagangan
Christiaan Heersink menggambarkan bahwa
komoditas perekonomian di Selayar pada abad 17, agak kurang diperhatikan. Namun
marjinalisasi ini tidak serta mendatangkan ketidakberuntungan karena hal ini
justru memungkinkan penduduk Selayar memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam
merespon perubahan kondisi ekonomi. Kondisi tanah yang pada mulanya dianggap
kurang cocok untuk berbagai komoditas pertanian, membuat orientasi terhadap
perdagangan maritim menjadi pilihan utama bagi para penduduk. Ini sudah terjadi
bahkan jauh hari sebelum pemerintah kolonial menduduki tanah ini. Namun ini
juga bukan berarti bahwa Selayar tidak pernah memfokuskan dirinya pada industri
pertanian. Pada abad 17 Selayar pernah menjadi pengekspor tekstil ke
daerah-daerah kepulauan lainnya. Di abad 19, ketika pasaran tekstil mengalami
penurunan akibat kalah bersaing dengan tekstil barat, Selayar beralih menjadi
pengekspor kelapa dan teripang. Pada saat itu kelapa memang menjadi komoditas
primadona dunia, sehingga pada tahun 1850-an, kapal-kapal orang Selayar telah
berlayar ke Irian, Serawak dan Singapura. Pada tahun 1860-an, pemerintah
Belanda pernah memperkenalkan tanaman kapas, kapuk, dan kopi yang terbukti
gagal berkembang, akibat sedikitnya populasi penduduk yang bisa dipekerjakan
untuk komoditas ini. Ketergantungan pada pertanian kelapa ini pula yang di
kemudian hari menyebabkan perekonomian selayar mengalami kesulitan ketika
terjadi krisis harga kelapa dunia di awal abad 20. "Emas hijau" yang
dulunya menjadi primadona ini tak bisa diandalkan lagi bahkan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Untuk sekedar memenuhi tuntutan perut, banyak penduduk
yang konon menyelundupkan tekstil ke daratan Sulawesi, bahkan terjadi migrasi
penduduk secara besar-besaran dari Selayar ke daerah seberang. Ikut dalam
migrasi itu adalah para tukang pasang gigi emas yang dulunya bisa mendapat
untung banyak karena banyak orderan.
Bagaimana dengan para penduduk yang
bertahan di Selayar sendiri? Kakek-nenek penulis sendiri bercerita bahwa pada
masa itu terjadi paceklik. Orang Selayar yang tidak mampu membeli beras harus
bertahan dengan menyantap ubi gadung dan biji mangga yang dicincang kemudian
dikukus. Jika pengolahannya kurang sempurna, ubi gadung ini bisa membuat mabok.
Sementara itu mereka yang merantau ke seberang, bekerja di
perusahaan-perusahaan pengolahan kayu sebagai tukang gergaji dan sebagainya.
Konon ada juga yang bekerja sebagai pedagang dan pelayan di hotel-hotel.
6. Selayar Pada Masa
Pemerintah Kolonial Belanda
Belanda mulai memerintah Selayar pada
tahun 1739. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan dimana residen
pertamanya adalah W. Coutsier (menjabat dari 1739-1743). Berturut-turut
kemudian Selayar diperintah oleh orang Belanda sebanyak 87 residen atau yang
setara dengan residen seperti Asisten Resident, Gesagherbber, WD Resident, atau
Controleur. Barulah Kepala pemerintahan ke 88 dijabat oleh orang Selayar, yakni
Moehammad Oepoe Patta Boendoe. Saat itu telah masuk penjajahan Jepang sehingga
jabatan residen telah berganti menjadi Guntjo Sodai, pada tahun 1942. Di zaman
Kolonial Belanda, jabatan pemerintahan di bawah keresidenan adalah
Reganschappen. Reganschappen saat itu adalah wilayah setingkat kecamatan yang
dikepalai oleh pribumi bergelar "Opu". Dan kalau memang demikian,
maka setidak-tidaknya ada sepuluh Reganschappen di Selayar kala itu, antara
lain: Reganschappen Gantarang, Reganschappen Tanete, Reganschappen Buki,
Reganschappen Laiyolo, Reganschappen Barang-Barang dan Reganschappen
Bontobangung. Di bawah Regaschappen ada kepala pemerintahan dengan gelar Opu
Lolo, Balegau dan Gallarang.
7. Selayar Pada masa
Penjajahan Jepang
Di masa pendudukan Jepang, keresidenan
diganti dengan istilah Guntjo Sodai dan Buken Kanriken. Masa penjajahan yang
cuma berlangsung kurang lebih tiga setengah tahun hanya mengalami pergantian
kepala pemerintahan sebanyak dua kali.
