expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Selasa, 18 Maret 2014

sejarah perikanan dan kelautan di Aceh

TUGAS SOSIOLOGI PERIKANAN
SEJARAH PERIKANAN DAN KELAUTAN DI NANGROE ACEH DARUSALAM

 








KELOMPOK 1
-         Nurma Wijayanti (230110130014)
-         Dini Maliha (230110130036)
-         Debora Romaito H (230110130033)
-         Hana Junita S   (230110130057)
-         Annisa Nur Fadhilah (230110130031)



Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Padjadjaran
2014

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah Perikanan dan Kelautan di Provinsi Aceh” yang merupakan bagian dari mata kuliah Sosiologi Perikanan.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungannya dalam pembuatan dan penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunannya, penulis menyadari akan segala kekurangan yang ada sehubungan dengan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh kami maka kami mengucapkan maaf apabila terdapat kesalahan baik dalam  penulisan maupun penyajian makalah ini. Dengan tangan terbuka kami akan menerima segala saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.



Jatinangor, Maret  2014


     Penulis





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I............................................................................................................ 1
PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Tujuan...................................................................................................... 2
1.3 Manfaat.................................................................................................... 2
BAB II........................................................................................................... 3
PEMBAHASAN........................................................................................... 3
2.1 Kondisi umum (Geografis)...................................................................... 3
2.2 Potensi yang ada di Aceh........................................................................ 4
2.3 Tantangan Yang Dihadapi....................................................................... 6         
2.4 Keunggulan & Kekuatan......................................................................... 8
2.5 Potensi Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD...................................... 13
2.6 Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh............................................... 16
2.7 Perikanan Budidaya................................................................................. 17
BAB III......................................................................................................... 19
ANALISA DATA......................................................................................... 19
BAB IV......................................................................................................... 22
Kesimpulan dan Saran................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang

Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi kekayaan alam yang cukup besar terutama di sektor perikanan. Sektor perikanan telah menjadi salah satu sektor andalan Provinsi Aceh, lebih kurang 55% penduduk Aceh bergantung kepada sektor ini baik secara langsung maupun tidak langsung (Yusuf, 2003). Oleh karena itu pengembangan sektor perikanan harus menjadi salah satu prioritas pembangunan di Provinsi Aceh sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi secara umum di kawasan ini.      Namun sayangnya kondisi perekonomian sebagai besar nelayan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya masih sangat memprihatinkan (Muchlisin et al., 2012). Sebagian masyarakat Aceh hingga kini masih menjadikan kawasan pantai bukan hanya tempat tinggal, melainkan juga sumber kehidupan ekonominya. Setelah sembilan tahun tsunami berlalu, rumah-rumah dan tempat usaha di pesisir pantai Aceh tumbuh dan perekonomian masyarakat pun menggeliat.
      Di Kota Banda Aceh, misalnya di kawasan Lampulo dan Ulee Lheue yang merupakan wilayah terparah kehancuran akibat bencana tsunami sembilan tahun lalu kini sudah tumbuh menjadi pemukiman padat, aktivitas ekonomi masyarakat pun tergolong tinggi. 
Tingginya aktivitas ekonomi di wilayah pesisir membuat pemerintah optimistis pertumbuhan investasi masa depan Aceh lebih baik dan maju yang akan dimulai dari wilayah pesisir dengan andalannya di sektor perikanan.
Optimistisme itu bukan tidak beralasan sebab potensi bidang kelautan dan perikanan di perairan Aceh masih cukup besar karena selama ini yang tergarap sangat sedikit akibat sumberdaya nelayan dan alat tangkap yang terbatas. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan mengenai sejarah perikanan dan kelautan yang ada di Provinsi Aceh.
1.2  Tujuan
-          Untuk mengetahui kondisi NAD dalam bidang perikanan dan kelautan
-          Untuk mengetahui potensi perikanan dann kelautan di NAD
-          Untuk mengetahui masalah yang ada di NAD dalam bidang perikanan dan kelautan
-          Untuk mengetahui peluang usaha yang ada di NAD  dalam sektor perikanan dan kelautan
1.3 Manfaat
Mahasiswa dapat mengetahui tentang sejarah perikanan dan kelautan yang ada di Nangroe Aceh Darusalam.


















