expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 13 Maret 2014

Sejarah Perairan Cirebon (Kelompok 7)



MAKALAH SEJARAH PERAIRAN CIREBON
(diajukan untuk memenuhi mata kuliah sosisologi perikanan)











Oleh:
 Sheila Andhani
      Safira Utami

Eifa Zilfasani
Tia Rostiana S.M
Rizka


PROGRAM STUDI PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN


I. Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka penulis boleh menyelesaikan sebuah makalah.

            Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah mengenai sejarah dan sosiologi di daerah Cirebon. Yang membahas mengenai hal – hal menyangkut perikanan maupun kelautan.Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di mata kuliah Sosiologi perikanan.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca. Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini. Semoga materi yang dibahas dapat memberikan manfaat pagi pembaca.












Jatinangor, 11 Maret 2014
           
Penulis”
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kota Cirebon adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa BaratIndonesia. Kota ini berada di pesisir utara Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya.
            Kota Cirebon terletak pada 
6°41′LU 108°33′BT pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur 8 kilometer, Utara ke Selatan 11 kilometer dengan ketinggian dari permukaan laut 5 meter (termasuk dataran rendah). Kota Cirebon dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh 130 km dari arah Kota Bandung dan 258 km dari arah Kota Jakarta.
Kota Cirebon terletak pada lokasi yang strategis dan menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya yang berada di wilayah pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah perbukitannya. Luas Kota Cirebon adalah 37,54 km2 dengan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah pertanian (38%).
Wilayah Kotamadya Cirebon Sebelah Utara dibatasi Sungai Kedung Pane, Sebelah Barat dibatasi Sungai Banjir Kanal, Kabupaten Cirebon, Sebelah Selatan dibatasi Sungai Kalijaga, Sebelah Timur dibatasi Laut Jawa.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah Cirebon ?
2.      Bagaimana sistem perhubungan di Cirebon ?
3.      Bagaimana perekonomian Cirebon ?
4.      Bagaimana pariwisata Cirebon?
5.      Bagimana kondisi masyarakat Cirebon ?
6.      Bagaimana masyarkat daerah pesisir pantai Cirebon salah satunya Desa Bungko ?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah Cirebon.
2.      Untuk mengetahui sistem perhubungan di Cirebon.
3.      Untuk mengetahui perekonomian Cirebon.
4.      Untuk mengetahui pariwisata Cirebon.
5.      Untuk mengetahui kondisi masyarakat Cirebon.
6.      Untuk mengetahui bagaimana masyarakat pesisir pantai, khususnya Desa bungko.





















BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Cirebon
            Sebagian besar wilayah merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-2000 dpl, sementara kemiringan lereng antara 0-40 % dimana 0-3 % merupakan daerah berkarateristik kota, 3-25 % daerah transmisi dan 25-40 % merupakan pinggiran.
            Kota ini dilalui oleh beberapa sungai di antaranya Sungai Kedung PaneSungai SukalilaSungai Kesunean, dan Sungai Kalijaga.
             Cirebon dikenal dengan nama Kota Udang dan Kota Wali. Selain itu kota Cirebon disebut juga sebagai Caruban Nagari (penanda gunung Ceremai) dan Grage (Negeri Gede dalam bahasa jawa cirebon berarti kerajaan yang luas). Sebagai daerah pertemuan budaya Jawa dan Sunda sejak beberapa abad silam, masyarakat Cirebon biasa menggunakan dua bahasa, bahasa Sunda dan Jawa.
            Nama Cirebon berasal dari kata Caruban, dalam Bahasa sunda yang berarti campuran (karena budaya Cirebon merupakan campuran dari budaya SundaJawaTionghoa, dan unsur-unsur budaya Arab) atau bisa juga berasal dari kata Ci yang artinya air atau sungai dan Rebon yang artinya udang dalam Bahasa Sunda (karena udang merupakan salah satu hasil perikanan Kota Cirebon). B.Penduduk
            Menurut hasil Suseda Jawa Barat Tahun 2010 jumlah penduduk Kota Cirebon telah mencapai jumlah 298 ribu jiwa. Dengan komposisi penduduk laki-laki sekitar 145 ribu jiwa dan perempuan sekitar 153 ribu jiwa, dan ratio jenis kelamin sekitar 94,85
            Penduduk Kota Cirebon tersebar di lima kecamatan, kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Pekalipan sebesar 21,5 ribu jiwa/km², terpadat kedua adalah Kecamatan Kejaksan 11,8 ribu jiwa/km², kemudian Kecamatan Kesambi8,8 ribu jiwa/km², Kecamatan Lemahwungkuk 8,45 ribu jiwa/km², dan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Harjamukti hampir 5,48 ribu jiwa/km².
B.Perhubungan
            Kota Cirebon terletak di wilayah strategis, yakni titik bertemunya jalur tiga kota besar di Indonesia yakni JakartaBandung, dan Semarang. Semua jenis transportasi itu baik transportasi darat, laut, dan udara saling berintegrasi mendukung pembangunan di kota Cirebon.
            Kota Cirebon memiliki dua stasiun kereta api, yakni Stasiun Kejaksan dan Stasiun Prujakan. Stasiun Kejaksan berarsitektur khas kolonial Belanda, stasiun ini melayani hampir semua tujuan kota - kota lainnya baik itu kota besar maupun kota kecil di pulau Jawa. Terminal angkutan darat di Kota Cirebon di antaranya terminal besar Harjamukti, letaknya di jalan By Pass Kota Cirebon.
            Pelabuhan Cirebon saat ini hanya digunakan untuk pengangkutan batu bara dan kebutuhan pokok dari pulau-pulau lain di Indonesia. Bandar Udara Cakrabuana merupakan bandar udara di Kota Cirebon saat ini hanya dijadikan sebagai bandara khusus militer.
            Di kota ini masih terdapat Becak khas Cirebon sebagai sarana transportasi rakyat sekaligus sarana untuk wisata keliling kota.
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan islam yang ternama di Jawa Barat. Kerajaan ini berkuasa pada abad ke 15 hingga abad ke 16 M. Letak kesultanan cirebon adalah di pantai utara pulau jawa. Lokasi perbatasan antara jawa tengah dan jawa barat membuat kesultanan Cirebon menjadi “jembatan” antara kebudayaan jawa dan Sunda. Sehingga, di Cirebon tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Pada awalnya, cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Demikian dikatakan oleh serat Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda. Lama-kelamaan cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang diberi nama caruban. Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Karena sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan nenangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya Alam dari pedalaman, cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara jawa. Dari pelaburan cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan berlangsung antar-kepulauan nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, tidak kalah dengan kota-kota pesisir lainnya Cirebon juga tumbuh menjadi pusat penyebaran islam di jawa barat.
Al kisah, hiduplah Ki gedeng Tapa, seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati. Ia mulai membuka hutan, membangun sebuah gubuk pada tanggal 1 Sura 1358 (tahun jawa), bertepatan dengan tahun 1445 M. Sejak saat itu, mulailah para pendatang menetap dan membentuk masyarakat baru di desa caruban. Kuwu atau kepala desa pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah raden Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, putri Ki Gedeng Tapa. Setelah ki gedeng alang-alang meninggal walangsungsang bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai Kuwu pengganti ki Gedeng Alang-alang dengan gelar pangeran Cakrabuana.
Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan islam.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 – 1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung Jati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan cirebon dan banten, serta menyebar islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati carbon meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat istana yang memegang kenali pemerintahan selama syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atauFadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan cirebon sejak tahun 1568.
Naiknya Fatihillah dapat terjadi karena dua kemungkinan pertama, para sultan Gunung Jati, yaitu Pangeran Pasarean, pangeran Jayakelana, dan pangeran Bratakelana, meninggal lebih dahulu, sedangkan putra yang masih hidup, yaitu sultan Hasanuddin (pangeran Sabakingkin), memerintah di Banten berdiri sendiri sejak tahun 1552 M. Kedua, Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung Jati (Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu, putri sunan Gunung Jati), dan telah menunjukkan kemampuannya dalam memerintah Cirebon (1546 – 1568) mewakili Sunan Gunug Jati. Sayang, hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
Sepeninggal Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan ratu I, dan memerintah cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, karena ayahnya yaitu panembahan Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu. Selanjutnya, pangeran karim dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau panembahan Girilaya.
Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan mataram. Banten curiga, sebab cirebot dianggap mendekat ke mataram. Di lain pihak, mataram pun menuduh cirebon tidak lagi sungguh-suingguh mendekatkan diri, karena panembahan Girilaya dan Sultan Ageng dari banten adalah sama-sama keturunan pajajaran.
Kondisi panas ini memuncak dengan meninggalnya panembahan Girilaya saat berkunjung ke Kartasura. Ia lalu dimakamkan di bukit Girilaya, Gogyakarta, dengan posisi sejajar dengan makam sultan Agung di Imogiri. Perlu diketahui, panembahan Girilaya adalah juga menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra panembahan Girilaya di tahan di mataram.
Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadi kekosongan penguasa. Sultan ageng tirtayasa segera dinobatkan pangeran Wangsakerta sebagai pengganti panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan ageng tirtayasa pun kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari mataram. Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra penembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa kembali ke Cirebon. Bersama satu lagi putra panembahan Girilaya, mereka kemudian dinobatkan sebagai penguasa kesultanan Cirebon.
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran murtawijaya, pangeran Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677, kesultanan cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya, yakni :
1. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703)
2. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
3. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713)
Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik menjadi sultan Cirebon di Ibukota banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun pangeran wangsakerta tidak diangkat sebagai Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.
Pergantian kepemimpinan para sultan di cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798 – 1803). Saat itu terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu pangeran raja kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama kesultanan Kacirebonan.
Kehendak raja kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun belanda mengajukan satu syarat, yaitu agar putra dan para pengganti raja Kanoman tidak berhak atas gelar sultan. Cukup dengan gelar pangeran saja. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan. Sementara tahta sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 – 1811).
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon






C.Perekonomian
Gedung Bank Indonesia, salah satu bangunan peninggalan Belanda di Cirebon
            Perekonomi Kota Cirebon dipengaruhi oleh letak geografis yang strategis dan karakteristik sumber daya alam sehingga struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdaganganhotel dan restoran, sektorpengangkutan dan komunikasi serta sektor jasaTomé Pires dalam Suma Orientalnyasekitar tahun 1513 menyebutkan Cirebon merupakan salah satu sentra perdagangan diPulau Jawa. Setelah Cirebon diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda, pada tahun 1859, pelabuhan Cirebon ditetapkan sebagai transit barang ekspor-impor dan pusat pengendalian politik untuk kawasan di pedalaman Jawa.
      Sampai tahun 2001 kontribusi perekonomian untuk Kota Cirebon adalah industri pengolahan (41,32%), kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (29,8%), sektor pengangkutan dan komunikasi (13,56%), sektor jasa-jasa (6,06%). Sedangkan sektor lainnya (9,26%) meliputi sektor pertambangan, pertanian, bangunan, listrik, dan gas rata-rata 2-3%.
D.Pariwisata
            Sebagai salah satu tujuan wisata di Jawa Barat, Kota Cirebon menawarkan banyak pesona mulai dari wisata sejarah tentang kejayaan kerajaan Islam, kisah para wali, Komplek Makam Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung sekitar 15 km ke arah barat pusat kota,Masjid Agung Sang Cipta RasaMasjid At Taqwakelenteng kuno, dan bangunan-bangunan peninggalan zaman Belanda. Kota ini juga menyediakan bermacam kuliner khas Cirebon, dan terdapat sentra kerajinan rotan serta batik.
Cirebon terdapat keraton sekaligus di dalam kota, yakni  Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Semuanya memiliki arsitekturgabungan dari elemen kebudayaan Islam, Cina, dan Belanda. Ciri khas bangunan keraton selalu menghadap ke utara dan ada sebuahmasjid didekatnya. Setiap keraton mempunyai alun-alun sebagai tempat berkumpul, pasar dan patung macan di taman atau halamandepan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya kerajaan Cirebon. Ciri lain adalah piring porselen asliTiongkok yang jadi penghias dinding. Beberapa piring konon diperoleh dari Eropa saat Cirebon jadi pelabuhan pusat perdagangan PulauJawa.
     
E. Masyarakat  Cirebon
            Udang sudah dikenal sebagai ikonnya Cirebon. Bahkan udang pun dijadikan logo Pemerintahan Kota Cirebon. Sedikitnya terpampang 6 buah udang besar berwarna emas di gedung depan Balaikota Cirebon. Keberadaan udang-udang tersebut bukanlah tanpa alasan. Menurut aktivis komunitas Pusaka Cirebon "Kendi Pertula" Mitra Budaya LVRI Kota Cirebon, Mustakim Asteja, mengisahkan jika sejak dahulu Cirebon memang sudah dikenal sebagai kota udang. "Di peraiaran Cirebon udang dengan mudah bisa ditemukan," katanya. Tinggal serok saja, udang pun bisa didapatkan. Ini dikarenakan Cirebon yang terletak di daerah pesisir memiliki perairan yang cukup bagus."Saat itu perairan Cirebon masih sangat alami. Belum terkontaminasi oleh limbah apa pun," katanya. Bahkan tidak hanya di laut, udang pun bisa ditemukan dengan mudah di sejumlah sungai yang melintasi Kota Cirebon. Seperti diketahui sedikitnya ada 6 sungai yang melintas di Kota Cirebon.
Bahkan sebelum berdirinya kesultanan Cirebon sudah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Pakungwati. Rajanya pun bergelar Pakungwati. Pakungwati berasal dari kata Pakung yang dalam bahasa Cirebon berarti udang.
Pengukuhan Cirebon sebagai Kota Udang kembali dilakukan di zaman penjajahan Belanda. Saat membangun gedung pemerintahan yang sebelumnya disebut dengan gedung kura-kura (karena bentuknya dari atas seperti kura-kura) di bagian depan,tepatnya di atas gedung pun turut dibuatkan patung udang yang menempel di atap gedung. "Ini menandakan Belanda saat itu sudah mengakui Cirebon sebagai kota penghasil udang," katanya.
Namun alam kemudian berubah. Yang semula ramah dengan menghadirkan udang dimana-mana kini perairan Cirebon minim dengan udang. "Mulai berubah sejak tahun 1980-an. Udang perlahan-lahan hilang dari perairan Cirebon," kata Mustakim. Penyebabnya karena limbah rumah tangga dan limbah pabrik yang dibuang ke sungai dan mengalir jauh ke laut. Sehingga udang pun enggan untuk berkembang biak dengan pesat di perairan Cirebon.
Kini pencemaran di perairan Cirebon pun semakin parah. Ini bisa dilihat dengan semakin merosotnya produktivitas budidaya udang di perairan Cirebon, khususnya di Kabupaten Cirebon. Penyebabnya karena pencemaran laut dan tingginya tingkat keasaman di tambak akibat tingginya penggunaan insektisida oleh petambak.
Seperti diungkapkan Ridwan, seorang petambak asal Desa Ambulu Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. "pada 1990 an Losari dikenal sebagai sentra budidaya udang di Kabupaten Cirebon," katanya. namun kini produksi udang terus merosot.
Di lahan tambak seluas 7 ribu hingga 10 ribu m2 biasanya petambak bisa menghasilkan udang hingga 4 ton. Namun saat ini mereka hanya mampu memproduksi udang maksimal 2 kwintal setiap kali panen. Karenanya, lanjut Ridwan, dibutuhkan terobosan agar Cirebon bisa dikenal lagi sebagai penghasil udang.

F. Kehidupan Desa Bungko
Ketika Prabu Brawijaya V memegang  tahta Kerajaan Majapahit telah dilanda kehancuran yang ditandai dengan Candra Sangkala sirna laut rata ning bumi sekitar tahun 1978 masehi atau 1.400 saka sejak itu para kesatria Majapahit banyak yang berkelana mencari kehidupan baru yang lebih aman yang antara lain Jaka Tarub Banjaran Sari atau nama lain dari Raden Jaka Taruna yang berasal dari Belambangan.
DI suatu daerah yang dianggapnya aman dan jauh dari Majapahit ia melakukan tapa brata yang berhari-hari di bawah pohon bakau. Ketika Jaka Taruna berbuka menikmati nasi tumpeng datanglah seekor bebek ikut menyocor nasi tumpeng yand ada di hadapannya. Tentu saja Jaka Taruna sangat marah yang merasa terganggu, bebek it uterus saja menyocor nasi tumpeng tanpa menghiraukan amarah Jaka Taruna. Oleh karena sangat jengkel, bebek itu ditangkapnya lalu dibantingnya hingga sekarat dan mati. Tak lama kemudian datanglah pemilik bebek yang menyatakan tidak setuju dan meminta bebek kesayangannya dihidupkan kembali. Jaka Taruna menjadi bingung, ia merasa menyesal dan bersalah, namun dirinya tak mungkin dapat memenuhi permintaan untuk menghidupkan bebek yang telah mati. Terjadilah adu mulut antara pemilik bebek dengan Jaka Taruna. Pemilik bebek bersikeras agar bebeknya dihidupkan kembali. Oleh karena merasa kewalahan dan tidak mampu memenuhi tuntutan pemilik bebek akhirnya Jaka Taruna berjanji bahwa siapapun orang yang bisa menghidupkan bebek maka Jaka Taruna akan berguru pada orang tersebut, denga sangat tenang pemilik bebek itu memegang bebek yang telah mati dan dalam sekejap bebek yang telah mati itu hidup kembali. Ternyata pemilik bebek itu adalah seorang waliyullah yang bernama Sunan Gunung Jati yang sedang menyamar. Selanjutnya Jaka Taruna kemudian diajak ke puser bum untuk mendapatkan pelajaran agama islam. Jaka Taruna diangkat menjadi pemimpin pasukan perang dengan sebutan Ki Syekh Benting. Keberanian Ki Syekh Benting diantaranya adalah mengalahkan pasukan Galuh dalam Talaga Gunung Gundul yaitu peperangan antara Cirebon dan Galuh, serta pengusiran portugis daru Sunda Kelapa oleh pasukan Gabungan Demak dan Cirebon oleh kerana Ki Syekh Benting banyak berjasa terhadap puser bumi, ia diberi kekuasaan di sebelah puser bumi yang diberi nama Bungko dari kata Bangka atau Bengkot yang artinya daerah pemukiman yang dianggap tua yang telah lama dihuni orang.
SEJARAH DESA BUNGKO CIREBON
Sejarah Dan Kebudayaan Desa Bungko Berawal Dari Syekh Benting Yang Di Tugaskan Keujung Utara Kota Cirebon Atau Perbatasan Cirebon Indramayu, Disebelah Timur Desa Kapetakan.
Syekh Benting Ini Ditugaskan Untuk Menjadikan Sebuah Wilayah Atau Suatu Perkampungan Yang Disebut Desa, Syekh Benting Ditugaskan Sama Sesepuh Mbah Kuwu Cirebon Yang Menyuruh Beliau Untuk Menduduki Wilayah Tersebut, Dulu Wilaya Ini Rawa-Rawa Dan Hutan Dari Situlah Syekh Benting Dijadikan Kuwu Pertama Di Desa Bungko, Bungko Itu Menurut Sejarah Atau Perkataan Nenek Moyang Kami Disebut Bongkot Yaitu Bongkotnya Wilayah Utara Cirebon Disitulah Syekh Benting Memulai Babad Alas Wilaya Bungko Yang Dahulu Konon Menurut Sejarah Yang Lain Membabad Alas Dengan Sebilah Pedang Atau Alat Lainnya.
Sedangkan Syekh Benting Itu Dengan Ajiannya Membabad Alas Dengan Cara Membakar Dan Mendapatkan Hasil Tanah Yang Luas Dari Ujung Krangkeng Sampai Desa Muara Menurut Sejarah Pertama Ada Kegiatan Pemerintah Desa Diawali Syekh Benting Dijadikan Ki Kuwu Jaka Yang Menjadi Perangkat Desanya Itu Adalah Ki Lebe Tawa (Yang Menjadi Lebe), Ki Lambang, Ki Makam Dawa, Dan Yang Menjadi Kiyai Atau Ulama Adalah Ki Tenun. Kemudian Ds. Bungko Di Mekarkan Menjadi Dua Yaitu Ds. Bungko, Dan Bungko Lor.
Sedang Kebudayaan Atau Adat Istiadat Yang Ada Di Desa Bungko Lor Tersebut Ialah Angklung, Sampyong, Dan Ciri Khas Pepohonan Yang Ada Di Desa Bungko Lor Yaitu Betah, Kapidada, (Yang Artinya Palang Dada Wong Cerbon), Waru, Kayu Jaran, Dan Yang Terakhir Duduk Yang Berarti Betah Menduduki Desa Bungko,
Demikian Sejarah Singkat Desa Bungko Dan Masih Banyak Lagi Yang Belum Kami Rangkum

