MAKALAH SEJARAH PERAIRAN CIREBON
(diajukan untuk memenuhi mata kuliah
sosisologi perikanan)
Oleh:
Sheila Andhani
Safira Utami
Eifa Zilfasani
Tia Rostiana S.M
Rizka
PROGRAM STUDI PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN
ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
I. Kata
Pengantar
Segala
puji dan syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan
limpahan rahmatnyalah maka penulis boleh menyelesaikan sebuah makalah.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah mengenai sejarah dan sosiologi di daerah Cirebon. Yang membahas mengenai hal – hal menyangkut perikanan maupun kelautan.Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di mata kuliah Sosiologi perikanan.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah mengenai sejarah dan sosiologi di daerah Cirebon. Yang membahas mengenai hal – hal menyangkut perikanan maupun kelautan.Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di mata kuliah Sosiologi perikanan.
Melalui
kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman
bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca. Dengan
ini kami mempersembahkan makalah ini. Semoga materi yang dibahas
dapat memberikan manfaat pagi pembaca.
Jatinangor,
11 Maret 2014
“Penulis”
“Penulis”
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kota Cirebon adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini berada di pesisir
utara Jawa atau yang dikenal dengan
jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya.
Kota Cirebon terletak pada 6°41′LU 108°33′BT pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur 8 kilometer, Utara ke Selatan 11 kilometer dengan ketinggian dari permukaan laut 5 meter (termasuk dataran rendah). Kota Cirebon dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh 130 km dari arah Kota Bandung dan 258 km dari arah Kota Jakarta.
Kota Cirebon terletak pada 6°41′LU 108°33′BT pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur 8 kilometer, Utara ke Selatan 11 kilometer dengan ketinggian dari permukaan laut 5 meter (termasuk dataran rendah). Kota Cirebon dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh 130 km dari arah Kota Bandung dan 258 km dari arah Kota Jakarta.
Kota Cirebon terletak pada lokasi
yang strategis dan menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya yang berada di wilayah
pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang lebih luas
dibandingkan dengan wilayah perbukitannya. Luas Kota Cirebon adalah 37,54 km2
dengan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah pertanian
(38%).
Wilayah Kotamadya Cirebon Sebelah
Utara dibatasi Sungai
Kedung Pane, Sebelah Barat dibatasi Sungai Banjir Kanal, Kabupaten Cirebon, Sebelah Selatan dibatasi Sungai
Kalijaga,
Sebelah Timur dibatasi Laut Jawa.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah Cirebon ?
2.
Bagaimana sistem perhubungan di Cirebon ?
3.
Bagaimana perekonomian Cirebon ?
4.
Bagaimana pariwisata Cirebon?
5.
Bagimana kondisi masyarakat Cirebon ?
6.
Bagaimana masyarkat daerah pesisir pantai Cirebon salah
satunya Desa Bungko ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui sejarah Cirebon.
2.
Untuk
mengetahui sistem perhubungan di Cirebon.
3.
Untuk
mengetahui perekonomian Cirebon.
4.
Untuk
mengetahui pariwisata Cirebon.
5.
Untuk
mengetahui kondisi masyarakat Cirebon.
6.
Untuk
mengetahui bagaimana masyarakat pesisir pantai, khususnya Desa bungko.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Cirebon
Sebagian
besar wilayah merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-2000 dpl,
sementara kemiringan lereng antara 0-40 % dimana 0-3 % merupakan
daerah berkarateristik kota, 3-25 % daerah transmisi dan 25-40 %
merupakan pinggiran.
Kota
ini dilalui oleh beberapa sungai di antaranya Sungai
Kedung Pane, Sungai
Sukalila, Sungai
Kesunean,
dan Sungai
Kalijaga.
Cirebon dikenal dengan nama Kota Udang dan Kota
Wali. Selain itu kota Cirebon disebut juga sebagai Caruban Nagari (penanda
gunung Ceremai) dan Grage (Negeri
Gede dalam bahasa jawa cirebon berarti kerajaan yang luas). Sebagai
daerah pertemuan budaya Jawa dan Sunda sejak beberapa abad silam,
masyarakat Cirebon biasa menggunakan dua bahasa, bahasa Sunda dan Jawa.
Nama
Cirebon berasal dari kata Caruban, dalam Bahasa sunda yang berarti campuran (karena
budaya Cirebon merupakan campuran dari budaya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya Arab) atau bisa juga berasal dari
kata Ci yang artinya air atau sungai dan Rebon yang
artinya udang dalam Bahasa Sunda (karena udang merupakan salah
satu hasil perikanan Kota Cirebon). B.Penduduk
Menurut
hasil Suseda Jawa Barat Tahun 2010 jumlah penduduk Kota Cirebon
telah mencapai jumlah 298 ribu jiwa. Dengan komposisi penduduk laki-laki sekitar
145 ribu jiwa dan perempuan sekitar 153 ribu jiwa, dan ratio jenis kelamin
sekitar 94,85
Penduduk
Kota Cirebon tersebar di lima kecamatan, kecamatan yang memiliki tingkat
kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Pekalipan sebesar 21,5 ribu jiwa/km²,
terpadat kedua adalah Kecamatan Kejaksan 11,8 ribu jiwa/km²,
kemudian Kecamatan Kesambi8,8 ribu jiwa/km², Kecamatan
Lemahwungkuk 8,45 ribu jiwa/km², dan kepadatan terendah terdapat
di Kecamatan Harjamukti hampir 5,48 ribu jiwa/km².
B.Perhubungan
Kota
Cirebon terletak di wilayah strategis, yakni titik bertemunya jalur tiga kota
besar di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, dan Semarang. Semua jenis transportasi itu baik
transportasi darat, laut, dan udara saling berintegrasi mendukung pembangunan
di kota Cirebon.