BAB II
PEMBAHASAN
 2.1      Kondisi umum (Geografis)
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang terletak di ujung barat Indonesia, secara geografis di kelilingi oleh laut yaitu Selat Malaka, Samudera Hindia dan pantai utaranya berbatasan dengan Selat Benggala. Wilayah pesisirnya memiliki panjang garis pantai 1.660 km dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km² terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km².Wilayah pantai dan lautnya secara umum di pengaruhi oleh persimpangan arus dan gerakan Samudera Hindia, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang berinteraksi dengan daratan pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kepulauan Andaman dan Nicobar, sehingga menampakkan ekosistem laut di sepanjang pesisir Aceh sangat sesuai bagi kehidupan,biota laut. Kondisi yang demikian sangat strategis untuk usaha perikanan, khususnya penangkapan ikan di laut dan budidaya tambak. Wilayah pertambakan di sepanjang pesisir Aceh ini sangat didukung oleh luasnya sebaran hutan bakau (mangrove) yang mempunyai fungsi pencegahan abrasi pantai, melindungi habitat biota laut dan pencegahan pencemaran serta memiliki fungsi produksi akuatik yaitu perikanan, tambak dan lain-lain.Di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat gugusan pulau-pulau besar dan kecil sebanyak 119 buah serta 73 buah sungai penting yang mengalir hingga ke muara.Kondisi wilayah tersebut di atas menjadikan Provinsi Aceh sebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi besar di sekitar kelautan dan perikanan. Dengan sentuhan teknologi yang lebih modern dan tepat guna menggantikan teknologi sederhana/tradisional yang masih ada, maka sektor ini mempunyai peluang besar dan dapat menjadi sektor dominan dan andalan untuk mengangkat serta meningkatkan pendapatan (income generating) dan kesejahteraan masyarakat Aceh di masa depan.

2.2 Potensi yang ada di Aceh                                                                                                       
Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan terdiri dari:
-          Perikanan tangkap yaitu penangkapan ikan di laut dan di perairan umum           seperti sungai, danau, waduk, rawa-rawa dan genangan air lainnya.
-          Perikanan budidaya seperti: budidaya ikan air payau di tambak, budidaya ikan air tawar di kolam budidaya ikan di sawah (mina padi) dan budidaya ikan dengan sistim keramba jaring apung baik di laut maupun di perairan tawar.
-          Budidaya perairan laut lainnya seperti ;rumput laut
Potensi sumberdaya ikan (stock assesment) di laut untuk perairan teritorial dan perairan kepulauan sebesar 220.090 ton dan di ZEE sebesar 203.320 ton atau total sebesar + 423.410 ton.Potensi lestari atau Maksimum Sustainable Yield (MSY) laut wilayah sebesar 110.045 ton dan ZEE dengan Total Allowable Catch (TAC) sebesar 80 persen atau + 162.656 ton. Berarti total potensi lestari seluruhnya 272.707 ton dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai 141.619,6 ton (51,93%) tahun 2009 dengan kata lain masih terdapat peluang pengembangan sebesar 48,07 persen.Untuk budidaya air payau (tambak) memiliki potensi luas tambak ±44.883 ha (2007) dengan total produksi 22.95.5,97 ton dengan jumlah petani tambak sebanyak 25.837 orang, berarti produktivitas rata-rata per ha/tahun baru mencapai 511,46 kg/ha/tahun dan produktivitas petani sebesar 888,49 kg/tahun. Jika produktivitas tambak dapat ditingkatkan menjadi 1000-1500 kg/ha/tahun berarti untuk jangka menengah ke depan peluang pengembangan produktivitas mencapai 66 persen. Sementara dukungan lahan untuk pengembangan (ekstensifikasi) terdapat potensi seluas 40.500 ha di seluruh Aceh.Potensi perairan tawar baik kolam, sawah dan perairan umum juga hampir tersebar di seluruh Aceh, terutama di pedalaman untuk jenis komoditi ikan mas, gurame, nila,tawes, lele, betutu dan lain-lain.Potensi lain yang sangat penting dan peluang ekonomi serta pasarnya cukup menjanjikan adalah budidaya laut untuk jenis komoditi rumput laut, kerapu, kakap, lobster, rumput laut dan kerang mutiara dengan potensi sebaran luas ±12.014 ha seperti di Sabang, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeulue dan Pulau Banyak (Aceh singkil).Pengembangan perikanan karang ini juga didukung oleh sebaran luas terumbu kerang di Nanggroe Aceh Darussalam seluas ±274.841 ha tersebar mulai dari Sabang, Aceh Besar dan Pantai Barat Selatan Aceh.
Potensi Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan
·         Rumah Tangga Perikanan Budidaya : 37.157 RTP,terdiri :
1.      Tambak     : 22.142 RTP
2.      Kolam        :   7.946 RTP
3.      Keramba    :      215 RTP
4.      Sawah        :   6.854 RTP
·         Rumah Tangga Perikanan Tangkap
-          17.742 RTP (2007)
-          Jumlah Nelayan 64.248 orang (14.3%) dari jumlah penduduk Aceh
  • Perairan Umum
- 2.224 RTP (2009)
Potensi Armada Nelayan
Jumlah armada perikanan tangkap 15.703 unit (2005) terdiri dari :
-          Perahu Tanpa Motor (PTM)           : 6.567 unit
-          Motor Tempel (MT)                       : 3.166 unit
-          Kapal Motor (KM)                         : 5.970 unit