Asal – usul Desa Bungko Cirebon

Ketika Prabu Brawijaya memegang tahta, Kerajaan Majapahit tengah dilanda kehancuran yang ditandai dengan candra sangkala “sirna larut rataning bumi” sekitar tahun 1478 M atau tahun 1400 saka. Hal itu terdapat kesesuaian dengan arti tahun 1400 apabila diartikan dari belakang, yakni sirna = 0 (nol), larut = 0 (nol), rataning = 4(empat), dan bumi = 1 (satu). Sejak itu para ksatria Majapahit banyak yang berkelana mencari kehidupan baru yang lebih aman, antara lain Jaka Tarub Banjaransari atau nama lain Raden Jaka Taruna yang berasal dari Blambangan. Di suatu daerah yang dianggapnya aman dan jauh dari Majapahit, ia melakukan tapabrata berhari-hari di bawah pohon bakau/api-api. Seusai melakukan tapabrata, ia hendak berbuka dengan memakan nasi tumpeng. Saat menikmati nasi tumpeng, datanglah seekor bebek ikut nyocor nasi tumpeng yang ada di hadapannya. Tentu saja Jaka Taruna sangat marah karena merasa terganggu, lagi pula nasi tumpengnya dimakan bebek. Sambil mengunyah nasi, ia marah-marah menghalau bebek, dengan suara “ho…ho…ho…”, karena perutnya penuh nasi. Bebek itu terus saja nyocor nasi tumpng tanpa menghiraukan amarah jaka Taruna. Oleh karena sangat jengkel, bebek itu ditangkapnya lalu dibanting “wee…k…”, hingga sekarat terus mati. Tak lama kemudian datanglah pemilik bebek menemui Jaka Taruna yang menyatakan ketidaksetujuannya dan meminta bebek kesayangannya dihidupkan kembali. Jaka Taruna menjadi bingung. Ia merasa bersalah, namun dirinya tak mungkin dapat memenuhi permintaan untuk menghidupkan bebek yang telah mati. Terjadilah adu mulut antara pemilik bebek dan Jaka Taruna. Pemilik bebek bersikeras agar bebeknya dihidupkan kembali. “Siapakah orangnya yang dapat menghidupkan binatang yang sudah mati?” Joko taruna bertanya dengan nada keras, akan tetapi pemilik bebek tetap saja menuntut agar bebeknya dihidupkan kembali. Oleh karena merasa kewalahan dan tidak mampu memenuhi tuntutan pemilik bebek, akhirnya joko Taruna berkata, ” Baiklah, siapa pun orangnya yang dapat menghidupkan bebek ini, maka aku akan berguru kepadanya”. Dengan sangat tenang pemilik bebek memegang bebek yang telah mati itu dan dalam sekejap bebek tersebut bersuara “wee…k…”. Bebek itu hidup kembali dan lari. Merasa dirinya terkalahkan, seketika itu juga tanpa diminta Joko Taruna bersumpah , “Sun ngawula ing Gusti ngantiya babar kiyamat”. Tak salah lagi bahwa pemilik bebek itu adalah seorang waliyullah yang bernama Sunan Gunung Jati yang sedang menyamar. Adapun bebek itu diciptakannya dari sehelai daun
serut. Selanjutnya joko Taruna diterima menjadi muridnya, kemudian diajak ke Puser Bumi untuk mendapatkan ajaran agama Islam. Jaka Taruna adalah pemuda yang cakap dan banyak memiliki ilmu kanuragan. Ia diangkat menjadi pemimpin pasukan perang dengan sebutan Ki Syeh Benting. Keberanian Ki Syeh Benting di antaranya ketika mengalahkan pasukan Galuh dalam “Talagan Gunung Gundul”, yaitu peperangan antara Cerbon dan Galuh, dan pengusiran portugis dari Sunda Kelapa oleh pasukan gabungan Demak dan Cerbon.
Oleh karena Ki Syeh Benting banyak berjasa terhadap Puser Bumi, ia diberi kekuasaan di sebelah utara Puser Bumi yang diberi nama Bungko. Asal kata “bungko” dari kata “bungka” atau “bengkot”. artinya daerah pemukiman yang dianggap tua dan telah lama dihuni orang. Sewaktu mendapat kekuasaan di Bungko, Ki Syeh Benting terkenal dengan nama Ki Ageng Payuman, dan setelah wafat ia dimakamkan di dekat kuburan Sunan Gunung Jati. Desa Bungko sekarang identik dengan sebuah kesenian yang bernama angklung bungko.
Nama-nama kepala Desa Bungko yang diketahgui antara lain  :
1.  ki Kuwu Jaka
2.  Resi
3.  bujana
4.  Kersa
5.  Redi
6.  kanpi
7.  Kaia
8.  Skim
9.  abam
10. Dani
11. Kadap/ki Ijem
12. Dania
13. Warsia
14. Darmo
15. Raki
16. kemed
17. H.kasih Hartono      : 1975 – 1984
18. Ono                  : 1984 – 1998
19. Ono                  : 1998 – sekarang
Pada tahun 1984 Desa Bungko dimekarkan menjadi dua desa, yaitu bungko Kidul dan Bungko lor.
Nama-nama Kepala Desa Bungko Lor :
1. H.Masykur (Pjs)        : 1984 – 1988
2. Sukardi                : 1988 – 1995
3. Budi (Pjs)             : 1995 – 1996
4. H.Kamsudi              : 1996 – 1998
5. Hadkiya                : 1998 – 1999
6. Rali                   : 1999 – sekarang.

G. Budaya Nadran di Wilayah Cirebon

Nadran adalah upacara adat para nelayan di pesisir pantai utara Jawa, seperti Subang, Indramayu dan Cirebon yang bertujuan untuk mensyukuri hasil tangkapan ikan, mengharap peningkatan hasil pada tahun mendatang dan berdo’a agar tidak mendapat aral melintang dalam mencari nafkah di laut. Inilah maksud utama dari Upacara Adat Nadran yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun. Selain upacara ritual adat, kesenian tradisional serta pasar malam pun diselenggarakan selama seminggu. Di Kabupaten Indramayu, umumnya Upacara Adat Nadran diselenggarakan antara bulan Oktober sampai Desember yang bertempat di Pantai Eretan Kulon, Eretan Wetan, Dadap, Limbangan dan Karangsong.
Sedangkan di Kabupaten Subang, di antaranya adalah di Pantai Blanakan. Nadran sebenarnya merupakan suatu tradisi hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara turun-temurun. Kata nadran sendiri, menurut sebagian masyarakat, berasal dari kata nazar yang mempunyai makna dalam agama Islam: pemenuhan janji. Adapun inti upacara nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan). Sesajen yang diberikan, disebut ancak, yang berupa anjungan berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, dan lain sebagainya. Sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring, barongsai, telik sandi, jangkungan, ataupun seni kontemporer (drumband). Nadran atau kadang disebut labuh saji dapat juga diartikan sebagai sebuah upacara pesta laut masyarakat nelayan sebagai perwujudan ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang diberikan-Nya lewat hasil laut yang selama ini didapat. Selain itu, dalam upacara nadran juga dilakukan permohonan agar diberi keselamatan dalam melaut, serta tangkapan hasil laut mereka berlimpah pada tahun mendatang.
1.                  Tradisi Nadran Pra Islam
Berdasarkan buku penelitian Dr. Heriyani Agustina, Kepel Press-2009diceritakan tentang buku “Negara Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu, memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu ( yang sekarang Kec. Talun, Kab. Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500 ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai yang dimaksud adalah sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara adalah perbatasan antara sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta.( Sumber Kartani dan Kaenudin)
Sebetulnya tradisi Nadran bukanlah tradisi asli daerah Cirebon apalagi masyarakat Desa Mertasinga, karena tradisi ini banyak juga ditemukan dibeberapa daerah lain dengan nama yang berbeda, seperti di Jawa Tengah dikenal dengan tradisi Labuhan, karena ada beberapa kepercayaan bahwa apabila mereka tidak melakukan sedekah ini, mereka berkeyakinan bahwa Dewa Baruna akan murka dan segera mengirim bencana melalui dewa petir, Dewa Halilintar dan Dewa Angin yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut. Akhirnya tidak dapat mencari ikan sebagai sumber kehidupan utama.
Penggunaan daging kerbau sebagai persembahan dan bukanya daging sapi, dikarenakan daging kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh. Selain itu juga sapi dianggap jelmaan dari dewa.
Selain melarung ritual lainnya adalah pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa atau kemenyan yang bertujuan memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Mantra juga berfungsi untuk memanggil arwah para leluhur yang telah ikut menjaga keselamatan mereka dalam mencari rejeki di laut. Kesan magis pada asap dupa dan kemenyan bertujuan untuk ketenangan sekaligus permohonan kehadirat Yang Maha Kuasa, agar permohonan mereka lebih cepat sampai ke hadapan Tuhan serta cepat dikabulkan segala permohonan atau permintaannya.
Dalam rangkaian tradisi Nadran juga di tampilkan hiburan Wayang yang merupakan kesenian dari Hinduisme dan animisme, yang dapat diperankan seperti tokoh Mahabarata dan Ramayana. Pertunjukan lain dari wayang yang sangat kental dengan Hinduisme dan animismenya adalah wayang dengan lakon Wudug Basuh, yang menceritkan tentang pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) oleh para Dewa, dengan cara mengaduk air laut menggunakan ekor naga Basuki. Tirta Amerta diperlukan untuk mengurapi para Dewa agar mereka terhindar dari kematian, tapi mereka tidak dapat terhindar dari sakit. Oleh karena itu, masing-masing-masing dewa diberi tempat dikayangan Suralaya. Namun demikian ada kelanjutannya, air laut yang diaduk oleh para dewa tersebut mengakibatkan mahluk laut terganggu, lalu bermuculan ke daratan sambil membawah wabah penyakit wudug, budug (bisul), penyakit-penyakit lainnya. untuk mengatasi wabah ini para Dewa meminta bantuan pada Sanghiyang Baruna untuk menentramkan mahluk laut supaya tidak mengganggu penghuni daratan. Sangyang Baruna melantunkan jampa mantra di baskom air kembang, lalu air kembang yang telah diberi mantra disiramkan pada layar perahu nelayan (Prawiraredja,2005:164).
Meskipun Nadran bernuansa magis dan animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah memiliki kesadaran mistik terhadap keberadaan penguasa alam semesta, disertai rasa terima kasih dan bermohon kepada Yang Maha Kuasa suapaya diberi kebaikan dan keselamatan.
2. Tradisi Nadran setelah kedatangan Islam
           Tradisi-tradisi Nadran setelah kedatangan Islam tidak lagi dimaknai sebagai sebuah persembahan kepada Sanghyang Jagat Batara (Penguasa Alam Semesta), akan tetapi lebih dimaknai sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan-Nya kepada para nelayan, baik itu karunia kesehatan, kekuatan maupun hasil tangkapan ikan yang berlimpah. Mantra-mantra yang dibacakan dalam prosesi Nadran diganti dengan pembacaan do’a-do’a yang dipimpin oleh seorang ulama. Lauk pauk hasil bumi yang diikutsertakan dalam upacara ini dibagi-bagikan kepada penduduk desa dangan simbolisasi pembagian berkah. (Dasuki,1979:1011).
            Pelarungan kepala kerbau ke laut tetap dilakukan, tapi tidak lagi dimaknai sebagai persembahan kepada Dewa Baruna pelarungan ini lebih bersimbol pada membuang kesialan, sekaligus untuk mengingat bahwa laut merupakan sumber kehidupan bagi para nelayan, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan.
Nuansa keislaman juga nampak dalam pementasan seni wayang dan tari. Wayang yang dipertunjukan adalah wayang Golek Cepak dan wayang kulit Dakwah (sebelumnya wayang dibuat dari gulungan kain yang bergambar lalu diubah menjadi wayang kulit yang berasal dari kulit kerbau atau lembu ) yang merupakan asli Cirebon yang alur ceritanya diambil dari Babad Cirebon, Babad Walisanga dan Babad Ambiya, yang menggambarkan sejarah Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan para Wali, beserta cerita perjuangan Rasullah SAW dan sahabat-sahabatnya dalam menegakkan syariat Islam.
Pagelaran wayang semalam suntuk dalam tradisi Nadran bukan hanya untuk bergadang, akan tetapi masyarakat mendapatkan penyuluhan dan pembekalan rohani. Pagelaran ini diistilahkan dengan tabarukan, yaitu mencari keberkahan atas syukur yang mendalam, dengan membuang kebiasaan-kebiasaan buruk dan menggantinya dengan nilai-nilai positif (Dahuri,2004:218)
3.             Tradisi Nadran Dewasa ini 
            Proses pelaksanaan tradisi Nadran di kali Bondet berdasarkan cerita masyarakat setempat dari dulu hingga sekarang adalah sama dan hampir tidak ada perubahan berarti kalaupun ada hanya proses kelengkapan hiburan yang kadang disesuaikan dengan tingkat kemampuan para nelayan atau tengkulak, dan berdasarkan fakta dilapangan disetiap tahunnya hampir hampir seluruh warga masyarakat khusunya yang berdekatan dengan kali Bondet turut memeriahkan tradisi ini dengan mengelar berbagai hiburan tambahan selain hiburan utama, bahkan para pedagang pun tak ketinggalan dari pintu masuk jalan raya sampai ke pusat kegiatan (biasanya di TPI KUD Mina Waluya Desa Bondet) disesaki berbagai macam para pedagang dan hiburan tambahan lainnya seperti permainan modern.
            Menurut Dr. Heriyani Agustina, bahwa dalam kontek kekinian, Nadran terkadang lebih terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, dan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Ia sering kehilangan ruhnya, ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang telah mulai meninggalkan pesan-pesan moral para pendahulunya, terutama tokoh-tokoh Islam dan para pendiri Cirebon yang tersirat melalui simbol-simbol tradisi. Bahkan ketika menampilkan lakon para sufi atau para wali dalam pagelaran wayang sebagai media pengajaran masyarakat supaya hidup sederhana dan selalu memperhatikan kaum yang lemah.. sebaliknya justru Nadran malah dijadikan sarana untuk berfoya-foya dengan tidak menghiraukan pendekatan kaum yang lemah. Bahkan sekarang ada kecenderungan bahwa pesta tradisi Nadran lebih banyak dalam bentuk campur sari dan dangdutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan.
              Kalau dicermati secara rinci dari sisi ekonomi, bahwa tradisi Nadran yang dilaksanakan oleh masyarakat Nalayan kali Bondet, sebenarnya sangat menguntungkan bagi masyarakat maupun daerah, hal ini dikarenakan kegiatan nadran ini sangat menarik para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Bahkan lewat tradisi ini kadang masyarakat Desa Mertasinga juga diuntungkan dari para wisatawan yang kadang juga turut bertransaksi ekonomi lainnya disamping menikmati hiburan-hiburan yang sedang ditampilkan








BAB III
KESIMPULAN

Nama Cirebon berasal dari kata Caruban, dalam Bahasa sunda yang berarti campuran (karena budaya Cirebon merupakan campuran dari budaya SundaJawaTionghoa, dan unsur-unsur budaya Arab) atau bisa juga berasal dari kata Ci yang artinya air atau sungai dan Rebon yang artinya udang dalam Bahasa Sunda (karena udang merupakan salah satu hasil perikanan Kota Cirebon). B.Penduduk
            Menurut hasil Suseda Jawa Barat Tahun 2010 jumlah penduduk Kota Cirebon telah mencapai jumlah 298 ribu jiwa. Dengan komposisi penduduk laki-laki sekitar 145 ribu jiwa dan perempuan sekitar 153 ribu jiwa, dan ratio jenis kelamin sekitar 94,85
            Penduduk Kota Cirebon tersebar di lima kecamatan, kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Pekalipan sebesar 21,5 ribu jiwa/km², terpadat kedua adalah Kecamatan Kejaksan 11,8 ribu jiwa/km², kemudian Kecamatan Kesambi8,8 ribu jiwa/km², Kecamatan Lemahwungkuk 8,45 ribu jiwa/km², dan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Harjamukti hampir 5,48 ribu jiwa/km².




















Daftar Pustaka

1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    BalasHapus