Bagaimana
keadaan masyarakat Selayar pada masa penjajahan Jepang?
Kakek-nenek kembali angkat cerita bahwa
Nippon pernah menyuruh mereka menanam jarak. Mereka juga dilarang makan nasi,
walaupun mereka sendiri yang menanam padinya. Kalau mau makan nasi, harus
pintar-pintar menyembunyikan padi. Karena jika ketahuan, maka habislah badan
dirajah dengan cambuk atau pentungan. Selain itu, mereka juga dilarang
menyalakan lampu di malam hari. Konon untuk menghindar dari intaian
pesawat-pesawat Sekutu.
2.9 Kondisi Masyarakat Pesisir/Nelayan
Potensi kekayaan sumber daya laut ini tentu merupakan anugerah sekaligus
bencana bagi para nelayan yang bermukim di wilayah pesisir dan laut provinsi
sulawesi selatan. bahkan yang terjadi kondisi ekonomi dan sosial budaya
masyarakat pesisir khususnya nelayan di provinsi ini sangat memprihatinkan.
Kondisi geografis wilayah pesisir sulawesi selatan ternyata berbanding terbalik
dengan kondisi masyarakat yang berada di wilayah tersebut. Kemiskinan dan
kesulitan hidup merupakan gambaran objektif kondisi masyarakat pesisir/nelayan
di sulawesi selatan. salah satu penyebab dari kemiskinan yang dialami oleh
nelayan terkhusus nelayan tradisional adalah monopoli hasil tangkap dan pasar
yang dilakukan oleh industri-industri perikanan sehingga nelayan hanya sedikit
mendapatkan hasil tangkap dengan harga yang relatif murah. Sementara cost untuk
melakukan aktivitas tangkap terbilang sangat tinggi. Ditambah lagi master plan
percepatan perluasan pembangunan ekonomi indonesia (MPEI) menjadikan provinsi
sulawesi selatan sebagai wilayah yang diprioritaskan untuk mendapat
investasi guna peningkatan hasil laut. Dengan mendirikan industri perikanan.
di
sulawesi selatan nelayan mendapat problem dan ancaman yaitu:
1)
Serbuan modal yang sangat kuat hingga ke wilayah pesisir sulawesi selatan.
Investasi modal tersebut di wujudkan dalam bentuk perusahaan-perusahaan tambang
yang beroperasi di wilayah pesisir. Bahakan tempat perusahaan tambang tersebut
beroperasi tidak begitu jauh dari tempat pemukiman nelayan. seperti yang
terjadi di desa panaikang kecamatan sinjai timur kabupaten sinjai, dan
kabupaten selayar. Akibatnya, Di desa panaikang kecamatan sinjai timur
kabupaten sinjai setelah perusahaan tambang pasir besi beroperasi diwilayah
mereka, kerusakan ekologis dan wilayah pesisir terjadi mulai dari pencemaran
laut, hingga air laut naik hingga ke rumah-rumah penduduk. Keadaan ini
merupakan gambaran pengelolaan sumber daya laut yang tidak berbasis masyarakat
lokal atau nelayan setempat.
2)
Ancaman reklamasi pantai. Pemerintah provinsi sulawesi selatan dan pemerintah
kota makassar sedang menjalankan mega proyek CPI Centre Point of Indonesia yang
akan dijadikan pusat bisnis termegah di kawasan indonesia timur. Mega proyek
centre point of indonesia ini dibangun seluas 600 hektar diatas permukaan laut
yang ditimbun. Proyek ini telah menghancurkan mata pencaharian nelayan
tradisional penangkap “tude”. Proyek itu juga telah membuat ribuan nelayan
tradisional beralih profesi sebagai kuli bangunan, hinga tukang becak. Selain
di kota makassar, rencana reklamasi panati akan dilakukan di kabupaten
bantaeng. Reklamasi pantai di lakukan seluas 1 hektar diatas permukaan air laut
panati seruni, dengan kedalaman 3 meter. Reklamasi pantai di kabupaten bantaeng
rencananya untuk pembangunan hotel, swalayan, hingga tempat-tempat hiburan.
3)
Perubahan iklim. Di sulawesi selatan perbuhan iklim yang terjadi dan dirasakan
oleh seluruh ummat manusia di dunia telah mempengaruhi hasil tangkapan nelayan
sulawesi selatan. Perubahan cuaca hingga meningkatnya volume air laut sangat
membuat para nelayan tidak berdaya sehingga para nelayan mengalami kekurangan
hasil tangkapan seperti yang terjadi pada nelayan di desa situ baru kabupaten
bulukumba dan nelayan di kecamatan galesong selatan kabupaten takalar.