2.3 Tantangan Yang Dihadapi
Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia pada umumnya dan di Aceh pada khususnya menghadapi berbagai permasalahan yang sangat komplek. Apalagi dengan terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang lalu yang telah merusak lebih dari 800 km garis pantai permasalahan sektor ini menjadi bertambah komplek dan diperberat lagi oleh akibat dari kenaikan harga BBM (khususnya solar) serta ikutannya yaitu kenaikan harga sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat yang meyebabkan inflasi. Kenaikan harga BBM khususnya solar telah mengakibatkan kenaikan ongkos produksi penangkapan ikan sebesar 60 persen, sehingga nelayan banyak mengalami kerugian karena nilai hasil tangkapan tidak sebanding dengan besarnya biaya produksi. Akibatnya banyak kapal penangkapan ikan yang grounded, nelayan menjadi menganggur atau mencari kerja lain diluar profesi utamanya. Untuk mengatasi hal tersebut sudah waktunya pemerintah menempuh kebijakan untuk memperhatikan dan membantu nelayan kecil, misalnya:
  1. Untuk BBM khususnya solar, pemerintah harus memberikan subsidi langsung berbentuk harga khusus untuk nelayan yang penyalurannya melalui depot-depot khusus BBM di sentra produksi perikanan/PPI dan TPI melalui SPDN Koperasi Perikanan setempat.
  2. Khusus sembako, misalnya beras yang disalurkan oleh DOLOG setempat juga diberikan kepada nelayan secara teratur.
  3. Kebutuhan modal kerja bagi nelayan kecil/tradisional hendaknya diprogramkan paket kredit lunak tanpa agsuran dengan menghadapi pola dan sistem kredit KUT
  4. Pengembangan pemberdayaan ekonomi nelayan kecil tradisional agar mengikuti sertakan Lembaga Keuangan nelayan yang atau koperasi-koperasi perikanan setempat.
  5. Mencari bapak angkat bagi nelayan dengan model pengembangan usaha pola kemitraan terpadu yaitu antara pemerintah,lembaga keuangan bank,perusahaan inti,nelayan kecil dan melibatkan tenaga pendamping usaha /PPL atau Konsultan Keuangan Pendamping UMKM Mitra Bank (KKMB) sektor kelautan dan perikanan.
Selanjutnya permasalahan lain yang dihadapi adalah :
  1. Prasarana dan sarana perikanan tangkap dan budidaya mengalami kehancuran akibat gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember 2004 dan gempa bumi tanggal 28 Maret 2005 seperti : Pelabuhan Perikanan, PPI, TPI, cold storage, pabrik es, saluran tambak, tambak rakyat, BBU, BBI/BBIP, Depot BBM, Pasar ikan, galangan kapal rakyat, kapal/alat tangkap, pemukiman nelayan dan lain-lain meskipun saat ini banyak infrastuktur perikanan juga yang telah berhasil dibangun kembali namun masih dirasakan kurang optimal.
  2. Sebagian nelayan dan pembudidaya ikan masih tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang belum begitu kondusif untuk suatu kemajuan.
  3. Struktur armada dan usaha budidaya masih didominasi oleh skala kecil/tradisional dengan kemampuan IPTEK yang rendah
  4. Masih banyaknya praktek illegal fishing, unregulated dan unreported fishing karena penegakan hukum yang lemah
  5. Terjadinya kerusakan ekosistem perairan akibat pencemaran air dan perusakan laut oleh alam maupun kegiatan usaha yang tidak ramah lingkungan.
  6. Penanganan hasil (Pasca Panen dan Produk Olahan) masih rendah
  7. Penguasaan informasi pesaing segmen pasar dan selera konsumen masih rendah
  8. Market margin produk perikanan masih tinggi karena saluran distribusi (Pedagang perantara) yang panjang
  9. Tingginya harga faktor produksi seperti : alat tangkap, bahan bakar, mesin, pakan ikan dan lain-lain karena produsen memperolehnya melalui pedagang perantara
  10. Pengaruh globalisasi telah menimbulkan dampak baik menyangkut dengan tarrif barrier maupun non tarrif barrier (political barrier, technical barrier dan eko labeling)
  11. Belum adanya tata ruang kelautan dan perikanan menimbulkan konflik kepentingan antar sektor, tumpang tindih lokasi usaha.Usaha perikanan sering dikorbankan untuk kepentingan industri, pariwisata, permukiman dan pertambangan.
  12. Keberpihakan pembangunan terhadap usaha nelayan/pembudidaya ikan skala kecil dan kelembagaan ekonomi perikanan (koperasi/UKM) masih rendah
2.4    Keunggulan & Kekuatan
  1. Pemerintah Aceh menetapkan dan sedang membangun pusat kawasan industry perikanan tangkap (PP Lampulo,Idi,Labuhan Haji) dan telah disusun rencana induk pengembangan ketiga lokasi tersebut.
  2. Pemerintah Aceh telah menetapkan rencana induk pengembangan perikanan budidaya (air tawar,air payau dan laut).
  3. Pemerintah Aceh telah memiliki kewenangan menerbitkan izin kapal penangkapan dan pengangkutan ikan untuk segala jenis dan ukuran kapal.
  4. Pemerintah Aceh telah mendapatkan space cargo seluruh penerbangan di Aceh untuk keperluan transportasi dan distribusi komoditi/produk perikanan yang memerlukan pengangkutan udara.
  5. Pemerintah Aceh telah memiliki laboratorium pengujian mutu hasil perikanan untuk eksport.
  6. SDM terampil tersedia dari berbagai lulusan pendidikan menengah,perguruan tinggi,formal dan non formal bidang perikanan.
  7. Pelayanan perijinan telah menerapkan sistim satu atap.
  8. Pemerintah Aceh telah menetapkan dan mensahkan Qanun Perikanan (setingkat PP) yang mengacu kepada UUPA dan perundangan lainnya yang berlaku.
  9. Masyarakat Aceh sangat terbuka dan ramah terhadap para pendatang dan investor.
Isu subsidi perikanan Hasil penelitian mencatat bahwa hampir 80% nelayan responden pernah mendapatkan bantuan dari berbagai sumber baik dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Jenis bantuan yang umum diterima adalah dalam bentuk barang (in kinds) antara lain kapal, alat tangkap dan mesin kapal, sebagian kecil ada juga yang menerima dalam bentuk uang tunai. Secara umum jenis barang bantuan boat dan alat tangkap diberikan secara berimbang, namun di Kecamatan Leupung sebagian besar diberikan dalam bentuk kapal/boat, dan sebalik di Kecamatan Baitussalam jenis bantuan yang diberikan umumnya berupa alat tangkap .
Nelayan Aceh Besar mengaku bahwa lembaga yang paling banyak atau sering memberikan bantuan adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Besar dan lembaga swadaya masyarakat/NGO. Namun di Kecamatan Seulimeun dan Peukanbada bantuan lebih dominan datang dari NGO, sedangkan di Kecamatan Lhoknga berimbang antara pemerintah dan NGO. Menurut data BPS, Provinsi Aceh adalah salah satu provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin tertinggi di Sumatra, yaitu mencapai 19.57% (BPS, 2012). The World Bank (2008) melaporkan bahwa dari 975,374 kepala keluarga di Aceh atau setara dengan 4,16 juta jiwa, lebih kurang 510,633 kepala keluarga (52.35) tergolong keluarga miskin.
      Secara umum lebih dari 50% responden mengaku jenis bantuan yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai nelayan, namun demikian di beberapa nelayan di Kecamatan Seulimeun mengaku belum puas dengan bantuan yang diberikan, dengan alasan boat bantuan yang diberikan berkualitas rendah dan jika dalam bentuk uang, jumlahnya tidak mencukupi untuk modal kerja. Lebih kurang 60% responden mengaku barang bantuan yang pernah diterima masih ada dan masih digunakan dengan baik, namun demikian lebih dari 20% diantaranya mengaku barang bantuan yang diterima sudah tidak ada lagi, dan umumnya mereka tidak memberikan alasan kenapa barang tersebut tidak ada lagi, namun sebagian kecil dari padanya menjawab bahwa barang tersebut rusak dan dijual. Sebagian besar nelayan di Aceh Besar masih mengharapkan agar kebijakan subsidi perikanan tetap dilanjutkan dan mereka pada umumnya mengharapkan bantuan berupa kapal dan alat tangkap. Umumnya responden berpendapat bahwa bantuan yang disalurkan sebaiknya dilakukan secara perorangan (individual), namun demikian nelayan di Baitussalam berpendapat penyaluran sebaiknya dilakukan secara berkelompok. Terdapat tiga kendala utama nelayan dalam menjalankan usahanya, yaitu cuaca yang tidak menentu dan sulit diprediksi, kerusakan kapal dan alat tangkap serta mahalnya harga BBM.
Saat ini sebagian besar nelayan Aceh Besar belum dapat membeli BBM (solar) pada harga resmi pemerintah, umumnya mereka membeli BBM pada pengencer (pihak ketiga) dengan harga berkisar Rp5.000 s/d Rp6.000 per liter (Muchlisin et al., 2012a). Lebih kurang 60-75% responden mengaku tidak pernah mengikuti pelatihan apapun baik yang diadakan oleh pemerintah maupun swasta/NGO, dan bagi mereka yang pernah mengikuti pelatihan, jenis pelatihan yang paling banyak diikuiti (60%) adalah teknik penangkapan ikan secara modern, umumnya pelatihan tersebut (>40%) dilakukan oleh NGO, hanya kurang dari 10% yang dilakukan oleh pemerintah, dan sayangnya hanya sebagian kecil dari mereka mengaku pelatihan tersebut bermanfaat, dengan alasan tidak sesuai dengan kebiasaan dan penggunaan alat tangkap pada nelayan setempat, seperti pelatihan yang diberikan menggunakan alat tangkap modern seperti fish finder, sedangkan nelayan di daerah yang disurvei masih menggunakan alat tangkap yang tradisional, sehingga pelatihan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan, hanya sebagian kecil saja manfaat yang diperoleh dari pelatihan yang diberikan. Dimasa depan nelayan Aceh Besar mengharapkan beberapa jenis pelatihan, yaitu pelatihan teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan, pelatihan konservasi, pengelolaan koperasi, merajut jaring, budidaya perikanan, pengolahan ikan dan jenis-jenis ketrampilan lainnya untuk mendukung wirausaha.
Nelayan Aceh Besar mendukung dan masih mengharapkan subsidi perikanan yang dilakukan oleh pemerintah, namun sayangnya para nelayan umumnya masih mengharapkan bantuan yang diberikan berupa kapal dan alat tangkap. Jika dipandang perlu mengalokasikan anggaran untuk pengadaan kapal dan alat tangkap, sebaiknya perlu dijalankan secara hati-hati dan terbatas dengan mempertimbangkan kondisi stok sumberdaya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 571 (Selat Malaka) dan WPP 572 (Samudera Hindia) serta dilakukan secara terencana dan dibina pengoperasian dan pengelolaannya dengan baik atau dengan kata lain adanya upaya peningkatan kapasitas nelayan, agar sejalan dengan prinsip-prinsip perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan (Muchlisin et al., 2012b).
 


