Kota
Cirebon memiliki dua stasiun kereta api, yakni Stasiun Kejaksan dan Stasiun Prujakan. Stasiun
Kejaksan berarsitektur khas kolonial Belanda, stasiun ini melayani hampir semua
tujuan kota - kota lainnya baik itu kota besar maupun kota kecil di pulau Jawa.
Terminal angkutan darat di Kota Cirebon di antaranya terminal besar Harjamukti,
letaknya di jalan By Pass Kota Cirebon.
Pelabuhan Cirebon saat ini hanya digunakan untuk
pengangkutan batu bara dan kebutuhan pokok dari pulau-pulau lain di Indonesia.
Bandar Udara Cakrabuana merupakan bandar udara di Kota Cirebon saat ini hanya
dijadikan sebagai bandara khusus militer.
Di
kota ini masih terdapat Becak khas Cirebon sebagai sarana
transportasi rakyat sekaligus sarana untuk wisata keliling kota.
Kesultanan
Cirebon adalah sebuah kerajaan islam yang ternama di Jawa
Barat. Kerajaan ini berkuasa pada abad ke 15 hingga abad ke 16 M. Letak
kesultanan cirebon adalah di pantai utara pulau jawa. Lokasi perbatasan antara
jawa tengah dan jawa barat membuat kesultanan Cirebon menjadi “jembatan” antara
kebudayaan jawa dan Sunda. Sehingga, di Cirebon tercipta suatu kebudayaan yang
khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa
maupun kebudayaan Sunda.
Pada
awalnya, cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa.
Demikian dikatakan oleh serat Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah
Babad Tanah Sunda. Lama-kelamaan cirebon
berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang diberi nama caruban. Diberi nama
demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa, agama,
bahasa, dan adat istiadat.
Karena
sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan nenangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari
istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang)
dari udang rebon ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon),
yang kemudian menjadi cirebon.
Dengan
dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya Alam dari pedalaman, cirebon
menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara jawa. Dari pelaburan
cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan berlangsung antar-kepulauan
nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, tidak kalah dengan
kota-kota pesisir lainnya Cirebon juga tumbuh menjadi pusat penyebaran islam di
jawa barat.
Al
kisah, hiduplah Ki gedeng Tapa, seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati.
Ia mulai membuka hutan, membangun sebuah gubuk pada tanggal 1 Sura 1358 (tahun
jawa), bertepatan dengan tahun 1445 M. Sejak saat itu, mulailah para pendatang
menetap dan membentuk masyarakat baru di desa caruban. Kuwu atau kepala desa
pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang.
Sebagai pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah raden Walangsungsang.
Walangsungsang adalah putra prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, putri Ki Gedeng Tapa. Setelah ki gedeng alang-alang meninggal
walangsungsang bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai Kuwu pengganti ki Gedeng
Alang-alang dengan gelar pangeran Cakrabuana.
Ketika
kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya,
melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan cirebon.
Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah
pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana
disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang
memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan islam.
Pada
tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan
oleh keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan
Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif
Hidayatullah (1448 – 1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan
nama sunan Gunung Jati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba
Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan
dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai oleh syarif
Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan cirebon
dan banten, serta menyebar islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda
Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568,
terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Pada
mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran
Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati carbon meninggal
lebuh dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya
kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat istana yang memegang
kenali pemerintahan selama syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atauFadillah Khan.
Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan cirebon sejak tahun
1568.
Naiknya
Fatihillah dapat terjadi karena dua kemungkinan pertama, para sultan Gunung
Jati, yaitu Pangeran Pasarean, pangeran Jayakelana, dan pangeran Bratakelana,
meninggal lebih dahulu, sedangkan putra yang masih hidup, yaitu sultan
Hasanuddin (pangeran Sabakingkin), memerintah di Banten berdiri sendiri sejak
tahun 1552 M. Kedua, Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung Jati (Fatahillah
menikah dengan Ratu Ayu, putri sunan Gunung Jati), dan telah menunjukkan
kemampuannya dalam memerintah Cirebon (1546 – 1568) mewakili Sunan Gunug Jati.
Sayang, hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal
pada 1570.
Sepeninggal
Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran Emas.
Pangeran emas kemudian bergelar panembahan ratu I, dan memerintah cirebon
selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan ratu I meninggal pada tahun
1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama
pangeran Karim, karena ayahnya yaitu panembahan Adiningkusumah meninggal dunia
terlebih dahulu. Selanjutnya, pangeran karim dikenal dengan sebutan Panembahan
Ratu II atau panembahan Girilaya.
Pada
masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua kekuatan,
yaitu kekuatan Banten dan kekuatan mataram. Banten curiga, sebab cirebot
dianggap mendekat ke mataram. Di lain pihak, mataram pun menuduh cirebon tidak
lagi sungguh-suingguh mendekatkan diri, karena panembahan Girilaya dan Sultan
Ageng dari banten adalah sama-sama keturunan pajajaran.
Kondisi
panas ini memuncak dengan meninggalnya
panembahan Girilaya saat berkunjung ke Kartasura. Ia lalu dimakamkan di bukit
Girilaya, Gogyakarta, dengan posisi sejajar dengan makam sultan Agung di
Imogiri. Perlu diketahui, panembahan Girilaya adalah juga menantu Sultan Agung
Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya, Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra panembahan Girilaya di
tahan di mataram.
Dengan
kematian panembahan Girilaya, terjadi kekosongan penguasa. Sultan ageng
tirtayasa segera dinobatkan pangeran Wangsakerta sebagai pengganti panembahan
Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan ageng tirtayasa pun kemudian
mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu trunajaya, yang pada saat
itu sedang memerangi Amangkurat I dari mataram. Dengan bantuan Trunajaya, maka
kedua putra penembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan
dibawa kembali ke Cirebon. Bersama satu lagi putra panembahan Girilaya, mereka
kemudian dinobatkan sebagai penguasa kesultanan Cirebon.
Panembahan
Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran murtawijaya, pangeran Kartawijaya,
dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677, kesultanan
cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak
panembahan Girilaya, yakni :
1.
Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi
Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703)
2. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
3. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713)
2. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
3. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713)
Perubahan
gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra tertua pangeran
girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik
menjadi sultan Cirebon di Ibukota banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai
wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun pangeran
wangsakerta tidak diangkat sebagai Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak
memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai
kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.
Pergantian
kepemimpinan para sultan di cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai pada
masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798 – 1803). Saat itu terjadilah pepecahan
karena salah seorang putranya, yaitu pangeran raja kanoman, ingin memisahkan
diri membangun kesultanan sendiri dengan nama kesultanan Kacirebonan.
Kehendak
raja kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang mengangkatnya menjadi Sultan
Cirebon pada tahun 1807. namun belanda mengajukan satu syarat, yaitu agar putra
dan para pengganti raja Kanoman tidak berhak atas gelar sultan. Cukup dengan
gelar pangeran saja. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu
penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan. Sementara tahta sultan Kanoman V
jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin
(1803 – 1811).
Sesudah
kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur dalam
mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di
wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun
1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan
dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon
C.Perekonomian
Gedung
Bank Indonesia, salah satu bangunan peninggalan Belanda di Cirebon
Perekonomi
Kota Cirebon dipengaruhi oleh letak geografis yang strategis dan
karakteristik sumber daya alam sehingga struktur
perekonomiannya didominasi oleh sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektorpengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa. Tomé Pires dalam Suma Orientalnyasekitar tahun 1513 menyebutkan
Cirebon merupakan salah satu sentra perdagangan diPulau Jawa. Setelah Cirebon diambil alih oleh
pemerintah Hindia-Belanda, pada tahun 1859, pelabuhan Cirebon
ditetapkan sebagai transit barang ekspor-impor dan pusat pengendalian politik
untuk kawasan di pedalaman Jawa.
Sampai tahun 2001 kontribusi perekonomian
untuk Kota Cirebon adalah industri pengolahan (41,32%), kemudian diikuti oleh
sektor perdagangan, hotel dan restoran (29,8%), sektor pengangkutan dan
komunikasi (13,56%), sektor jasa-jasa (6,06%). Sedangkan sektor lainnya (9,26%)
meliputi sektor pertambangan, pertanian, bangunan, listrik, dan gas rata-rata
2-3%.
D.Pariwisata
Sebagai
salah satu tujuan wisata di Jawa Barat, Kota Cirebon menawarkan banyak
pesona mulai dari wisata sejarah tentang kejayaan kerajaan Islam, kisah para wali, Komplek Makam Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung sekitar 15
km ke arah barat pusat kota,Masjid Agung Sang
Cipta Rasa, Masjid At Taqwa, kelenteng kuno, dan bangunan-bangunan
peninggalan zaman Belanda. Kota ini juga menyediakan bermacam
kuliner khas Cirebon, dan terdapat sentra kerajinan rotan serta batik.
Cirebon
terdapat keraton sekaligus di dalam kota, yakni Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Semuanya memiliki arsitekturgabungan dari elemen kebudayaan Islam, Cina, dan Belanda. Ciri khas bangunan keraton selalu
menghadap ke utara dan ada sebuahmasjid didekatnya. Setiap keraton
mempunyai alun-alun sebagai tempat
berkumpul, pasar dan patung macan di taman atau halamandepan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya kerajaan Cirebon. Ciri lain adalah piring porselen asliTiongkok yang jadi penghias dinding. Beberapa piring konon diperoleh
dari Eropa saat Cirebon jadi pelabuhan pusat perdagangan PulauJawa.
E. Masyarakat
Cirebon
Udang
sudah dikenal sebagai ikonnya Cirebon. Bahkan udang pun dijadikan logo
Pemerintahan Kota Cirebon. Sedikitnya terpampang 6 buah udang besar berwarna
emas di gedung depan Balaikota Cirebon. Keberadaan udang-udang tersebut
bukanlah tanpa alasan. Menurut aktivis komunitas Pusaka Cirebon "Kendi
Pertula" Mitra Budaya LVRI Kota Cirebon, Mustakim Asteja, mengisahkan jika
sejak dahulu Cirebon memang sudah dikenal sebagai kota udang. "Di
peraiaran Cirebon udang dengan mudah bisa ditemukan," katanya. Tinggal
serok saja, udang pun bisa didapatkan. Ini dikarenakan Cirebon yang terletak di
daerah pesisir memiliki perairan yang cukup bagus."Saat itu perairan
Cirebon masih sangat alami. Belum terkontaminasi oleh limbah apa pun," katanya.
Bahkan tidak hanya di laut, udang pun bisa ditemukan dengan mudah di sejumlah
sungai yang melintasi Kota Cirebon. Seperti diketahui sedikitnya ada 6 sungai
yang melintas di Kota Cirebon.
Bahkan
sebelum berdirinya kesultanan Cirebon sudah berdiri sebuah kerajaan yang
bernama Pakungwati. Rajanya pun bergelar Pakungwati. Pakungwati berasal dari
kata Pakung yang dalam bahasa Cirebon berarti udang.
Pengukuhan
Cirebon sebagai Kota Udang kembali dilakukan di zaman penjajahan Belanda. Saat
membangun gedung pemerintahan yang sebelumnya disebut dengan gedung kura-kura
(karena bentuknya dari atas seperti kura-kura) di bagian depan,tepatnya di atas
gedung pun turut dibuatkan patung udang yang menempel di atap gedung. "Ini
menandakan Belanda saat itu sudah mengakui Cirebon sebagai kota penghasil
udang," katanya.
Namun
alam kemudian berubah. Yang semula ramah dengan menghadirkan udang dimana-mana
kini perairan Cirebon minim dengan udang. "Mulai berubah sejak tahun
1980-an. Udang perlahan-lahan hilang dari perairan Cirebon," kata
Mustakim. Penyebabnya karena limbah rumah tangga dan limbah pabrik yang dibuang
ke sungai dan mengalir jauh ke laut. Sehingga udang pun enggan untuk berkembang
biak dengan pesat di perairan Cirebon.
Kini
pencemaran di perairan Cirebon pun semakin parah. Ini bisa dilihat dengan
semakin merosotnya produktivitas budidaya udang di perairan Cirebon, khususnya
di Kabupaten Cirebon. Penyebabnya karena pencemaran laut dan tingginya tingkat
keasaman di tambak akibat tingginya penggunaan insektisida oleh petambak.
Seperti
diungkapkan Ridwan, seorang petambak asal Desa Ambulu Kecamatan Losari,
Kabupaten Cirebon. "pada 1990 an Losari dikenal sebagai sentra budidaya
udang di Kabupaten Cirebon," katanya. namun kini produksi udang terus
merosot.
Di
lahan tambak seluas 7 ribu hingga 10 ribu m2 biasanya petambak bisa
menghasilkan udang hingga 4 ton. Namun saat ini mereka hanya mampu memproduksi
udang maksimal 2 kwintal setiap kali panen. Karenanya, lanjut Ridwan,
dibutuhkan terobosan agar Cirebon bisa dikenal lagi sebagai penghasil udang.
F. Kehidupan Desa Bungko
Ketika Prabu Brawijaya V
memegang tahta Kerajaan Majapahit telah
dilanda kehancuran yang ditandai dengan Candra Sangkala sirna laut rata ning
bumi sekitar tahun 1978 masehi atau 1.400 saka sejak itu para kesatria
Majapahit banyak yang berkelana mencari kehidupan baru yang lebih aman yang
antara lain Jaka Tarub Banjaran Sari atau nama lain dari Raden Jaka Taruna yang
berasal dari Belambangan.
DI suatu daerah yang dianggapnya
aman dan jauh dari Majapahit ia melakukan tapa brata yang berhari-hari di bawah
pohon bakau. Ketika Jaka Taruna berbuka menikmati nasi tumpeng datanglah seekor
bebek ikut menyocor nasi tumpeng yand ada di hadapannya. Tentu saja Jaka Taruna
sangat marah yang merasa terganggu, bebek it uterus saja menyocor nasi tumpeng
tanpa menghiraukan amarah Jaka Taruna. Oleh karena sangat jengkel, bebek itu
ditangkapnya lalu dibantingnya hingga sekarat dan mati. Tak lama kemudian
datanglah pemilik bebek yang menyatakan tidak setuju dan meminta bebek
kesayangannya dihidupkan kembali. Jaka Taruna menjadi bingung, ia merasa
menyesal dan bersalah, namun dirinya tak mungkin dapat memenuhi permintaan
untuk menghidupkan bebek yang telah mati. Terjadilah adu mulut antara pemilik
bebek dengan Jaka Taruna. Pemilik bebek bersikeras agar bebeknya dihidupkan
kembali. Oleh karena merasa kewalahan dan tidak mampu memenuhi tuntutan pemilik
bebek akhirnya Jaka Taruna berjanji bahwa siapapun orang yang bisa menghidupkan
bebek maka Jaka Taruna akan berguru pada orang tersebut, denga sangat tenang
pemilik bebek itu memegang bebek yang telah mati dan dalam sekejap bebek yang
telah mati itu hidup kembali. Ternyata pemilik bebek itu adalah seorang
waliyullah yang bernama Sunan Gunung Jati yang sedang menyamar. Selanjutnya
Jaka Taruna kemudian diajak ke puser bum untuk mendapatkan pelajaran agama
islam. Jaka Taruna diangkat menjadi pemimpin pasukan perang dengan sebutan Ki
Syekh Benting. Keberanian Ki Syekh Benting diantaranya adalah mengalahkan
pasukan Galuh dalam Talaga Gunung Gundul yaitu peperangan antara Cirebon dan
Galuh, serta pengusiran portugis daru Sunda Kelapa oleh pasukan Gabungan Demak
dan Cirebon oleh kerana Ki Syekh Benting banyak berjasa terhadap puser bumi, ia
diberi kekuasaan di sebelah puser bumi yang diberi nama Bungko dari kata Bangka
atau Bengkot yang artinya daerah pemukiman yang dianggap tua yang telah lama
dihuni orang.
SEJARAH DESA BUNGKO CIREBON
Sejarah Dan Kebudayaan Desa Bungko
Berawal Dari Syekh Benting Yang Di Tugaskan Keujung Utara Kota Cirebon Atau
Perbatasan Cirebon Indramayu, Disebelah Timur Desa Kapetakan.
Syekh Benting Ini Ditugaskan Untuk
Menjadikan Sebuah Wilayah Atau Suatu Perkampungan Yang Disebut Desa, Syekh
Benting Ditugaskan Sama Sesepuh Mbah Kuwu Cirebon Yang Menyuruh Beliau Untuk
Menduduki Wilayah Tersebut, Dulu Wilaya Ini Rawa-Rawa Dan Hutan Dari Situlah
Syekh Benting Dijadikan Kuwu Pertama Di Desa Bungko, Bungko Itu Menurut Sejarah
Atau Perkataan Nenek Moyang Kami Disebut Bongkot Yaitu Bongkotnya Wilayah Utara
Cirebon Disitulah Syekh Benting Memulai Babad Alas Wilaya Bungko Yang Dahulu
Konon Menurut Sejarah Yang Lain Membabad Alas Dengan Sebilah Pedang Atau Alat
Lainnya.
Sedangkan Syekh Benting Itu Dengan
Ajiannya Membabad Alas Dengan Cara Membakar Dan Mendapatkan Hasil Tanah Yang
Luas Dari Ujung Krangkeng Sampai Desa Muara Menurut Sejarah Pertama Ada
Kegiatan Pemerintah Desa Diawali Syekh Benting Dijadikan Ki Kuwu Jaka Yang
Menjadi Perangkat Desanya Itu Adalah Ki Lebe Tawa (Yang Menjadi Lebe), Ki
Lambang, Ki Makam Dawa, Dan Yang Menjadi Kiyai Atau Ulama Adalah Ki Tenun. Kemudian Ds. Bungko Di Mekarkan
Menjadi Dua Yaitu Ds. Bungko, Dan Bungko Lor.
Sedang Kebudayaan Atau Adat Istiadat
Yang Ada Di Desa Bungko Lor Tersebut Ialah Angklung, Sampyong, Dan Ciri Khas
Pepohonan Yang Ada Di Desa Bungko Lor Yaitu Betah, Kapidada, (Yang Artinya
Palang Dada Wong Cerbon), Waru, Kayu Jaran, Dan Yang Terakhir Duduk Yang
Berarti Betah Menduduki Desa Bungko,
Demikian Sejarah Singkat Desa Bungko Dan Masih Banyak Lagi Yang Belum Kami Rangkum
Demikian Sejarah Singkat Desa Bungko Dan Masih Banyak Lagi Yang Belum Kami Rangkum
Asal – usul Desa Bungko Cirebon
Ketika Prabu Brawijaya memegang tahta,
Kerajaan Majapahit tengah dilanda kehancuran yang ditandai dengan candra
sangkala “sirna larut rataning bumi” sekitar tahun 1478 M atau tahun 1400 saka.
Hal itu terdapat kesesuaian dengan arti tahun 1400 apabila diartikan dari
belakang, yakni sirna = 0 (nol), larut = 0 (nol), rataning = 4(empat), dan bumi
= 1 (satu). Sejak itu para ksatria Majapahit banyak yang berkelana mencari
kehidupan baru yang lebih aman, antara lain Jaka Tarub Banjaransari atau nama
lain Raden Jaka Taruna yang berasal dari Blambangan. Di suatu daerah yang
dianggapnya aman dan jauh dari Majapahit, ia melakukan tapabrata berhari-hari
di bawah pohon bakau/api-api. Seusai melakukan tapabrata, ia hendak berbuka
dengan memakan nasi tumpeng. Saat menikmati nasi tumpeng, datanglah seekor
bebek ikut nyocor nasi tumpeng yang ada di hadapannya. Tentu saja Jaka Taruna
sangat marah karena merasa terganggu, lagi pula nasi tumpengnya dimakan bebek.
Sambil mengunyah nasi, ia marah-marah menghalau bebek, dengan suara
“ho…ho…ho…”, karena perutnya penuh nasi. Bebek itu terus saja nyocor nasi
tumpng tanpa menghiraukan amarah jaka Taruna. Oleh karena sangat jengkel, bebek
itu ditangkapnya lalu dibanting “wee…k…”, hingga sekarat terus mati. Tak lama
kemudian datanglah pemilik bebek menemui Jaka Taruna yang menyatakan
ketidaksetujuannya dan meminta bebek kesayangannya dihidupkan kembali. Jaka
Taruna menjadi bingung. Ia merasa bersalah, namun dirinya tak mungkin dapat
memenuhi permintaan untuk menghidupkan bebek yang telah mati. Terjadilah adu
mulut antara pemilik bebek dan Jaka Taruna. Pemilik bebek bersikeras agar
bebeknya dihidupkan kembali. “Siapakah orangnya yang dapat menghidupkan
binatang yang sudah mati?” Joko taruna bertanya dengan nada keras, akan tetapi
pemilik bebek tetap saja menuntut agar bebeknya dihidupkan kembali. Oleh karena
merasa kewalahan dan tidak mampu memenuhi tuntutan pemilik bebek, akhirnya joko
Taruna berkata, ” Baiklah, siapa pun orangnya yang dapat menghidupkan bebek ini,
maka aku akan berguru kepadanya”. Dengan sangat tenang pemilik bebek memegang
bebek yang telah mati itu dan dalam sekejap bebek tersebut bersuara “wee…k…”.
Bebek itu hidup kembali dan lari. Merasa dirinya terkalahkan, seketika itu juga
tanpa diminta Joko Taruna bersumpah , “Sun ngawula ing Gusti ngantiya babar
kiyamat”. Tak salah lagi bahwa pemilik bebek itu adalah seorang waliyullah yang
bernama Sunan Gunung Jati yang sedang menyamar. Adapun bebek itu diciptakannya
dari sehelai daun
serut. Selanjutnya joko Taruna diterima menjadi muridnya, kemudian diajak ke Puser Bumi untuk mendapatkan ajaran agama Islam. Jaka Taruna adalah pemuda yang cakap dan banyak memiliki ilmu kanuragan. Ia diangkat menjadi pemimpin pasukan perang dengan sebutan Ki Syeh Benting. Keberanian Ki Syeh Benting di antaranya ketika mengalahkan pasukan Galuh dalam “Talagan Gunung Gundul”, yaitu peperangan antara Cerbon dan Galuh, dan pengusiran portugis dari Sunda Kelapa oleh pasukan gabungan Demak dan Cerbon.
Oleh karena Ki Syeh Benting banyak berjasa terhadap Puser Bumi, ia diberi kekuasaan di sebelah utara Puser Bumi yang diberi nama Bungko. Asal kata “bungko” dari kata “bungka” atau “bengkot”. artinya daerah pemukiman yang dianggap tua dan telah lama dihuni orang. Sewaktu mendapat kekuasaan di Bungko, Ki Syeh Benting terkenal dengan nama Ki Ageng Payuman, dan setelah wafat ia dimakamkan di dekat kuburan Sunan Gunung Jati. Desa Bungko sekarang identik dengan sebuah kesenian yang bernama angklung bungko.
serut. Selanjutnya joko Taruna diterima menjadi muridnya, kemudian diajak ke Puser Bumi untuk mendapatkan ajaran agama Islam. Jaka Taruna adalah pemuda yang cakap dan banyak memiliki ilmu kanuragan. Ia diangkat menjadi pemimpin pasukan perang dengan sebutan Ki Syeh Benting. Keberanian Ki Syeh Benting di antaranya ketika mengalahkan pasukan Galuh dalam “Talagan Gunung Gundul”, yaitu peperangan antara Cerbon dan Galuh, dan pengusiran portugis dari Sunda Kelapa oleh pasukan gabungan Demak dan Cerbon.
Oleh karena Ki Syeh Benting banyak berjasa terhadap Puser Bumi, ia diberi kekuasaan di sebelah utara Puser Bumi yang diberi nama Bungko. Asal kata “bungko” dari kata “bungka” atau “bengkot”. artinya daerah pemukiman yang dianggap tua dan telah lama dihuni orang. Sewaktu mendapat kekuasaan di Bungko, Ki Syeh Benting terkenal dengan nama Ki Ageng Payuman, dan setelah wafat ia dimakamkan di dekat kuburan Sunan Gunung Jati. Desa Bungko sekarang identik dengan sebuah kesenian yang bernama angklung bungko.
Nama-nama kepala Desa Bungko yang diketahgui antara lain :
1. ki Kuwu Jaka
2. Resi
3. bujana
4. Kersa
5. Redi
6. kanpi
7. Kaia
8. Skim
9. abam
10. Dani
11. Kadap/ki Ijem
12. Dania
13. Warsia
14. Darmo
15. Raki
16. kemed
17. H.kasih Hartono : 1975 – 1984
18. Ono : 1984 – 1998
19. Ono : 1998 – sekarang
2. Resi
3. bujana
4. Kersa
5. Redi
6. kanpi
7. Kaia
8. Skim
9. abam
10. Dani
11. Kadap/ki Ijem
12. Dania
13. Warsia
14. Darmo
15. Raki
16. kemed
17. H.kasih Hartono : 1975 – 1984
18. Ono : 1984 – 1998
19. Ono : 1998 – sekarang
Pada tahun 1984 Desa Bungko
dimekarkan menjadi dua desa, yaitu bungko Kidul dan Bungko lor.
Nama-nama Kepala Desa Bungko Lor :
1. H.Masykur
(Pjs) : 1984 – 1988
2. Sukardi : 1988 – 1995
3. Budi (Pjs) : 1995 – 1996
4. H.Kamsudi : 1996 – 1998
5. Hadkiya : 1998 – 1999
6. Rali : 1999 – sekarang.
2. Sukardi : 1988 – 1995
3. Budi (Pjs) : 1995 – 1996
4. H.Kamsudi : 1996 – 1998
5. Hadkiya : 1998 – 1999
6. Rali : 1999 – sekarang.
G. Budaya Nadran di Wilayah Cirebon
Nadran adalah upacara adat para nelayan di
pesisir pantai utara Jawa, seperti Subang, Indramayu dan Cirebon
yang bertujuan untuk mensyukuri hasil tangkapan ikan, mengharap peningkatan
hasil pada tahun mendatang dan berdo’a agar tidak mendapat aral melintang dalam
mencari nafkah di laut. Inilah maksud utama dari Upacara Adat Nadran yang
diselenggarakan secara rutin setiap tahun. Selain upacara ritual adat, kesenian tradisional serta pasar malam
pun diselenggarakan selama seminggu. Di Kabupaten Indramayu, umumnya Upacara
Adat Nadran diselenggarakan antara bulan Oktober
sampai Desember yang bertempat di Pantai Eretan Kulon, Eretan Wetan, Dadap,
Limbangan dan Karangsong.
Sedangkan di Kabupaten Subang, di antaranya
adalah di Pantai Blanakan. Nadran sebenarnya merupakan suatu tradisi hasil
akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara
turun-temurun. Kata nadran sendiri, menurut sebagian masyarakat, berasal dari
kata nazar yang mempunyai makna dalam agama Islam: pemenuhan janji. Adapun inti
upacara nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam
agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi
limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala
(keselamatan). Sesajen yang diberikan, disebut ancak, yang berupa anjungan
berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa,
buah-buahan, makanan khas, dan lain sebagainya. Sebelum dilepaskan ke laut,
ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan
sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling,
genjring, barongsai, telik sandi, jangkungan, ataupun seni kontemporer
(drumband). Nadran atau kadang disebut labuh saji dapat juga diartikan sebagai
sebuah upacara pesta laut masyarakat nelayan sebagai perwujudan ungkapan syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang diberikan-Nya lewat hasil laut yang
selama ini didapat. Selain itu, dalam upacara
nadran juga dilakukan permohonan agar diberi keselamatan dalam melaut, serta
tangkapan hasil laut mereka berlimpah pada tahun mendatang.
1.
Tradisi Nadran Pra
Islam
Berdasarkan buku penelitian Dr.
Heriyani Agustina, Kepel Press-2009diceritakan
tentang buku “Negara Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita
dari Kartani (Penasehat Budaya Cirebon)
disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal pada tahun
410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga
Kerajaan Tarumanegara yang terletak di dekat sungai
Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu,
memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu ( yang sekarang Kec. Talun, Kab.
Cirebon)
untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat
Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai
lebih kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang
belum ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500
ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu
Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai
yang dimaksud adalah sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara
adalah perbatasan antara sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah
sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon.
Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual
untuk menghilangkan kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan
kepada sang pencipta.( Sumber Kartani dan Kaenudin)
Sebetulnya tradisi Nadran
bukanlah tradisi asli daerah Cirebon
apalagi masyarakat Desa Mertasinga, karena tradisi ini banyak juga ditemukan
dibeberapa daerah lain dengan nama yang berbeda, seperti di Jawa Tengah dikenal
dengan tradisi Labuhan, karena ada beberapa kepercayaan bahwa apabila mereka
tidak melakukan sedekah ini, mereka berkeyakinan bahwa Dewa Baruna akan murka
dan segera mengirim bencana melalui dewa petir, Dewa Halilintar dan Dewa Angin
yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut. Akhirnya tidak dapat mencari
ikan sebagai sumber kehidupan utama.
Penggunaan daging kerbau sebagai persembahan dan bukanya daging sapi, dikarenakan daging kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh. Selain itu juga sapi dianggap jelmaan dari dewa.
Penggunaan daging kerbau sebagai persembahan dan bukanya daging sapi, dikarenakan daging kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh. Selain itu juga sapi dianggap jelmaan dari dewa.
Selain melarung ritual
lainnya adalah pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa atau kemenyan yang
bertujuan memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Mantra juga berfungsi
untuk memanggil arwah para leluhur yang telah ikut menjaga keselamatan mereka
dalam mencari rejeki di laut. Kesan magis pada asap dupa dan kemenyan bertujuan
untuk ketenangan sekaligus permohonan kehadirat Yang Maha Kuasa, agar
permohonan mereka lebih cepat sampai ke hadapan Tuhan serta cepat dikabulkan
segala permohonan atau permintaannya.
Dalam rangkaian tradisi
Nadran juga di tampilkan hiburan Wayang yang merupakan kesenian dari Hinduisme
dan animisme, yang dapat diperankan seperti tokoh Mahabarata dan Ramayana.
Pertunjukan lain dari wayang yang sangat kental dengan Hinduisme dan
animismenya adalah wayang dengan lakon Wudug Basuh, yang menceritkan tentang
pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) oleh para Dewa, dengan cara mengaduk air
laut menggunakan ekor naga Basuki. Tirta Amerta diperlukan untuk mengurapi para
Dewa agar mereka terhindar dari kematian, tapi mereka tidak dapat terhindar
dari sakit. Oleh karena itu, masing-masing-masing dewa diberi tempat dikayangan
Suralaya. Namun demikian ada kelanjutannya, air laut yang diaduk oleh para dewa
tersebut mengakibatkan mahluk laut terganggu, lalu bermuculan ke daratan sambil
membawah wabah penyakit wudug, budug (bisul), penyakit-penyakit lainnya. untuk
mengatasi wabah ini para Dewa meminta bantuan pada Sanghiyang Baruna untuk
menentramkan mahluk laut supaya tidak mengganggu penghuni daratan. Sangyang Baruna
melantunkan jampa mantra di baskom air kembang, lalu air kembang yang telah
diberi mantra disiramkan pada layar perahu
nelayan (Prawiraredja,2005:164).
Meskipun Nadran bernuansa
magis dan animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah memiliki kesadaran
mistik terhadap keberadaan penguasa alam semesta, disertai rasa terima kasih
dan bermohon kepada Yang Maha Kuasa suapaya diberi kebaikan dan keselamatan.
2. Tradisi Nadran setelah kedatangan Islam
Tradisi-tradisi
Nadran setelah kedatangan Islam tidak lagi dimaknai sebagai sebuah persembahan
kepada Sanghyang Jagat Batara (Penguasa Alam Semesta), akan tetapi lebih
dimaknai sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan-Nya
kepada para nelayan, baik itu karunia kesehatan, kekuatan maupun hasil
tangkapan ikan yang berlimpah. Mantra-mantra yang dibacakan dalam prosesi
Nadran diganti dengan pembacaan do’a-do’a yang dipimpin oleh seorang ulama.
Lauk pauk hasil bumi yang diikutsertakan dalam upacara ini dibagi-bagikan
kepada penduduk desa dangan simbolisasi pembagian berkah. (Dasuki,1979:1011).
Pelarungan
kepala kerbau ke laut tetap dilakukan, tapi tidak lagi dimaknai sebagai
persembahan kepada Dewa Baruna pelarungan ini lebih bersimbol pada membuang
kesialan, sekaligus untuk mengingat bahwa laut merupakan sumber kehidupan bagi
para nelayan, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan.
Nuansa keislaman juga nampak dalam pementasan seni wayang dan tari. Wayang yang dipertunjukan adalah wayang Golek Cepak dan wayang kulit Dakwah (sebelumnya wayang dibuat dari gulungan kain yang bergambar lalu diubah menjadi wayang kulit yang berasal dari kulit kerbau atau lembu ) yang merupakan asli Cirebon yang alur ceritanya diambil dari Babad Cirebon, Babad Walisanga dan Babad Ambiya, yang menggambarkan sejarah Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan para Wali, beserta cerita perjuangan Rasullah SAW dan sahabat-sahabatnya dalam menegakkan syariat Islam.
Pagelaran wayang semalam suntuk dalam tradisi Nadran bukan hanya untuk bergadang, akan tetapi masyarakat mendapatkan penyuluhan dan pembekalan rohani. Pagelaran ini diistilahkan dengan tabarukan, yaitu mencari keberkahan atas syukur yang mendalam, dengan membuang kebiasaan-kebiasaan buruk dan menggantinya dengan nilai-nilai positif (Dahuri,2004:218)
Nuansa keislaman juga nampak dalam pementasan seni wayang dan tari. Wayang yang dipertunjukan adalah wayang Golek Cepak dan wayang kulit Dakwah (sebelumnya wayang dibuat dari gulungan kain yang bergambar lalu diubah menjadi wayang kulit yang berasal dari kulit kerbau atau lembu ) yang merupakan asli Cirebon yang alur ceritanya diambil dari Babad Cirebon, Babad Walisanga dan Babad Ambiya, yang menggambarkan sejarah Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan para Wali, beserta cerita perjuangan Rasullah SAW dan sahabat-sahabatnya dalam menegakkan syariat Islam.
Pagelaran wayang semalam suntuk dalam tradisi Nadran bukan hanya untuk bergadang, akan tetapi masyarakat mendapatkan penyuluhan dan pembekalan rohani. Pagelaran ini diistilahkan dengan tabarukan, yaitu mencari keberkahan atas syukur yang mendalam, dengan membuang kebiasaan-kebiasaan buruk dan menggantinya dengan nilai-nilai positif (Dahuri,2004:218)
3.
Tradisi Nadran
Dewasa ini
Proses
pelaksanaan tradisi Nadran di kali Bondet berdasarkan cerita masyarakat
setempat dari dulu hingga sekarang adalah sama dan hampir tidak ada perubahan
berarti kalaupun ada hanya proses kelengkapan hiburan yang kadang disesuaikan
dengan tingkat kemampuan para nelayan atau tengkulak, dan berdasarkan fakta
dilapangan disetiap tahunnya hampir hampir seluruh warga masyarakat khusunya
yang berdekatan dengan kali Bondet turut memeriahkan tradisi ini dengan
mengelar berbagai hiburan tambahan selain hiburan utama, bahkan para pedagang pun
tak ketinggalan dari pintu masuk jalan raya sampai ke pusat kegiatan (biasanya
di TPI KUD Mina Waluya Desa Bondet) disesaki berbagai macam para pedagang dan
hiburan tambahan lainnya seperti permainan modern.
Menurut Dr.
Heriyani Agustina, bahwa dalam kontek kekinian, Nadran terkadang lebih
terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, dan sebagai sarana hiburan bagi
masyarakat. Ia sering kehilangan ruhnya, ini terlihat dari banyaknya masyarakat
yang telah mulai meninggalkan pesan-pesan moral para pendahulunya, terutama
tokoh-tokoh Islam dan para pendiri Cirebon
yang tersirat melalui simbol-simbol tradisi. Bahkan ketika menampilkan lakon
para sufi atau para wali dalam pagelaran wayang sebagai media pengajaran
masyarakat supaya hidup sederhana dan selalu memperhatikan kaum yang lemah..
sebaliknya justru Nadran malah dijadikan sarana untuk berfoya-foya dengan tidak
menghiraukan pendekatan kaum yang lemah. Bahkan sekarang ada kecenderungan
bahwa pesta tradisi Nadran lebih banyak dalam bentuk campur sari dan dangdutan,
yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan.
Kalau
dicermati secara rinci dari sisi ekonomi, bahwa tradisi Nadran yang
dilaksanakan oleh masyarakat Nalayan kali Bondet, sebenarnya sangat
menguntungkan bagi masyarakat maupun daerah, hal ini dikarenakan kegiatan
nadran ini sangat menarik para wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
Bahkan lewat tradisi ini kadang masyarakat Desa Mertasinga juga diuntungkan
dari para wisatawan yang kadang juga turut bertransaksi ekonomi lainnya
disamping menikmati hiburan-hiburan yang sedang ditampilkan
BAB III
KESIMPULAN
Nama Cirebon berasal dari kata Caruban, dalam Bahasa sunda yang berarti campuran (karena
budaya Cirebon merupakan campuran dari budaya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya Arab) atau bisa juga berasal dari
kata Ci yang artinya air atau sungai dan Rebon yang
artinya udang dalam Bahasa Sunda (karena udang merupakan salah
satu hasil perikanan Kota Cirebon). B.Penduduk
Menurut
hasil Suseda Jawa Barat Tahun 2010 jumlah penduduk Kota Cirebon
telah mencapai jumlah 298 ribu jiwa. Dengan komposisi penduduk laki-laki
sekitar 145 ribu jiwa dan perempuan sekitar 153 ribu jiwa, dan ratio jenis
kelamin sekitar 94,85
Penduduk
Kota Cirebon tersebar di lima kecamatan, kecamatan yang memiliki tingkat
kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Pekalipan sebesar 21,5 ribu jiwa/km²,
terpadat kedua adalah Kecamatan Kejaksan 11,8 ribu jiwa/km²,
kemudian Kecamatan Kesambi8,8 ribu jiwa/km², Kecamatan
Lemahwungkuk 8,45 ribu jiwa/km², dan kepadatan terendah terdapat
di Kecamatan Harjamukti hampir 5,48 ribu jiwa/km².
Daftar Pustaka
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل