TUGAS
SOSIOLOGI PERIKANAN
SEJARAH
PERIKANAN DAN KELAUTAN DI NANGROE ACEH DARUSALAM
KELOMPOK 1
-
Nurma Wijayanti
(230110130014)
-
Dini Maliha (230110130036)
-
Debora Romaito H
(230110130033)
-
Hana Junita S (230110130057)
-
Annisa Nur Fadhilah
(230110130031)
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Padjadjaran
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Sejarah Perikanan dan Kelautan di Provinsi Aceh” yang merupakan bagian
dari mata kuliah Sosiologi Perikanan.
Kami mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungannya
dalam pembuatan dan penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunannya, penulis menyadari
akan segala kekurangan yang ada sehubungan dengan
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh
kami maka kami mengucapkan maaf apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun penyajian
makalah ini. Dengan tangan terbuka kami akan menerima
segala saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.
Jatinangor,
Maret 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR
ISI................................................................................................. ii
BAB
I............................................................................................................ 1
PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1
Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2
Tujuan...................................................................................................... 2
1.3
Manfaat.................................................................................................... 2
BAB
II........................................................................................................... 3
PEMBAHASAN........................................................................................... 3
2.1
Kondisi umum (Geografis)...................................................................... 3
2.2 Potensi yang ada di Aceh........................................................................ 4
2.3 Tantangan Yang Dihadapi....................................................................... 6
2.4 Keunggulan & Kekuatan......................................................................... 8
2.5 Potensi
Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD...................................... 13
2.6
Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh............................................... 16
2.7
Perikanan Budidaya................................................................................. 17
BAB
III......................................................................................................... 19
ANALISA
DATA......................................................................................... 19
BAB
IV......................................................................................................... 22
Kesimpulan
dan Saran................................................................................... 22
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................... 23
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang
memiliki potensi kekayaan alam yang cukup besar terutama di sektor perikanan.
Sektor perikanan telah menjadi salah satu sektor andalan Provinsi Aceh, lebih
kurang 55% penduduk Aceh bergantung kepada sektor ini baik secara langsung
maupun tidak langsung (Yusuf, 2003). Oleh karena itu pengembangan sektor
perikanan harus menjadi salah satu prioritas pembangunan di Provinsi Aceh
sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi secara umum
di kawasan ini. Namun sayangnya
kondisi perekonomian sebagai besar nelayan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya
masih sangat memprihatinkan (Muchlisin et al., 2012). Sebagian masyarakat Aceh hingga kini masih menjadikan
kawasan pantai bukan hanya tempat tinggal, melainkan juga sumber kehidupan
ekonominya. Setelah sembilan
tahun tsunami berlalu, rumah-rumah dan tempat usaha di pesisir pantai Aceh
tumbuh dan perekonomian masyarakat pun menggeliat.
Di Kota Banda Aceh, misalnya di kawasan Lampulo dan Ulee Lheue yang merupakan wilayah terparah kehancuran akibat bencana tsunami sembilan tahun lalu kini sudah tumbuh menjadi pemukiman padat, aktivitas ekonomi masyarakat pun tergolong tinggi.
Tingginya aktivitas ekonomi di wilayah pesisir membuat pemerintah optimistis pertumbuhan investasi masa depan Aceh lebih baik dan maju yang akan dimulai dari wilayah pesisir dengan andalannya di sektor perikanan.
Optimistisme itu bukan tidak beralasan sebab potensi bidang kelautan dan perikanan di perairan Aceh masih cukup besar karena selama ini yang tergarap sangat sedikit akibat sumberdaya nelayan dan alat tangkap yang terbatas. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan mengenai sejarah perikanan dan kelautan yang ada di Provinsi Aceh.
Di Kota Banda Aceh, misalnya di kawasan Lampulo dan Ulee Lheue yang merupakan wilayah terparah kehancuran akibat bencana tsunami sembilan tahun lalu kini sudah tumbuh menjadi pemukiman padat, aktivitas ekonomi masyarakat pun tergolong tinggi.
Tingginya aktivitas ekonomi di wilayah pesisir membuat pemerintah optimistis pertumbuhan investasi masa depan Aceh lebih baik dan maju yang akan dimulai dari wilayah pesisir dengan andalannya di sektor perikanan.
Optimistisme itu bukan tidak beralasan sebab potensi bidang kelautan dan perikanan di perairan Aceh masih cukup besar karena selama ini yang tergarap sangat sedikit akibat sumberdaya nelayan dan alat tangkap yang terbatas. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan mengenai sejarah perikanan dan kelautan yang ada di Provinsi Aceh.
1.2 Tujuan
-
Untuk
mengetahui kondisi NAD dalam bidang perikanan dan kelautan
-
Untuk
mengetahui potensi perikanan dann kelautan di NAD
-
Untuk
mengetahui masalah yang ada di NAD dalam bidang perikanan dan kelautan
-
Untuk
mengetahui peluang usaha yang ada di NAD
dalam sektor perikanan dan kelautan
1.3 Manfaat
Mahasiswa
dapat mengetahui tentang sejarah perikanan dan kelautan yang ada di Nangroe
Aceh Darusalam.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Kondisi umum (Geografis)
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang terletak di ujung barat Indonesia,
secara geografis di kelilingi oleh laut yaitu Selat Malaka, Samudera Hindia dan
pantai utaranya berbatasan dengan Selat Benggala. Wilayah pesisirnya memiliki
panjang garis pantai 1.660 km dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370
km² terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan)
56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km².Wilayah pantai dan
lautnya secara umum di pengaruhi oleh persimpangan arus dan gerakan Samudera
Hindia, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang berinteraksi dengan daratan
pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kepulauan Andaman dan Nicobar, sehingga
menampakkan ekosistem laut di sepanjang pesisir Aceh sangat sesuai bagi
kehidupan,biota laut. Kondisi yang demikian sangat strategis untuk usaha
perikanan, khususnya penangkapan ikan di laut dan budidaya tambak. Wilayah
pertambakan di sepanjang pesisir Aceh ini sangat didukung oleh luasnya sebaran
hutan bakau (mangrove) yang mempunyai fungsi pencegahan abrasi pantai,
melindungi habitat biota laut dan pencegahan pencemaran serta memiliki fungsi
produksi akuatik yaitu perikanan, tambak dan lain-lain.Di Nanggroe Aceh
Darussalam terdapat gugusan pulau-pulau besar dan kecil sebanyak 119 buah serta
73 buah sungai penting yang mengalir hingga ke muara.Kondisi wilayah tersebut
di atas menjadikan Provinsi Aceh sebagai salah satu wilayah yang memiliki
potensi besar di sekitar kelautan dan perikanan. Dengan sentuhan teknologi yang
lebih modern dan tepat guna menggantikan teknologi sederhana/tradisional yang
masih ada, maka sektor ini mempunyai peluang besar dan dapat menjadi sektor
dominan dan andalan untuk mengangkat serta meningkatkan pendapatan (income
generating) dan kesejahteraan masyarakat Aceh di masa depan.
2.2 Potensi yang ada di Aceh
Potensi
sumberdaya kelautan dan perikanan terdiri dari:
-
Perikanan tangkap yaitu penangkapan
ikan di laut dan di perairan
umum seperti
sungai, danau, waduk, rawa-rawa dan genangan air lainnya.
-
Perikanan budidaya seperti: budidaya
ikan air payau di tambak, budidaya ikan air tawar di kolam budidaya ikan di
sawah (mina padi) dan budidaya ikan dengan sistim keramba jaring apung baik di
laut maupun di perairan tawar.
-
Budidaya perairan laut lainnya
seperti ;rumput laut
Potensi
sumberdaya ikan (stock assesment) di laut untuk perairan teritorial dan
perairan kepulauan sebesar 220.090 ton dan di ZEE sebesar 203.320 ton atau
total sebesar + 423.410 ton.Potensi lestari atau Maksimum Sustainable Yield
(MSY) laut wilayah sebesar 110.045 ton dan ZEE dengan Total Allowable Catch
(TAC) sebesar 80 persen atau + 162.656 ton. Berarti total potensi lestari
seluruhnya 272.707 ton dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai 141.619,6 ton
(51,93%) tahun 2009 dengan kata lain masih terdapat peluang pengembangan
sebesar 48,07 persen.Untuk budidaya air payau (tambak) memiliki potensi luas
tambak ±44.883 ha (2007) dengan total produksi 22.95.5,97 ton dengan jumlah
petani tambak sebanyak 25.837 orang, berarti produktivitas rata-rata per ha/tahun
baru mencapai 511,46 kg/ha/tahun dan produktivitas petani sebesar 888,49
kg/tahun. Jika produktivitas tambak dapat ditingkatkan menjadi 1000-1500
kg/ha/tahun berarti untuk jangka menengah ke depan peluang pengembangan
produktivitas mencapai 66 persen. Sementara dukungan lahan untuk pengembangan
(ekstensifikasi) terdapat potensi seluas 40.500 ha di seluruh Aceh.Potensi
perairan tawar baik kolam, sawah dan perairan umum juga hampir tersebar di
seluruh Aceh, terutama di pedalaman untuk jenis komoditi ikan mas, gurame,
nila,tawes, lele, betutu dan lain-lain.Potensi lain yang sangat penting dan
peluang ekonomi serta pasarnya cukup menjanjikan adalah budidaya laut untuk
jenis komoditi rumput laut, kerapu, kakap, lobster, rumput laut dan kerang
mutiara dengan potensi sebaran luas ±12.014 ha seperti di Sabang, Aceh Besar,
Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeulue dan Pulau Banyak (Aceh singkil).Pengembangan
perikanan karang ini juga didukung oleh sebaran luas terumbu kerang di Nanggroe
Aceh Darussalam seluas ±274.841 ha tersebar mulai dari Sabang, Aceh Besar dan
Pantai Barat Selatan Aceh.
Potensi Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan
·
Rumah Tangga Perikanan Budidaya :
37.157 RTP,terdiri :
1.
Tambak :
22.142 RTP
2.
Kolam
: 7.946 RTP
3.
Keramba
: 215 RTP
4.
Sawah
: 6.854 RTP
·
Rumah Tangga Perikanan Tangkap
-
17.742 RTP (2007)
-
Jumlah Nelayan 64.248 orang (14.3%)
dari jumlah penduduk Aceh
- Perairan
Umum
- 2.224 RTP (2009)
Potensi Armada Nelayan
Jumlah
armada perikanan tangkap 15.703 unit (2005) terdiri dari :
-
Perahu Tanpa Motor
(PTM) : 6.567 unit
-
Motor Tempel
(MT)
: 3.166 unit
-
Kapal Motor
(KM)
: 5.970 unit
2.3 Tantangan Yang Dihadapi
Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia pada umumnya dan di
Aceh pada khususnya menghadapi berbagai permasalahan yang sangat komplek.
Apalagi dengan terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami tanggal 26 Desember
2004 yang lalu yang telah merusak lebih dari 800 km garis pantai permasalahan
sektor ini menjadi bertambah komplek dan diperberat lagi oleh akibat dari
kenaikan harga BBM (khususnya solar) serta ikutannya yaitu kenaikan harga
sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat yang meyebabkan inflasi. Kenaikan
harga BBM khususnya solar telah mengakibatkan kenaikan ongkos produksi
penangkapan ikan sebesar 60 persen, sehingga nelayan banyak mengalami kerugian
karena nilai hasil tangkapan tidak sebanding dengan besarnya biaya produksi.
Akibatnya banyak kapal penangkapan ikan yang grounded, nelayan menjadi
menganggur atau mencari kerja lain diluar profesi utamanya. Untuk mengatasi hal
tersebut sudah waktunya pemerintah menempuh kebijakan untuk memperhatikan dan
membantu nelayan kecil, misalnya:
- Untuk
BBM khususnya solar, pemerintah harus memberikan subsidi langsung
berbentuk harga khusus untuk nelayan yang penyalurannya melalui
depot-depot khusus BBM di sentra produksi perikanan/PPI dan TPI melalui
SPDN Koperasi Perikanan setempat.
- Khusus
sembako, misalnya beras yang disalurkan oleh DOLOG setempat juga diberikan
kepada nelayan secara teratur.
- Kebutuhan
modal kerja bagi nelayan kecil/tradisional hendaknya diprogramkan paket
kredit lunak tanpa agsuran dengan menghadapi pola dan sistem kredit KUT
- Pengembangan
pemberdayaan ekonomi nelayan kecil tradisional agar mengikuti sertakan
Lembaga Keuangan nelayan yang atau koperasi-koperasi perikanan setempat.
- Mencari
bapak angkat bagi nelayan dengan model pengembangan usaha pola kemitraan
terpadu yaitu antara pemerintah,lembaga keuangan bank,perusahaan
inti,nelayan kecil dan melibatkan tenaga pendamping usaha /PPL atau
Konsultan Keuangan Pendamping UMKM Mitra Bank (KKMB) sektor kelautan dan
perikanan.
Selanjutnya
permasalahan lain yang dihadapi adalah :
- Prasarana
dan sarana perikanan tangkap dan budidaya mengalami kehancuran akibat
gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember 2004 dan gempa bumi tanggal 28
Maret 2005 seperti : Pelabuhan Perikanan, PPI, TPI, cold storage, pabrik
es, saluran tambak, tambak rakyat, BBU, BBI/BBIP, Depot BBM, Pasar ikan,
galangan kapal rakyat, kapal/alat tangkap, pemukiman nelayan dan lain-lain
meskipun saat ini banyak infrastuktur perikanan juga yang telah berhasil
dibangun kembali namun masih dirasakan kurang optimal.
- Sebagian
nelayan dan pembudidaya ikan masih tradisional dengan karakteristik sosial
budaya yang belum begitu kondusif untuk suatu kemajuan.
- Struktur
armada dan usaha budidaya masih didominasi oleh skala kecil/tradisional
dengan kemampuan IPTEK yang rendah
- Masih
banyaknya praktek illegal fishing, unregulated dan unreported fishing
karena penegakan hukum yang lemah
- Terjadinya
kerusakan ekosistem perairan akibat pencemaran air dan perusakan laut oleh
alam maupun kegiatan usaha yang tidak ramah lingkungan.
- Penanganan
hasil (Pasca Panen dan Produk Olahan) masih rendah
- Penguasaan
informasi pesaing segmen pasar dan selera konsumen masih rendah
- Market
margin produk perikanan masih tinggi karena saluran distribusi (Pedagang
perantara) yang panjang
- Tingginya
harga faktor produksi seperti : alat tangkap, bahan bakar, mesin, pakan
ikan dan lain-lain karena produsen memperolehnya melalui pedagang
perantara
- Pengaruh
globalisasi telah menimbulkan dampak baik menyangkut dengan tarrif barrier
maupun non tarrif barrier (political barrier, technical barrier dan
eko labeling)
- Belum
adanya tata ruang kelautan dan perikanan menimbulkan konflik kepentingan
antar sektor, tumpang tindih lokasi usaha.Usaha perikanan sering
dikorbankan untuk kepentingan industri, pariwisata, permukiman dan
pertambangan.
- Keberpihakan
pembangunan terhadap usaha nelayan/pembudidaya ikan skala kecil dan
kelembagaan ekonomi perikanan (koperasi/UKM) masih rendah
2.4 Keunggulan & Kekuatan
- Pemerintah
Aceh menetapkan dan sedang membangun pusat kawasan industry perikanan
tangkap (PP Lampulo,Idi,Labuhan Haji) dan telah disusun rencana induk
pengembangan ketiga lokasi tersebut.
- Pemerintah
Aceh telah menetapkan rencana induk pengembangan perikanan budidaya (air
tawar,air payau dan laut).
- Pemerintah
Aceh telah memiliki kewenangan menerbitkan izin kapal penangkapan dan
pengangkutan ikan untuk segala jenis dan ukuran kapal.
- Pemerintah
Aceh telah mendapatkan space cargo seluruh penerbangan di Aceh untuk
keperluan transportasi dan distribusi komoditi/produk perikanan yang
memerlukan pengangkutan udara.
- Pemerintah
Aceh telah memiliki laboratorium pengujian mutu hasil perikanan untuk
eksport.
- SDM
terampil tersedia dari berbagai lulusan pendidikan menengah,perguruan
tinggi,formal dan non formal bidang perikanan.
- Pelayanan
perijinan telah menerapkan sistim satu atap.
- Pemerintah
Aceh telah menetapkan dan mensahkan Qanun Perikanan (setingkat PP) yang
mengacu kepada UUPA dan perundangan lainnya yang berlaku.