Nelayan menilai pemerintah belum serius membantu nelayan mengatasi masalah-masalah tersebut, seperti perbaikan kondisi ekosistem. Menurut pejabat di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Besar bahwa pemerintah telah melakukan beberapa program konservasi sumberdaya perikanan dan mensosialisasikannya melalui lembaga adat Penglima Laot, namun sayangnya sebagian besar dari nelayan belum mengetahui adanya kebijakan Pemkab Aceh Besar tentang rencana penetapan kawasan konservasi di Aceh Besar, namun demikian sebagian besar nelayan menilai kawasan konservasi diperlukan. Dari hasil wawancara ini terlihat bahwa masih ada sebagian nelayan yang belum memahami akan peran penting kawasan konservasi bagi keberlanjutan usaha penangkapan mereka, oleh karena ini menjadi tantangan bagi pemerintah setempat dan kalangan pengiat lingkungan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat melalui seminar dan penyuluhan. Berdasarkan SK Bupati Aceh Besar No. 190 tahun 2011 telah ditetapkan 16 kawasan konservasi di Aceh Besar, diharapkan dengan adanya kawasan konservasi ini dapat menjadi pemicu lahirnya inisiatif pendapatan alternatif masyarakat di lokasi KKPD tersebut, seperti ekowisata, produk pasca tangkap/panen.
Hampir semua nelayan di Kabupaten Aceh Besar mengaku tidak pernah menggunakan alat tangkap yang merusak, misalnya pukat harimau, racun dan bom ikan, namun ada 10% nelayan di Kecamatan Peukanbada pernah melakukannya beberapa tahun lalu, namun hal tersebut tidak pernah dilakukan lagi karena mereka sudah sadar akibat buruk yang ditimbulkan oleh aktifitas tersebut. Namun demikian, disinyalir kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan racun (potassium) masih marak di perairan Aceh Besar, biasanya dilakukan pada malam hari dengan peralatan selam untuk menangkap ikan-ikan karang jenis tertentu. Menurut hasil survei dijumpai pengelolaan sampah dan oli bekas sudah cukup baik, dimana sebagian besar nelayan sudah menampung oli bekas kapal dan bahkan beberapa diantaranya menggunakan ulang untuk keperluan lain, demikian pula halnya dengan sampah sudah ditampung disuatu tempat untuk seterusnya dibakar. Namun sayangnya hampir sebagian besar nelayan responden mengaku belum pernah terlibat dalam kegiatan konservasi baik pelatihan maupun terlibat secara aktif di lapangan, namun demikian ada lebih kurang 20% nelayan responden di Kecamatan Baitussalam, Lhoknga dan Mesjid Raya pernah terlibat dalam beberapa pelatihan konservasi yang dilakukan oleh pihak universitas, NGO atau pemerintah.
2. 5 Potensi Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD
Penduduk Aceh sebagian besar bermukim di kawasan pesisir. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada tahun 2005 mencatat jumlah penduduk yang tinggal di wilayah pesisir mencapai 50% dari total jumlah penduduk Aceh. Jumlah tersebut tersebar di 115 kecamatan yang berbatasan langsung dengan pantai. Secara umum jumlah wanita di Aceh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pria. Usia produktif antara 15-64 tahun mendominasi penduduk Aceh yang terdiri dari berbagai macam suku baik asli maupun pendatang. Suku asli masyarakat Aceh terdiri dari suku Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulue, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan suku tersebut mempunyai sejarah, budaya, dan bahasa yang sangat berbeda satu sama lain.
            Ekosistem pesisir menjadi penyedia jasa dan produk lingkungan bagi masyarakat pesisir. Saat ini jumlah nelayan di Aceh tercatat sebanyak 61.768 orang yang sebagian besar merupakan nelayan penuh. Nelayan tradisional Aceh lebih banyak melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan terumbu karang yang dekat dengan pantai. Alat tangkap yang digunakan antara lain pancing, trammel net, liftnet, dan fish gun. Armada penangkapan yang digunakan oleh nelayan Aceh pada umumnya memiliki ukuran lebih kecil dari 30 GT dan beroperasi hanya di perairan teritorial dan sekitar pulau-pulau di Aceh.
Wilayah pesisir di Provinsi NAD mempunyai panjang garis pantai 1.660 km, dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km² terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km². Akibat tsunami pada 26 Desember 2004, dari 1660 km panjang garis pantai, 800 km rusak terkena gelombang tsunami. Serapan tenaga kerja menyerap 58.309 Rumah Tangga Perikanan (RTP) atau menghidupkan sekitar 291.545 jiwa. Daya serap tenaga kerja sektor kelautan perikanan menunjukkan tingkat daya serap yang tinggi. Perikanan Tangkap Berdasarkan data dari Dinas Perikanan Provinsi NAD, potensi perairan teritorial dan perairan kepulauan sebesar 220.090 ton dan ZEE sebesar 203.320 ton atau total sebesar + 423.410 ton. Potensi lestari atau maksimum sustainable yield (MSY) laut wilayah sebesar 110.045 ton dan ZEE dengan Total Allowable Catch (TAC) sebesar 80 persen atau + 162.656 ton. Berarti total potensi lestari seluruhnya 272.707 ton. Tingkat pemanfaatan baru mencapai 37,60 % atau 102.555 ton (thn 2004) sehingga terdapat peluang pengembangan sebesar 62,40 %. Akibat tsunami pada bulan Desember 2004 yang menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir, laut dan pulau serta kerusakan pada fasilitas perikanan dan banyaknya nelayan yang hilang, tahun 2005 tingkat pemanfaatan potensi lestari menurun menjadi 80.230,2 ton atau hanya 29,4%. Sumberdaya ikan di perairan laut berdasarkan pengelompokan biota dibagi dalam 4 (empat) kelompok besar yaitu :
1.      Jenis-jenis ikan pelagis besar: Tongkol, Cakalang, Tuna,Cucut
2.      Jenis-jenis ikan pelagis kecil: Kembung, Selar, Teri, Layar, Tembang, Lemuru
3.      Jenis-jenis ikan demersal: Tenggiri, Kerapu, Kakap, Kuwe, Ekor kuning
4.      Sumberdaya Non Ikan: Udang Windu, Udang Putih, Udang Barong/Lobster, Cumi-cumi.
Sebelum bencana tsunami 26 Desember2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan. Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain. Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.
2.6  Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh
            Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.
Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/ad/PLTD_Apong_Ie_Beuna.JPG/250px-PLTD_Apong_Ie_Beuna.JPG
Kapal PLTD Apung yang dibawa oleh tsunami sampai ke darat
Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.
 2.7 Perikanan Budidaya
Kegiatan budidaya ikan yang berpotensi di Provinsi NAD dapat dibedakan atas 3 (tiga) jenis kegiatan, yaitu perikanan budidaya air tawar, payau dan laut. Lokasi kegiatan budidaya air tawar dilaksanakan pada daerah-daerah dimana sumber air tawar tersedia dengan baik seperti halnya di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Luwes, Bener Meriah dan Nagan Raya yang diusahakan pada kolam-kolam, karamba dan persawahan dengan potensi luasan areal budidaya diperkirakan 10.158 Ha. Budidaya air payau (tambak) memiliki potensi luas tambak sebelum tsunami + 44.883 ha (2003) dengan total produksi 22.955,97 ton dan jumlah petani tambak sebanyak 25.837 orang, berarti produktivitas rata-rata per ha/tahun baru mencapai 511,46 kg/ha/tahun dan produktivitas pembudidaya sebesar 888,49 kg/tahun, sementara luas areal tambak yang mengalami kerusakan diperkirakan seluas 20.000 Ha.
Disamping itu masih tersedia dukungan lahan untuk pengembangan (ekstensifikasi) tambak seluas 40.500 Ha di seluruh Aceh (data di ambil dari RPJM Propinsi NAD 2004 – 2009). Area pertambakan didukung oleh luasnya sebaran hutan bakau (mangrove) yang mempunyai fungsi pencegahan abrasi pantai, melindungi habitat biota laut dan pencegahan pencemaran serta memiliki fungsi produksi akuatik. Potensi perikanan lainnya adalah budidaya laut untuk jenis komoditi rumput laut, kerapu, kakap, dan lobster dengan potensi sebaran luas +12.014 ha tersebar mulai di Sabang, Aceh besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeulue dan Pulau Banyak (Aceh Singkil).
Pengembangan budidaya laut ini didukung juga oleh sebaran luas terumbu karang di NAD seluas + 274.841 ha. Tersebar mulai dari Sabang, Aceh Besar dan Pantai barat Selatan Aceh. Armada Kapal Perikanan Dalam upaya meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk termasuk perbaikan gizi, Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, telah menggalakkan pembangunan motorisasi secara besar-besaran. Jumlah perahu perikanan/kapal perikanan pada 2001 tercatat sebanyak 7.715 unit, telah meningkat jumlahnya menjadi 16.265 unit pada tahun 2005. Usaha penangkapan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tersebar disepanjang pantai Utara Timur dan Barat Selatan. Pada akhir tahun 2005 usaha penangkapan ikan ini masih didominasi oleh armada penangkapan tradisional, dengan jumlah armada mencapai 6.950 unit Perahu Tanpa Motor, selanjutnya armada Motor tempel mencapai 3.166 unit dan Kapal Motor (5 – 10 GT) berjumlah 1.539 unit, kapal motor (10 – 20 GT) hanya 560 unit dan kapal motor (20 – 30 GT) sebanyak 322 unit, kapal motor (30 – 50 GT) 118 unit. Jumlah armada kapal perikanan di perairan umum sampai akhir tahun 2005 mencapai 1.686 unit. Sarana dan Prasarana Perikanan Untuk mendukung keberhasilan pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya Kelautan dan Perikanan, telah dibangun beberapa fasilitas prasarana dan sarana penunjang dalam rangka mendorong investasi sektor Kelautan dan Perikanan seperti PPP, PPI, TPI, Pabrik es, Cold storage, Galangan kapal/Docking, LPPMHP, BBI/BBU, dan BBIP. Fasilitas sarana dan prasarana yang tersedia di sektor perikanan adalah: PPP sebanyak 1 buah, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) sebanyak 30 unit, TPI sebanyak 13 unit, pabrik es sebanyak 41 unit, cold storage dengan kapasitas 30 ton sebanyak 6 unit, LPPMHP sebanyak 1 unit, Balai Benih Ikan/Balai Benih Udang sebanyak 14 unit, dan BBIP sebanyak 1 unit.






BAB III
Analisa data
Aceh memiliki 13 suku bangsa asli. Yang terbesar adalah Suku Aceh yang mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai dengan Trumon di pesisir barat selatan. Etnis kedua terbesar adalah Suku Gayo yang mendiami wilayah pegunungan tengah Aceh. Selain itu juga dijumpai suku-suku lainnya seperti, Aneuk Jamee di pesisir barat dan selatan, Singkil dan Pakpak di Subulussalam dan Singkil, Alas di Aceh Tenggara, Kluet di Aceh Selatan dan Tamiang di Tamiang.
Suku Devayan mendiami wilayah selatan Pulau Simeulue sedangkan Suku Sigulai dan Suku Lekon di utaranya. Suku Haloban dan Suku Nias terdapat di Pulau Banyak
Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut: Aceh (50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), Lain-lain (10,09%).
            Kabupaten Aceh Besar adalah salah satu kabupaten yang berada di pesisir Aceh, kabupaten ini secara administrasi terdiri dari 26 Kecamatan, 8 kecamatan diantaranya adalah kecamatan pesisir. Aceh Besar memiliki potensi garis pantai sepanjang 344 km dengan luas wilayah perairan lautnya adalah 2.796 km2 dan jumlah pulau-pulau kecil sebanyak 21 Buah serta pulau-pulau kecil terluar 2 buah . Menurut data statistik yang ada pada tahun 2010 tercatat 1,543 orang nelayan tetap dan 513 orang nelayan sambilan (DKP Aceh Besar, 2010). Selain itu, pesisir dan laut Aceh Besar juga memiliki keanekaragaman hayati pesisir antara lain, terumbu karang seluas 1.155 ha dan ekosistem mangrove seluas 980,82 ha (DKP Aceh Besar, 2010). Bahan bakar minyak (BBM) adalah salah satu komponen penting dalam suatu operasi penangkapan ikan, komponen ini menyumbang 60% dari total biaya operasi (Hermawan, 2006). Subsidi BBM yang dijalankan oleh pemerintah diharapkan dapat membantu meringankan beban nelayan. Namun kenyataannya saat ini nelayan mengeluhkan kesulitan dalam mendapatkan BBM (solar) dengan harga resmi pemerintah, umumnya mereka mendapatkannya dari pihak ketiga dengan harga jauh lebih tinggi dari harga resmi, kondisi ini menyebabkan meningkatnya biaya operasional dan mengurangi keuntungan nelayan.
Kebijakan subsidi termasuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah selalu menimbulkan pendapat pro dan kontra, ada pihak yang menolak dengan alasan membebani anggaran dan rentan penyalaggunaan, namun tidak sedikit pula yang mendukung dengan alasan sebagian besar nelayan Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan (Handoko dan Patriadi, 2005). Hal ini senada dengan Martadiningrat (2009) yang menyebutkan bahwa 90% masyarakat nelayan Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Oleh karena itu kebijakan subsidi BBM khususnya bagi nelayan di Aceh Besar dirasa masih diperlukan.
Namun, sampai saat ini belum ada analisa kebutuhan bahan bakar minyak bagi nelayan Aceh Besar dan berapa jumlah subsidi yang mereka terima melalui pembelian bahan bakar minyak. Survey ini bertujuan untuk menganalisis kebutuhan dan penerimaan subsidi solar oleh nelayan di Kabupaten Aceh Besar dan beberapa permasalahan dalam perikanan tangkap.
            Budidaya air payau (tambak) memiliki potensi luas tambak sebelum tsunami + 44.883 ha (2003) dengan total produksi 22.955,97 ton dan jumlah petani tambak sebanyak 25.837 orang, berarti produktivitas rata-rata per ha/tahun baru mencapai 511,46 kg/ha/tahun dan produktivitas pembudidaya sebesar 888,49 kg/tahun, sementara luas areal tambak yang mengalami kerusakan diperkirakan seluas 20.000 Ha. Disamping itu masih tersedia dukungan lahan untuk pengembangan (ekstensifikasi) tambak seluas 40.500 Ha di seluruh Aceh (data di ambil dari RPJM Propinsi NAD 2004 – 2009).

Jumlah Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Pengolah Hasil Perikanan di Kabupaten Aceh Selatan
No
Kecamatan
Nelayan
Pembudidaya Ikan
Pengolah Hasil Perikanan
1
2
3
4
5
1
Labuhanhaji Barat
306
166
44
2
Labuhanhaji
742
73
124
3
Labuhanhaji Timur
209
54
20
4
Meukek
1.047
93
47
5
Sawang
1.360
78
37
6
Samadua
304
24
64
7
Tapaktuan
1.195
41
49
8
Pasieraja
294
194
52
9
Kluet Utara
363
239
67
10
Kluet Tengah
0
83
0
11
Kluet Selatan
268
203
52
12
Kluet Timur
0
128
0
13
Bakongan
461
40
135
14
Bakongan Timur
550
40
222
15
Kota Bahagia
0
17
0
16
Trumon
330
107
52
17
Trumon Tengah
0
82
0
18
Trumon Timur
0
35
0
Jumlah

7.429
1.697
965


BAB IV
Kesimpulan dan Saran
10.  Kesimpulan
*      Kondisi Nangroe Aceh Darussalam yang demikian sangat strategis untuk usaha perikanan, khususnya penangkapan ikan di laut dan budidaya tambak.
*      Kondisi wilayah Provinsi Aceh menjadikan sebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi besar di sekitar kelautan dan perikanan.
*      Sektor Aceh mempunyai peluang besar dan dapat menjadi sektor dominan dan andalan untuk mengangkat serta meningkatkan pendapatan (income generating) dan kesejahteraan masyarakat Aceh di masa depan dengan sentuhan teknologi yang lebih modern dan tepat guna menggantikan teknologi sederhana/tradisional yang masih ada.
*      Budidaya laut untuk jenis komoditi rumput laut, kerapu, kakap, lobster, rumput laut dan kerang mutiara di Aceh adalah potensi lain yang sangat penting dan peluang ekonomi serta pasarnya cukup menjanjikan.

11.  Saran
*  Pemerintah seharusnya lebih serius untuk membantu nelayan mengatasi masalah-masalah tersebut, seperti perbaikan kondisi ekosistem.
*      Pemerintah seharusnya memberikan banyak modal kepada nelayan di Aceh, terutama modal untuk membeli alat tangkap, perahu, dan lain lain.
*      Masyarakat sebaiknya lebih memfokuskan  budidaya yang telah dijalankan hingga saat ini.



DAFTAR PUSTAKA


-          Antara News. 2006. Goverment provides subsidized fuel supply for fishermen. Antara News, www.antara.co.id/en/. Tanggal akses 11 Maret 2014
-          Antara News. 2012. Subsidi BBM membengkak sampai Rp234,2 triliu. http://www.antaranews.com/berita/309074/subsidi-bbm-membengkak-sampai-rp2342-triliun. Tanggal akses 11 Maret 2014.
-           Aoc, 2009  http://acehoceancoral.org/artikel/potensi-kelautan-dan-perikanan-provinsi-nad-2009. diakses  pada tanggal 11 Maret 2014
-          http://koranbireuen.com/2013/12/26/peristiwa-tsunami-26-desember-hari-pantang-melaut-bagi-nelayan-di-aceh/. Di akses pada tanggal 11 Maret  2014 pukul : 19.00


Tidak ada komentar:

Posting Komentar