2.10 Potensi Sumber Daya Laut di Provinsi Sulawesi
Selatan
Adapun beberapa potensi yang dimiliki berdasarkan kategori diatas
adalah:
1) Sumberdaya alam yang
dapat pulih (renewable resources) seperti perikanan, rumput laut, hutan bakau,
tambak udang, dan sebagainya
2) Sumberdaya tidak dapat
pulih (non-renewable resources) seperti sumberdaya minyak dan gas bumi serta
tambang pasir besi dan
3) Jasa lingkungan, seperti
pariwisata bahari, industri kapal, dan transportasi.
Dari hasil peninjauan pihaknya belum
lama ini, Aswadi, menyimpulkan bahwa Kepulauan Selayar sangat cocok
dikembangkan perikanan budidaya. “Perikanan budidaya memiliki keunggulan dan
dapat memilih sendiri jenis ikan yang akan dibudidayakan,” ujar Iswadi yang
juga adalah seorang pengusaha yang telah banyak bekerjasama dengan pemerintah,
dalam pengembangan perikanan di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan mapun lokal
Kabupaten Kepulauan Selayar.
2.7 Ada keraguan dengan inisiatif itu sebab terkait
kelautan di Sulsel
Ada keraguan dengan inisiatif itu sebab terkait kelautan
di Sulsel, ada beberapa informasi tentang:
1) Produksi perikanan seperti udang yang
semakin merosot sejak 10 tahun terakhir karena serangan hama penyakit
2) Degradasi lingkungan semakin
mengkhawatirkan
3) Jumlah penduduk semakin bertambah
utamanya di pulau-pulau dengan sumberdaya yang sangat terbatas
4) Fungsi pelayanan sosial seperti
pendidikan, kesehatan yang memburuk utamanya pada pulau jauh seperti Kepulauan
Pangkep, Selayar hingga Sinjai
5) Rentannya warga pesisir mengalami
disfungsi sosial karena pengangguran, area tangkap perikanan yang semakin
sempit dan jauh, penggunaan bom dan bius ikan serta kelumpuhan karena
penyelaman.
BAB III
ANALISIS
Tidak adanya sosialisasi yang terjalin dengan baik
menyebabkan timbul nya permasalahan -permasalah yang di hadapi dunia perikanan
di kabupaten kepulauan selayar hal ini dikarnakan kurangannya
pendekataan social antara pemerintah dan pihak – pihak yang mengetahui
lebih dalam dunia perikanan dengan masyarakat pesisisr sebagai nelayaan
mengenai teknologi dan cara pemenfaatan sumber daya perikanan yang terdapat di
kabupaten kepulauan selayar.
Mengurangi
rentannya warga
pesisir mengalami disfungsi sosial karena pengangguran, area tangkap perikanan
yang semakin sempit dan jauh, penggunaan bom dan bius ikan serta kelumpuhan
karena penyelaman.
Tidak
hanya itu, ada beberapa program yang
bisa di terapkan oleh pemerintah setempat yaitu salasatunya dengan mengadakan :
Ø Modernisasi
Perikanan
Salah satu
paradigma pembangunan yang banyak dianut adalah paradigma modernisasi. Agen
pembangunan internasional dan pemerintah negara berkembang, menjadikan
paradigma ini sebagai acuan otoritatif di dalam mana ia dilaksanakan sebagai
bagian integral dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Indonesia sejak
tahun 1966, dalam proses pembangunannya, paradigma ini juga turut merasuk ke
hampir semua sektor kehidupan (Sasono, 1980), termasuk dibidang perikanan dan
kelautan (revolusi biru). Istilah revolusi biru (modernisasi perikanan)
merupakan turunan dari revolusi hijau pada sektor pertanian, yang awal mulanya
dilakukan melalui introduksi teknologi baru dalam kegiatan perikanan
(motorisasi dan inovasi alat tangkap).
Secara teoritis modernisasi
yang terjadi melalui kapitalisasi (peningkatan arus modal dan teknologi), akan
berpengaruh terhadap perubahan struktur sosial masyarakat. Peningkatan
kebutuhan spesialisasi pekerjaan atau tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru dengan
posisi baru dalam struktur sosial masyarakat akan memainkan peranan-peranan
sosial tertentu sesuai dengan tuntutan statusnya. Struktur-strukrur yang baru
ini membawa sejumlah implikasi. Biersted (1970) mengemukakan tiga pokok
pemikiran berkaitan dengan hal tersebut, yaitu (1) pembagian kerja merupakan
wujud adanya bentuk pelapisan atau stratifikasi sosial dalam masyarakat; (2)
pembagian kerja menghasilkan ragam posisi atau status dan peranan yang berbeda;
dan (3) pembagian kerja sebagai fungsi dari besar kecilnya ukuran masyarakat,
semakin besar ukuran masyarakat, pembagian kerja pun semakin nyata. Berdasarkan
proposisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa stratifikasi sosial masyarakat
dapat berubah setelah adanya modernisasi.
Relevansi
yang menunjukkan adanya pengaruh modernisasi terhadap perubahan struktur sosial
masyarakat telah banyak dipublikasikan. Namun studi-studi tersebut, kebanyakan
masih bertumpu pada kasus masyarakat agraris dimana pertanian padi-sawah
dominan, seperti yang dilakukan Hayami dan Kikuchi (1987), Frans Huskens
(1998), Collier et.all (1996), dan lainnya. Pada umumnya menjelaskan bahwa,
masyarakat agraris dalam konteks ekologi padi sawah telah mengalami modernisasi
namun masih merupakan representasi masyarakat dengan cara produksi sederhana
atau bahkan komersial dimana cara produksi kapitalis yang padat teknologi serta
industri pedesaan belum berkembang, sehingga dinamika formasi sosial belum
terlalu tinggi. Sementara untuk studi sosiologi dengan mengambil kasus ekologi
pantai dan pulau-pulau kecil dimana perikanan tangkap merupakan ciri utama
belum banyak dilakukan di Indonesia
Apa
sebenarnya yang terjadi pada masyarakat nelayan dengan program modernisasi,
menjadi fenomena menarik untuk dikaji. Karena, modernisasi yang secara
ideologis seharusnya untuk mensejahterakan nelayan tradisional justru
realitanya anomali. Karena itu, studi ini hendak mengisi wacana baru dalam
sosiologi masyarakat nelayan dengan memfokuskan diri menelaah dinamika formasi
sosial yang terjadi akibat modernisasi yang telah berlangsung. Pemahaman
mendalam tentang modernisasi perikanan dengan pendekatan teori sosiologi,
diharapkan dapat memberi sumbangsih pemikiran dan informasi dalam upaya
penyiapan tatanan kelembagaan untuk sebuah keberlanjutan pembangunan (revolusi
biru) sehingga gerakan ini tidak mengulang “kegagalan” dari revolusi hijau yang
ternyata menyisakan wujud ketimpangan antar petani di pedesaan (Damanhuri,
1996)
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpuilan
Selayar
memiliki potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar karna memiliki banyak
pulau pulau yang dapat menjadi tempat tinggal ikan – ikan dan juga berbagai
biota air yang memiliki nilai jual akan tetapi permasalahan yang di hadapi oleh
kepulauan selayar menyebabkan masyarakat nya kurang sejahtera karena bebrapa factor
yang mencangkup semua itu contoh nya Kendala geografis,
Terbatasnya fasilitas yang ada,
Terbatasnya
kualitas sumber daya manusia,
Terbatasnya
sumberdaya manusia di bidang standarisasi ekspor.
5.1 Saran
Menurut
kami permasalahan yang berawal dari kurang baik nya kehidupan social diantara
para pelaku yang menjadi subjek utama dunia perikanan di kepulauan selayar,
sehingga dapat terjalin interaksi social antara pihak – pihak terkait untuk
dapat bekerja membenahi permasalahan
yang lebih khusus seperti sumber dayaan masyarakat berbaikatan insfrastruktur,
pengetahuaan dan teknologi agar dapat memperbaiki kemakmuraan masyarakat di
kepulauan selayar itu sendiri. Sebenarnya
masalah itu biasa karna kehidupaan tidak lebas dari masalah, Justru
dengan adanya
masalah akan banyak belajar untuk
melatih intuisi dan belajar mencari solusi yang tepat sehingga jika dikemudian
hari menemukan masalah yang sama sudah siap untuk melaluinya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=3&doc=3d3
(Di akses pada tanggal 05 Maret 2014 Jam 21.30 WIB)
http://andiadriarief.blogspot.com/
(diakses pada tanggal 07 maret 2014)
info untuk para pembaca blog ini bahwa sebagian besar tulisan ini khususnya berhubungan dengan orang melayu di Selayar merupakan isi tulisan Dr Ahmadin Sejarawan UNM yg berjudul Orang Melayu dalam Sejarah Selayar sebuah makalah yg disajikan dalam seminar internasional di University Kebangsaan Malaysia 2008 lalu.
BalasHapus