- Masyarakat
Aceh sangat terbuka dan ramah terhadap para pendatang dan investor.
Isu subsidi perikanan Hasil penelitian mencatat
bahwa hampir 80% nelayan responden pernah mendapatkan bantuan dari berbagai
sumber baik dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Jenis bantuan
yang umum diterima adalah dalam bentuk barang (in kinds) antara lain kapal,
alat tangkap dan mesin kapal, sebagian kecil ada juga yang menerima dalam
bentuk uang tunai. Secara umum jenis barang bantuan boat dan alat tangkap
diberikan secara berimbang, namun di Kecamatan Leupung sebagian besar diberikan
dalam bentuk kapal/boat, dan sebalik di Kecamatan Baitussalam jenis bantuan
yang diberikan umumnya berupa alat tangkap .
Nelayan Aceh Besar mengaku bahwa lembaga
yang paling banyak atau sering memberikan bantuan adalah Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh Besar dan lembaga swadaya masyarakat/NGO. Namun di Kecamatan
Seulimeun dan Peukanbada bantuan lebih dominan datang dari NGO, sedangkan di
Kecamatan Lhoknga berimbang antara pemerintah dan NGO. Menurut data BPS,
Provinsi Aceh adalah salah satu provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin
tertinggi di Sumatra, yaitu mencapai 19.57% (BPS, 2012). The World Bank (2008)
melaporkan bahwa dari 975,374 kepala keluarga di Aceh atau setara dengan 4,16
juta jiwa, lebih kurang 510,633 kepala keluarga (52.35) tergolong keluarga
miskin.
Secara
umum lebih dari 50% responden mengaku jenis bantuan yang diberikan sudah sesuai
dengan kebutuhan mereka sebagai nelayan, namun demikian di beberapa nelayan di
Kecamatan Seulimeun mengaku belum puas dengan bantuan yang diberikan, dengan
alasan boat bantuan yang diberikan berkualitas rendah dan jika dalam bentuk
uang, jumlahnya tidak mencukupi untuk modal kerja. Lebih kurang 60% responden
mengaku barang bantuan yang pernah diterima masih ada dan masih digunakan
dengan baik, namun demikian lebih dari 20% diantaranya mengaku barang bantuan
yang diterima sudah tidak ada lagi, dan umumnya mereka tidak memberikan alasan
kenapa barang tersebut tidak ada lagi, namun sebagian kecil dari padanya
menjawab bahwa barang tersebut rusak dan dijual. Sebagian besar nelayan di Aceh
Besar masih mengharapkan agar kebijakan subsidi perikanan tetap dilanjutkan dan
mereka pada umumnya mengharapkan bantuan berupa kapal dan alat tangkap. Umumnya
responden berpendapat bahwa bantuan yang disalurkan sebaiknya dilakukan secara
perorangan (individual), namun demikian nelayan di Baitussalam berpendapat
penyaluran sebaiknya dilakukan secara berkelompok. Terdapat tiga kendala utama
nelayan dalam menjalankan usahanya, yaitu cuaca yang tidak menentu dan sulit
diprediksi, kerusakan kapal dan alat tangkap serta mahalnya harga BBM.
Saat ini sebagian besar nelayan Aceh
Besar belum dapat membeli BBM (solar) pada harga resmi pemerintah, umumnya
mereka membeli BBM pada pengencer (pihak ketiga) dengan harga berkisar Rp5.000
s/d Rp6.000 per liter (Muchlisin et al., 2012a). Lebih kurang 60-75% responden
mengaku tidak pernah mengikuti pelatihan apapun baik yang diadakan oleh
pemerintah maupun swasta/NGO, dan bagi mereka yang pernah mengikuti pelatihan,
jenis pelatihan yang paling banyak diikuiti (60%) adalah teknik penangkapan
ikan secara modern, umumnya pelatihan tersebut (>40%) dilakukan oleh NGO,
hanya kurang dari 10% yang dilakukan oleh pemerintah, dan sayangnya hanya
sebagian kecil dari mereka mengaku pelatihan tersebut bermanfaat, dengan alasan
tidak sesuai dengan kebiasaan dan penggunaan alat tangkap pada nelayan
setempat, seperti pelatihan yang diberikan menggunakan alat tangkap modern
seperti fish finder, sedangkan nelayan di daerah yang disurvei masih
menggunakan alat tangkap yang tradisional, sehingga pelatihan yang diberikan
tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan dalam melakukan aktivitas penangkapan
ikan, hanya sebagian kecil saja manfaat yang diperoleh dari pelatihan yang
diberikan. Dimasa depan nelayan Aceh Besar mengharapkan beberapa jenis pelatihan,
yaitu pelatihan teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan, pelatihan
konservasi, pengelolaan koperasi, merajut jaring, budidaya perikanan,
pengolahan ikan dan jenis-jenis ketrampilan lainnya untuk mendukung wirausaha.
Nelayan Aceh Besar mendukung dan masih
mengharapkan subsidi perikanan yang dilakukan oleh pemerintah, namun sayangnya
para nelayan umumnya masih mengharapkan bantuan yang diberikan berupa kapal dan
alat tangkap. Jika dipandang perlu mengalokasikan anggaran untuk pengadaan kapal
dan alat tangkap, sebaiknya perlu dijalankan secara hati-hati dan terbatas
dengan mempertimbangkan kondisi stok sumberdaya ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP) 571 (Selat Malaka) dan WPP 572 (Samudera Hindia) serta
dilakukan secara terencana dan dibina pengoperasian dan pengelolaannya dengan
baik atau dengan kata lain adanya upaya peningkatan kapasitas nelayan, agar
sejalan dengan prinsip-prinsip perikanan yang bertanggungjawab dan
berkelanjutan (Muchlisin et al., 2012b).
Nelayan menilai pemerintah belum serius membantu nelayan
mengatasi masalah-masalah tersebut, seperti perbaikan kondisi ekosistem.
Menurut pejabat di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Besar bahwa
pemerintah telah melakukan beberapa program konservasi sumberdaya perikanan dan
mensosialisasikannya melalui lembaga adat Penglima Laot, namun sayangnya
sebagian besar dari nelayan belum mengetahui adanya kebijakan Pemkab Aceh Besar
tentang rencana penetapan kawasan konservasi di Aceh Besar, namun demikian
sebagian besar nelayan menilai kawasan konservasi diperlukan. Dari hasil
wawancara ini terlihat bahwa masih ada sebagian nelayan yang belum memahami
akan peran penting kawasan konservasi bagi keberlanjutan usaha penangkapan
mereka, oleh karena ini menjadi tantangan bagi pemerintah setempat dan kalangan
pengiat lingkungan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat melalui
seminar dan penyuluhan. Berdasarkan SK Bupati Aceh Besar No. 190 tahun 2011
telah ditetapkan 16 kawasan konservasi di Aceh Besar, diharapkan dengan adanya
kawasan konservasi ini dapat menjadi pemicu lahirnya inisiatif pendapatan
alternatif masyarakat di lokasi KKPD tersebut, seperti ekowisata, produk pasca
tangkap/panen.
Hampir semua
nelayan di Kabupaten Aceh Besar mengaku tidak pernah menggunakan alat tangkap
yang merusak, misalnya pukat harimau, racun dan bom ikan, namun ada 10% nelayan
di Kecamatan Peukanbada pernah melakukannya beberapa tahun lalu, namun hal
tersebut tidak pernah dilakukan lagi karena mereka sudah sadar akibat buruk
yang ditimbulkan oleh aktifitas tersebut. Namun demikian, disinyalir kegiatan
penangkapan ikan dengan menggunakan racun (potassium) masih marak di perairan
Aceh Besar, biasanya dilakukan pada malam hari dengan peralatan selam untuk
menangkap ikan-ikan karang jenis tertentu. Menurut hasil survei dijumpai
pengelolaan sampah dan oli bekas sudah cukup baik, dimana sebagian besar
nelayan sudah menampung oli bekas kapal dan bahkan beberapa diantaranya
menggunakan ulang untuk keperluan lain, demikian pula halnya dengan sampah
sudah ditampung disuatu tempat untuk seterusnya dibakar. Namun sayangnya hampir
sebagian besar nelayan responden mengaku belum pernah terlibat dalam kegiatan
konservasi baik pelatihan maupun terlibat secara aktif di lapangan, namun
demikian ada lebih kurang 20% nelayan responden di Kecamatan Baitussalam,
Lhoknga dan Mesjid Raya pernah terlibat dalam beberapa pelatihan konservasi
yang dilakukan oleh pihak universitas, NGO atau pemerintah.
2. 5 Potensi Kelautan dan Perikanan
Provinsi NAD
Penduduk Aceh sebagian
besar bermukim di kawasan pesisir. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan
Badan Pusat Statistik pada tahun 2005 mencatat jumlah penduduk yang tinggal di
wilayah pesisir mencapai 50% dari total jumlah penduduk Aceh. Jumlah tersebut
tersebar di 115 kecamatan yang berbatasan langsung dengan pantai. Secara umum
jumlah wanita di Aceh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pria. Usia
produktif antara 15-64 tahun mendominasi penduduk Aceh yang terdiri dari
berbagai macam suku baik asli maupun pendatang. Suku asli masyarakat Aceh
terdiri dari suku Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulue, Singkil, dan
Tamiang. Kedelapan suku tersebut mempunyai sejarah, budaya, dan bahasa yang sangat
berbeda satu sama lain.
Ekosistem pesisir menjadi penyedia jasa dan produk lingkungan bagi masyarakat pesisir. Saat ini jumlah nelayan di Aceh tercatat sebanyak 61.768 orang yang sebagian besar merupakan nelayan penuh. Nelayan tradisional Aceh lebih banyak melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan terumbu karang yang dekat dengan pantai. Alat tangkap yang digunakan antara lain pancing, trammel net, liftnet, dan fish gun. Armada penangkapan yang digunakan oleh nelayan Aceh pada umumnya memiliki ukuran lebih kecil dari 30 GT dan beroperasi hanya di perairan teritorial dan sekitar pulau-pulau di Aceh.
Ekosistem pesisir menjadi penyedia jasa dan produk lingkungan bagi masyarakat pesisir. Saat ini jumlah nelayan di Aceh tercatat sebanyak 61.768 orang yang sebagian besar merupakan nelayan penuh. Nelayan tradisional Aceh lebih banyak melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan terumbu karang yang dekat dengan pantai. Alat tangkap yang digunakan antara lain pancing, trammel net, liftnet, dan fish gun. Armada penangkapan yang digunakan oleh nelayan Aceh pada umumnya memiliki ukuran lebih kecil dari 30 GT dan beroperasi hanya di perairan teritorial dan sekitar pulau-pulau di Aceh.
Wilayah pesisir di
Provinsi NAD mempunyai panjang garis pantai 1.660 km, dengan luas wilayah
perairan laut seluas 295.370 km² terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial
dan perairan kepulauan) 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807
km². Akibat tsunami pada 26 Desember 2004, dari 1660 km panjang garis pantai,
800 km rusak terkena gelombang tsunami. Serapan tenaga kerja menyerap 58.309 Rumah
Tangga Perikanan (RTP) atau menghidupkan sekitar 291.545 jiwa. Daya serap
tenaga kerja sektor kelautan perikanan menunjukkan tingkat daya serap yang
tinggi. Perikanan Tangkap Berdasarkan data dari Dinas Perikanan Provinsi NAD,
potensi perairan teritorial dan perairan kepulauan sebesar 220.090 ton dan ZEE
sebesar 203.320 ton atau total sebesar + 423.410 ton. Potensi lestari atau
maksimum sustainable yield (MSY) laut wilayah sebesar 110.045 ton dan ZEE
dengan Total Allowable Catch (TAC) sebesar 80 persen atau + 162.656 ton.
Berarti total potensi lestari seluruhnya 272.707 ton. Tingkat pemanfaatan baru
mencapai 37,60 % atau 102.555 ton (thn 2004) sehingga terdapat peluang
pengembangan sebesar 62,40 %. Akibat tsunami pada bulan Desember 2004 yang
menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir, laut dan pulau serta kerusakan pada
fasilitas perikanan dan banyaknya nelayan yang hilang, tahun 2005 tingkat
pemanfaatan potensi lestari menurun menjadi 80.230,2 ton atau hanya 29,4%.
Sumberdaya ikan di perairan laut berdasarkan pengelompokan biota dibagi dalam 4
(empat) kelompok besar yaitu :
1. Jenis-jenis
ikan pelagis besar: Tongkol, Cakalang, Tuna,Cucut
2. Jenis-jenis
ikan pelagis kecil: Kembung, Selar, Teri, Layar, Tembang, Lemuru
3. Jenis-jenis
ikan demersal: Tenggiri, Kerapu, Kakap, Kuwe, Ekor kuning
4. Sumberdaya
Non Ikan: Udang Windu, Udang Putih, Udang Barong/Lobster, Cumi-cumi.
Sebelum
bencana tsunami 26 Desember2004, perikanan
merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB)
senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005).
Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara
perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan
dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri
perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di
sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan
budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian
utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu
berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya
7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala
besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan. Menurut
Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap
pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin
(purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala
dan lain-lain. Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan
perikanan besar di Banda Aceh, 10
pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan
sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di
18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar
tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini
tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan
latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan
(Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal
latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat
dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai
sekitar Rp 1,9 triliun.
2.6 Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu
hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%)
perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain
itu, 38 unit TPI rusak berat
dan 14.523 hektar tambak di
11 kabupaten/kota rusak
berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp
944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak
langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan
tambak.
Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di
daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan),
tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali.
Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari total kerugian
sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya
pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah
besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk
alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian
sedemikian besarnya.
Kapal PLTD
Apung yang dibawa oleh tsunami sampai ke darat
Diperkirakan
produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan
diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan
tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena
banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar
perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang
mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi
pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.
2.7 Perikanan Budidaya
Kegiatan budidaya ikan yang berpotensi
di Provinsi NAD dapat dibedakan atas 3 (tiga) jenis kegiatan, yaitu perikanan
budidaya air tawar, payau dan laut. Lokasi kegiatan budidaya air tawar
dilaksanakan pada daerah-daerah dimana sumber air tawar tersedia dengan baik
seperti halnya di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Luwes, Bener Meriah dan
Nagan Raya yang diusahakan pada kolam-kolam, karamba dan persawahan dengan
potensi luasan areal budidaya diperkirakan 10.158 Ha. Budidaya air payau
(tambak) memiliki potensi luas tambak sebelum tsunami + 44.883 ha (2003) dengan
total produksi 22.955,97 ton dan jumlah petani tambak sebanyak 25.837 orang,
berarti produktivitas rata-rata per ha/tahun baru mencapai 511,46 kg/ha/tahun
dan produktivitas pembudidaya sebesar 888,49 kg/tahun, sementara luas areal
tambak yang mengalami kerusakan diperkirakan seluas 20.000 Ha.
Disamping itu masih
tersedia dukungan lahan untuk pengembangan (ekstensifikasi) tambak seluas
40.500 Ha di seluruh Aceh (data di ambil dari RPJM Propinsi NAD 2004 – 2009).
Area pertambakan didukung oleh luasnya sebaran hutan bakau (mangrove) yang
mempunyai fungsi pencegahan abrasi pantai, melindungi habitat biota laut dan
pencegahan pencemaran serta memiliki fungsi produksi akuatik. Potensi perikanan
lainnya adalah budidaya laut untuk jenis komoditi rumput laut, kerapu, kakap,
dan lobster dengan potensi sebaran luas +12.014 ha tersebar mulai di Sabang,
Aceh besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeulue dan Pulau Banyak (Aceh Singkil).
Pengembangan budidaya
laut ini didukung juga oleh sebaran luas terumbu karang di NAD seluas + 274.841
ha. Tersebar mulai dari Sabang, Aceh Besar dan Pantai barat Selatan Aceh.
Armada Kapal Perikanan Dalam upaya meningkatkan produksi untuk memenuhi
kebutuhan pangan penduduk termasuk perbaikan gizi, Pemerintah Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, telah menggalakkan pembangunan motorisasi secara
besar-besaran. Jumlah perahu perikanan/kapal perikanan pada 2001 tercatat
sebanyak 7.715 unit, telah meningkat jumlahnya menjadi 16.265 unit pada tahun
2005. Usaha penangkapan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tersebar
disepanjang pantai Utara Timur dan Barat Selatan. Pada akhir tahun 2005 usaha
penangkapan ikan ini masih didominasi oleh armada penangkapan tradisional,
dengan jumlah armada mencapai 6.950 unit Perahu Tanpa Motor, selanjutnya armada
Motor tempel mencapai 3.166 unit dan Kapal Motor (5 – 10 GT) berjumlah 1.539
unit, kapal motor (10 – 20 GT) hanya 560 unit dan kapal motor (20 – 30 GT)
sebanyak 322 unit, kapal motor (30 – 50 GT) 118 unit. Jumlah armada kapal
perikanan di perairan umum sampai akhir tahun 2005 mencapai 1.686 unit. Sarana
dan Prasarana Perikanan Untuk mendukung keberhasilan pengembangan dan pemanfaatan
sumberdaya Kelautan dan Perikanan, telah dibangun beberapa fasilitas prasarana
dan sarana penunjang dalam rangka mendorong investasi sektor Kelautan dan
Perikanan seperti PPP, PPI, TPI, Pabrik es, Cold storage, Galangan
kapal/Docking, LPPMHP, BBI/BBU, dan BBIP. Fasilitas sarana dan prasarana yang
tersedia di sektor perikanan adalah: PPP sebanyak 1 buah, Pangkalan Pendaratan
Ikan (PPI) sebanyak 30 unit, TPI sebanyak 13 unit, pabrik es sebanyak 41 unit,
cold storage dengan kapasitas 30 ton sebanyak 6 unit, LPPMHP sebanyak 1 unit,
Balai Benih Ikan/Balai Benih Udang sebanyak 14 unit, dan BBIP sebanyak 1 unit.
BAB III
Analisa data
Aceh memiliki 13 suku bangsa asli. Yang terbesar adalah Suku Aceh
yang mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir
timur utara sampai dengan Trumon di pesisir barat selatan. Etnis kedua terbesar adalah Suku Gayo
yang mendiami wilayah pegunungan tengah Aceh. Selain itu juga dijumpai
suku-suku lainnya seperti, Aneuk
Jamee di pesisir barat dan selatan, Singkil
dan Pakpak
di Subulussalam
dan Singkil, Alas di Aceh
Tenggara, Kluet di Aceh
Selatan dan Tamiang di Tamiang.
Suku Devayan mendiami wilayah selatan Pulau
Simeulue sedangkan Suku Sigulai dan Suku Lekon
di utaranya. Suku Haloban dan Suku Nias
terdapat di Pulau Banyak
Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai
berikut: Aceh
(50,32%), Jawa (15,87%), Gayo
(11,46%), Alas
(3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue
(2,47%), Batak
(2,26%), Minangkabau (1,09%), Lain-lain (10,09%).
Kabupaten Aceh Besar adalah salah
satu kabupaten yang berada di pesisir Aceh, kabupaten ini secara administrasi
terdiri dari 26 Kecamatan, 8 kecamatan diantaranya adalah kecamatan pesisir.
Aceh Besar memiliki potensi garis pantai sepanjang 344 km dengan luas wilayah
perairan lautnya adalah 2.796 km2 dan jumlah pulau-pulau kecil sebanyak 21 Buah
serta pulau-pulau kecil terluar 2 buah . Menurut data statistik yang ada pada
tahun 2010 tercatat 1,543 orang nelayan tetap dan 513 orang nelayan sambilan
(DKP Aceh Besar, 2010). Selain itu, pesisir dan laut Aceh Besar juga memiliki
keanekaragaman hayati pesisir antara lain, terumbu karang seluas 1.155 ha dan
ekosistem mangrove seluas 980,82 ha (DKP Aceh Besar, 2010). Bahan bakar minyak
(BBM) adalah salah satu komponen penting dalam suatu operasi penangkapan ikan,
komponen ini menyumbang 60% dari total biaya operasi (Hermawan, 2006). Subsidi
BBM yang dijalankan oleh pemerintah diharapkan dapat membantu meringankan beban
nelayan. Namun kenyataannya saat ini nelayan mengeluhkan kesulitan dalam
mendapatkan BBM (solar) dengan harga resmi pemerintah, umumnya mereka
mendapatkannya dari pihak ketiga dengan harga jauh lebih tinggi dari harga
resmi, kondisi ini menyebabkan meningkatnya biaya operasional dan mengurangi
keuntungan nelayan.
Kebijakan subsidi
termasuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah selalu
menimbulkan pendapat pro dan kontra, ada pihak yang menolak dengan alasan
membebani anggaran dan rentan penyalaggunaan, namun tidak sedikit pula yang mendukung
dengan alasan sebagian besar nelayan Indonesia masih hidup dibawah garis
kemiskinan (Handoko dan Patriadi, 2005). Hal ini senada dengan Martadiningrat
(2009) yang menyebutkan bahwa 90% masyarakat nelayan Indonesia hidup dibawah
garis kemiskinan. Oleh karena itu kebijakan subsidi BBM khususnya bagi nelayan
di Aceh Besar dirasa masih diperlukan.
Namun, sampai saat ini
belum ada analisa kebutuhan bahan bakar minyak bagi nelayan Aceh Besar dan
berapa jumlah subsidi yang mereka terima melalui pembelian bahan bakar minyak.
Survey ini bertujuan untuk menganalisis kebutuhan dan penerimaan subsidi solar
oleh nelayan di Kabupaten Aceh Besar dan beberapa permasalahan dalam perikanan
tangkap.
Budidaya
air payau (tambak) memiliki potensi luas tambak sebelum tsunami + 44.883 ha
(2003) dengan total produksi 22.955,97 ton dan jumlah petani tambak sebanyak
25.837 orang, berarti produktivitas rata-rata per ha/tahun baru mencapai 511,46
kg/ha/tahun dan produktivitas pembudidaya sebesar 888,49 kg/tahun, sementara
luas areal tambak yang mengalami kerusakan diperkirakan seluas 20.000 Ha.
Disamping itu masih tersedia dukungan lahan untuk pengembangan (ekstensifikasi)
tambak seluas 40.500 Ha di seluruh Aceh (data di ambil dari RPJM Propinsi NAD
2004 – 2009).
Jumlah Nelayan,
Pembudidaya Ikan dan Pengolah Hasil Perikanan di Kabupaten Aceh Selatan
No
|
Kecamatan
|
Nelayan
|
Pembudidaya Ikan
|
Pengolah Hasil Perikanan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
Labuhanhaji Barat
|
306
|
166
|
44
|
2
|
Labuhanhaji
|
742
|
73
|
124
|
3
|
Labuhanhaji Timur
|
209
|
54
|
20
|
4
|
Meukek
|
1.047
|
93
|
47
|
5
|
Sawang
|
1.360
|
78
|
37
|
6
|
Samadua
|
304
|
24
|
64
|
7
|
Tapaktuan
|
1.195
|
41
|
49
|
8
|
Pasieraja
|
294
|
194
|
52
|
9
|
Kluet Utara
|
363
|
239
|
67
|
10
|
Kluet Tengah
|
0
|
83
|
0
|
11
|
Kluet Selatan
|
268
|
203
|
52
|
12
|
Kluet Timur
|
0
|
128
|
0
|
13
|
Bakongan
|
461
|
40
|
135
|
14
|
Bakongan Timur
|
550
|
40
|
222
|
15
|
Kota Bahagia
|
0
|
17
|
0
|
16
|
Trumon
|
330
|
107
|
52
|
17
|
Trumon Tengah
|
0
|
82
|
0
|
18
|
Trumon Timur
|
0
|
35
|
0
|
Jumlah
|
|
7.429
|
1.697
|
965
|
BAB IV
Kesimpulan dan Saran
10. Kesimpulan
Kondisi Nangroe Aceh Darussalam yang
demikian sangat strategis untuk usaha perikanan, khususnya penangkapan ikan di
laut dan budidaya tambak.
Kondisi wilayah Provinsi Aceh
menjadikan sebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi besar di sekitar
kelautan dan perikanan.
Sektor Aceh mempunyai peluang besar
dan dapat menjadi sektor dominan dan andalan untuk mengangkat serta
meningkatkan pendapatan (income generating) dan kesejahteraan masyarakat Aceh
di masa depan dengan sentuhan teknologi yang lebih modern dan tepat guna
menggantikan teknologi sederhana/tradisional yang masih ada.
Budidaya laut untuk jenis komoditi
rumput laut, kerapu, kakap, lobster, rumput laut dan kerang mutiara di Aceh
adalah potensi lain yang sangat penting dan peluang ekonomi serta pasarnya
cukup menjanjikan.
11. Saran
Pemerintah seharusnya lebih serius
untuk membantu nelayan mengatasi masalah-masalah tersebut, seperti perbaikan
kondisi ekosistem.
Pemerintah seharusnya memberikan
banyak modal kepada nelayan di Aceh, terutama modal untuk membeli alat tangkap,
perahu, dan lain lain.
Masyarakat sebaiknya lebih
memfokuskan budidaya yang telah
dijalankan hingga saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
-
Antara
News. 2006. Goverment provides subsidized fuel supply for fishermen. Antara
News, www.antara.co.id/en/. Tanggal akses 11 Maret
2014
-
Antara
News. 2012. Subsidi BBM membengkak sampai Rp234,2 triliu.
http://www.antaranews.com/berita/309074/subsidi-bbm-membengkak-sampai-rp2342-triliun.
Tanggal akses 11 Maret 2014.
-
Aoc, 2009 http://acehoceancoral.org/artikel/potensi-kelautan-dan-perikanan-provinsi-nad-2009. diakses pada tanggal 11 Maret 2014
-
http://koranbireuen.com/2013/12/26/peristiwa-tsunami-26-desember-hari-pantang-melaut-bagi-nelayan-di-aceh/. Di akses pada tanggal 11 Maret 2014
pukul : 19.00
-
https://www.google.com/search?output=search&sclient=psy-ab&q=masyarakat+di+aceh&oq=masyarakat+di+aceh&gs_l=hp.3..0i22i30l10.116.11338.1.12635.11.9.1.1.1.0.281.1780.0j7j2.9.0....0...1c.1.37.hp..0.11.1795.VRUpoz9NXTk&pbx=1&biw=1242&bih=607&dpr=1.1&cad=cbv&sei=yfoeU727CsejiQf-7YHQDA#q=sejarah+nelayan+diaceh&start=30 di akses pada tanggal 11 maret 2014 pukul: 19.00
-
https://www.google.com/search?output=search&sclient=psy-ab&q=masyarakat+di+aceh&oq=masyarakat+di+aceh&gs_l=hp.3..0i22i30l10.116.11338.1.12635.11.9.1.1.1.0.281.1780.0j7j2.9.0....0...1c.1.37.hp..0.11.1795.VRUpoz9NXTk&pbx=1&biw=1242&bih=607&dpr=1.1&cad=cbv&sei=yfoeU727CsejiQf-7YHQDA#q=sejarah+masyarakat+di+aceh di akses pada tanggal 11 maret 2014 pukul : 19.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar