TUGAS MAKALAH SOSIOLOGI
PERIKANAN
PANGANDARAN CIAMIS JAWA
BARAT
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah Sosiologi Perikanan
Kelompok 6:
Desi Triyani (230110130025)
Cyntia Kurniawati (230110130026)
M. Rionaldhie A (230110130038)
Alan Alamsyah(230110130053)
Muhammad Rizki (230110130054)
Silfi Nur Aulia Ulfa (230110130056)
Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
Jalan
Raya Bandung – Sumedang Km 21 Jatinagor 45363 Telp. (022) 7796316 Jawa Barat
Maret
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah berkenan memberi petunjuk dan
kekuatan kepada kami sehingga makalah “Sosiologi Perikanan
(Pangandaran, Ciamis Jawa Barat)” ini dapat diselesaikan dengan tepat
waktu meskipun kurang sempurna dalam sisi penulisan maupun isi yang terkandung
di dalamnya. Makalah ini kami buat guna memenuhi salah satu tugas Sosiologi Perikanan.
Kami
menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan
Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan
ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dorongan dan arahan dalam
pembuatan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, Kami telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai
dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan tangan
terbuka menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhir
kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam belajar dan
hasilnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Penyusun:
Kelompok 6
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Makalah
Pangandaran adalah sebuah kecamatan di Kabupaten
Pangandaran, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Kecamatan ini terletak di bagian paling selatan kabupaten Pangandaran dan
merupakan daerah wisata utama di Kabupaten Pangandaran.Pangandaran
berasal dari dua buah kata pangan dan daran yang artinya pangan adalah makanan dan
daran adalah pendatang. Jadi Pangandaran artinya sumber makanan para pendatang.
Dengan
lebih
banyak
memiliki wilayah
yang di dominasi perairan. Potensi perikanan
di pangandaran sangat besar
untuk
dikembangkan. Tetapi kehidupan
nelayan terutama nelayan tradisional dianggap sebagai kelompok masyarakat
miskin dan seringkali dijadikan objek eksploitatif oleh para pemilik modal, harga ikan sebagai sumber pendapatannya dikendalikan
oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak.
Meskipun demikian Pangandaran memiliki sector pariwisata yang sangat menjanjikan, diantaranya keindahan pantai pangandaran, obyek
Wisata Citumang, Goa
Taringgul, Pantai batu hiu,
Pantai Batukaras, Pantai karang nini, Green Canyon atau sungai Cukang Taneuh dengan tebing yang
sangat indah dan air hijau bening.
B. Rumusan
Makalah
1.
Sejarah Pengandaran
2.
Potensi Perikanan di
Pangandaran
3.
Kehidupan nelayan di
Pangandaran
4. Potensi
pariwisata di Pangandaran
C. Tujuan
Penulisan Makalah
1.
Mahasiswa dapat
mengetahui sejarah Pangandaran
2.
Mahasiswa dapat
mengetahui potensi perikanan di Pangandaran
3.
Mahasiswa dapat
mengetahui kehidupan nelayan di Pangandaran
4. Mahasiswa
dapat mengetahui potensi parawisata di Pangandaran
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.
Sejarah Pangandaran
Add caption |
Pada awalnya Desa Pananjung Pangandaran ini dibuka dan ditempati oleh
para nelayan dari suku sunda. Penyebab pendatang lebih memilih daerah
Pangandaran untuk menjadi tempat tinggal karena gelombang laut yang kecil yang
membuat mudah untuk mencari ikan. Karena di Pantai Pangandaran inilah terdapat
sebuah daratan yang menjorok ke laut yang sekarang menjadi cagar alam atau
hutan lindung, tanjung inilah yang menghambat atau menghalangi gelombang besar
untuk sampai ke pantai. Di sinilah para nelayan menjadikan tempat tersebut
untuk menyimpan perahu yang dalam bahasa sundanya disebut andar setelah
beberapa lama banyak berdatangan ke tempat ini dan menetap sehingga menjadi
sebuah perkampungan yang disebut Pangandaran. Pangandaran berasal dari dua buah
kata pangan dan daran . yang artinya pangan adalah makanan
dan daran adalah pendatang. Jadi Pangandaran artinya sumber makanan para
pendatang.
Lalu para sesepuh terdahulu memberi nama Desa Pananjung, karena menurut
para sesepuh terdahulu di samping daerah itu terdapat tanjung di daerah inipun
banyak sekali terdapat keramat-keramat di beberapa tempat. Pananjung artinya
dalam bahasa sunda Pangnanjung-nanjungna ( paling subur atau paling makmur).
Pada
mulanya Pananjung merupakan salah satu pusat kerajaan, sejaman dengan kerajaan
Galuh Pangauban yang berpusat di Putrapinggan sekitar abad XIV M. setelah
munculnya kerajaan Pajajaran di Pakuan Bogor. Nama rajanya adalah Prabu
Anggalarang yang salah satu versi mengatakan bahwa beliau masih keturunan Prabu
Haur Kuning, raja pertama kerajaan Galuh Pagauban, namun sayangnya kerajaan
Pananjung ini hancur diserang oleh para Bajo (Bajak Laut) karena pihak kerajaan
tidak bersedia menjual hail bumi kepada mereka, karena pada saat itu situasi rakyat
sedang dalam keadaan paceklik (gagal panen).
Pada
tahun 1922 pada jaman penjajahan Belanda oleh Y. Everen (Presiden Priangan)
Pananjung dijadikan taman baru, pada saat melepaskan seekor banteng jantan,
tiga ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa.
Karena
memiliki keanekaragaman satwa dan jenis – jenis tanaman langka, agar
kelangsungan habitatnya dapat terjaga maka pada tahun 1934 Pananjung dijadikan
suaka alam dan marga satwa dengan luas 530 Ha. Pada tahun 1961 setelah
ditemukannya Bunga Raflesia padma status berubah menjadi cagar alam.
Dengan
meningkatnya hubungan masyarakat akan tempat rekreasi maka pada tahun 1978
sebagian kawasan tersebut seluas 37, 70 Ha dijadikan Taman Wisata. Pada
tahun 1990 dikukuhkan pula kawasan perairan di sekitarnya sebagai cagar alam
laut (470,0 Ha) sehingga luas kawasan pelestarian alam seluruhnya menjadi
1000,0 Ha. Perkembangan selanjutnya, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.
104 KPTS-II 1993 pengusahaan wisata TWA Pananjung Pangandaran diserahkan dari
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam kepada Perum
Perhutani dalam pengawasan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, Kesatuan
Pemangkuan Hutan Ciamis, bagian Kemangkuan Hutan Pangandaran.
Terbentuknya
Kabupaten Pangandaran semakin terang sebagai sejarah baru Pangandaran-Jawa
Barat, berdasarkan sidang Paripurna DPR RI dan Menteri Dalam Negeri, Kamis, 25
Oktober 2012, Kabupaten Pangandaran disetujui menjadi Kabupaten Baru sebagai
Pemekaran dari Kabupaten Ciamis-Jawa Barat. Awal tonggak Sejarah Pangandaran
akan segera terlahir sebagai Daerah Otonomi Baru di Indonesia, sedangkan untuk
pembentukan susunan pejabat daerah, baru akan bisa dilaksanakan pada tahun 2013
mendatang, dan peresmian Kabupaten Pangandaran sekitar 9 bulan mendatang.
Sejarah
Baru Pangandaran menjadi Kabupaten sebagai awal lahirnya Pangandaran sebagai
Kota Wisata terpisah dari Kabupaten Ciamis. Jika kita pernah mendengar Sejarah
Pangandaran tempo dulu hanya sebuah perkampungan nelayan yang dihuni oleh
beberapa kepala keluarga, tetapi jika kita tengok lebih kebelakang tentang
cerita Pinisepuh dan Sesepuh Pangandaran, sesungguhnya Sejarah Pangandaran
begitu besar, kita bisa lihat di Cagar Alam Pangandaran banyak peninggalan
sejarah dari jaman KEDEWAAN seperti sendang Rengganis, sejarah Hindu seperti
Situs Batu Kalde, dan sejarah perkembangan Pangandaran hingga sekarang akan
menjadi Kabupaten Pangandaran.
2.
Potensi
Perikanan di Pangandaran
Dinas
Kelautan dan Perikanan Kab. Ciamis mencatat produksi tangkapan ikan laut yang
dilakukan nelayan di wilayah Ciamis selatan, sepanjang tahun 2011 mencapai
441,77 ton, atau perputaran uang yang dihasilkan mencapai angka Rp. 7,415
milyar.
Plh Kepala
DKP Kab. Ciamis, Sutriaman, Kamis (27/1), mengatakan, tangkapan ikan nelayan
belum optimal. Apalagi akhir-akhir ini, cuaca ektrim membuat nelayan tidak
mungkin untuk melaut. Angka tersebut sebetulnya masih belum optimal. Tangkapan
ikan kali ini juga dipengaruhi cuaca buruk dan gelombang pasang, jadinya kurang
maksimal. Padahal berdasarkan data tangkapan ikan tahun 2006 cukup lebih baik,
bahkan catatan tahun 2009 hasil tangkapannya jauh lebih baik, ungkapnya.
Sutriaman
mengutarakan, tangkapan ikan untuk tahun 2012 mengalami kemerosotan. Banyak
diantara nelayan yang enggan melaut, lantaran cuaca sering tidak bersahabat.
Padahal mereka berharap, dengan adanya bantuan kapal, hasil tangkapan ikan bisa
lebih meningkat seperti tahun-tahun sebelumnya.
Potensi hasil tangkapan ikan nelayan
Pangandaran, bisa mencapai Rp 200 juta perhari. Namun, belum semua potensi itu
bisa dimaksimalkan oleh nelayan, akibat keterbatasan alat tangkap modern,
katanya.
Di tempat
terpisah, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kab. Ciamis, Jeje
Wiradinata, menyebutkan, potensi hasil tangkapan ikan nelayan Pangandara bisa
berkisar antara Rp. 150 sampai 200 juta perhari, namun yang baru terealiasi
hanya sekitar Rp 50 juta. Meski pendapatan anjlok total. Namun hasil tangkapan
perhari masih bertahan di angka Rp.50 juta. Kondisi itu lumayan dianggap baik,
karena tangkapan ikan mengunakan alat tradisional, ungkapnya.Jeje menjelaskan,
kemungkinan hasil tangkapan ikan belum bisa stabil, selama cuaca tidak menentu.
Hanya saja, ada harapan lain, dengan pulihnya tujuh Koperasi Unit Desa (KUD)
yang ada di Pangandaran.
Terakhir KUD
yang dipulihkan yakni KUD Minasari Pangandaran, yang beroperasi kembali
pertanggal 10 Januari. Segala kebutuhan dan keperluan nelayan mudah-mudahan
terpenuhi, ungkapnya. Buntut pulihnya KUD, sejumlah Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) juga hidup. Harga ikan di tingkat nelayan juga mengalami kenaikan.
Misalnya, harga jual ikan bawal dari biasanya dijual Rp.140 ribu perkg, di TPI
Minasari bisa dilelang dengan harga Rp.195 ribu hingga Rp.200 ribu perkg. Dan
untuk bawal putih tipe dua saja bisa dijual serendah-rendahnya Rp.150 ribu per
kg.
Kepala
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis Sutriaman mengatakan jika pada
tahun 2013 ini, pihaknya mengalokasikan anggaran sebesar Rp 68 Milyar untuk pengembangan
budidaya ikan dari Kabupaten Ciamis. "Anggaran tersebut diproyeksikan
untuk Balai Benih Ikan (BBI) karena di Pangandaran wilayahnya sangat potensial
dalam pengembangan budi daya ikan. Sedangkan dana stimulan dari DAK tahun 2013
untuk Kelompok Kawungsari sebesar Rp 300 Juta," kata Sutriaman dalam
kegiatan Penilaian Kelompok Pembudidaya Ikan (POKDAKAN) Kawungsari Desa
Kertayasa Kecamatan Cijulang pekan lalu.
Penilaian
dilakukan langsung rombongan tim penilai Tingkat Provinsi Jawa Barat, yang
dihadiri oleh Penjabat Bupati Pangandaran Endjang Naffandy, Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis Sutriaman, Kepala Dinas Kelautan
Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Pangandaran, Adi Nugraha dan beberapa
Kepala SKPD, Camat, dan pelaku usaha perikanan se Kabupaten Pangandaran.
Ketua Tim Penilai Lomba UPR Tingkat Jabar Heri Gunawadi menyebutkan,
penilaian dilakukan dalam rangka pembinaan dan evaluasi tentang kegiatan usaha
perikanan. Harapannya produktivitas pembudidaya terdongkrak, namun berharap
binaan bukan hanya seremonial belaka saya yakin Pimpinan kepala daerah sekarang
bpk H Enjang Napandy lebih peduli dan pokus terhadap pemberdayaan yang sudah
nyata di masyarakat ujar Ujang Sapdia di kolam ikan koi di Cibenda Parigi
ketika di konfirmasi.
“Jujur
di sini kami beberapa orang yang tergabung dalam kelompok sudah berjalan hampir
4 tahun melaksanakan pemberdayaan ikan konsumsi (lele,gurame dll) adapun saat
ini kami memberdayakan ikan koi dan bebek pedaging alhamdulilah sudah panen
beberapa kali dan hasilnya lumayan bagus apalagi belum banyak pesaing.” Ujar
bpk H Enjang.
3.
Komunitas
nelayan di Pangandaran
Setiap komunitas terdiri atas elemen
pembentuknya yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan
utuh yang terikat melalui suatu jaringan sosial. Jaringan sosial pada suatu
masyarakat menunjukkan berbagai tipe hubungan sosial yang terikat atas dasar
identitas kekerabatan, ras, etnik, pertemanan, ketetanggaan, ataupun atas dasar
kepentingan tertentu. Menurut Boissevain (1978), jaringan sosial masyarakat
adalah struktur sosial masyarakat itu sendiri. Jaringan sosial adalah pola
hubungan sosial di antara individu, pihak, kelompok atau organisasi. Jaringan
sosial memperlihatkan suatu hubungan sosial yang sedang terjadi sehingga lebih
menunjukkan proses daripada bentuk (Bee, 1974). Menurut Warner (dalam Scott,
1991) hubungan sosial yang terjadi bersifat mantap/permanen, memperlihatkan
kohesi dan integrasi bagi bertahannya suatu komunitas, serta menunjukkan
hubungan timbal balik. Dengan demikian, suatu komunitas pada dasarnya merupakan
kumpulan hubungan yang membentuk jaringan sebagai tempat interaksi antara satu
pihak dengan pihak lainnya. Menurut Mitchell, (dalam Scott, 1991) kekuatan
jaringan dipengaruhi oleh resiprositas, intensitas, dan durabilitas hubungan
antarpihak.
Jaringan sosial pada komunitas nelayan
dapat dibedakan atas tiga bentuk, yaitu jaringan vertikal (hirarkis), jaringan
horizontal (pertemanan), dan jaringan diagonal (kakak-adik) (Wolf, 1966; Scott,
1972. Hubungan vertikal (hirarkis) adalah hubungan dua pihak yang berlangsung
secara tidak seimbang karena satu pihak mempunyai dominasi yang lebih kuat
dibanding pihak lain, atau terjadi hubungan patron-klien. Hubungan diagonal
adalah hubungan dua pihak di mana salah satu pihak memiliki dominasi sedikit
lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Hubungan horizontal adalah hubungan dua
pihak di mana masing-masing pihak menempatkan diri secara sejajar satu sama
lainnya. Pada kenyataannya dalam suatu komunitas, termasuk komunitas nelayan1,
ke tiga bentuk jaringan ini saling tumpang tindih dan bervariasi, serta bentuk
yang satu tidak dapat secara tegas dipisahkan dari bentuk lainnya (Rudiatin,
1997. Jaringan sosial ini merupakan salah satu bentuk strategi nelayan dalam
menghadapi lingkungan pekerjaannya yang tidak menentu (Rudiatin; Kusnadi,
2000).
Kehidupan nelayan terutama nelayan
tradisional dianggap sebagai kelompok masyarakat miskin dan seringkali
dijadikan objek eksploitatif oleh para pemilik modal(Bailey, 1982). Harga ikan
sebagai sumber pendapatannya dikendalikan oleh para pemilik modal atau para
pedagang/tengkulak (Mubyarto dan Dove, 1985), sehingga distribusi pendapatan
menjadi tidak merata. Gejala modernisasi perikanan tidak banyak membantu bahkan
membuat nelayan atau nelayan buruh menjadi terpinggirkan (Satria, 2001).
Kehadiran lembaga ekonomi, seperti koperasi, belum sepenuhnya dapat membantu
upaya peningkatan taraf hidup nelayan.
Ketergantungan para nelayan
tradisional kepada para pemilik modal cukup besar karena pendapatan mereka
tidak menentu, baik untuk memenuhi kebutuhan produksi ataupun kebutuhan hidup
rumah tangganya. Dalam penyediaan alat produksi, nelayan seringkali harus
membina hubungan dengan pihak penyandang dana. Nelayan pun membina hubungan
dengan nelayan buruh yang akan membantunya dalam kegiatan penangkapan ikan.
Dalam aktivitas distribusi pemasaran, para nelayan juga berhubungan dengan
pihak lain seperti para pedagang. Berbagai hubungan yang dibina oleh para
nelayan tersebut menunjukkan bahwa hubungan tersebut dapat seimbang atau tidak
seimbang. Hubungan tidak seimbang biasanya menjadi hubungan patron-klien,
dimana patron mempunyai dan memperoleh sumber daya yang berlebih dibanding
kliennya. Sedangkan hubungan yang seimbang memperlihatkan pola hubungan yang
bersifat pertemanan, seperti hubungan antarnelayan. Kedua pola hubungan sosial
tersebut terjadi pada kelompok nelayan kecil (tradisional) atau pun pada
kelompok nelayan besar. Namun, pola hubungan dalam kelompok nelayan besar lebih
kompleks daripada dalam kelompok nelayan kecil, baik segi kuantitas atau pun
kualitasnya.
Di Indonesia, sebagian besar kelompok
nelayan tergolong ke dalam jenis nelayan kecil (tradisional) yang memiliki pola
ekonomi subsisten. Untuk meningkatkan jumlah produksi mereka maka peralatan
produksinya perlu diganti dengan yang lebih modern. Namun beberapa penelitian
sebelumnya terhadap nelayan skala besar menunjukkan bahwa distribusi pendapatan
tidak memihak kepada mereka yang benar-benar sebagai nelayan, termasuk nelayan
buruh. Hal ini dikarenakan peralatan produksi merupakan milik penanam modal,
sedangkan nelayan hanya berperan sebagai anak buah kapal (ABK). Oleh karena
itu, surplus produksi lebih banyak dinikmati oleh para pemilik modal dan para
pedagang/tengkulak (Rudiatin, 1997; Kusnadi, 2000; dan Satria, 2001).
Modernisasi produksi bagi kalangan nelayan skala kecil tidak cukup dengan hanya
mengganti peralatan produksi. Meskipun demikian penting pula upaya
memberdayakan nelayan kecil sekaligus mengembangkan hubungan-hubungan sosial di
antara pihak yang terkait dalam sistem produksi dan sistem distribusi
pemasarannya.
Mengapa? Karena pada kedua aspek
tersebut, seringkali nelayan menempati posisi yang tidak menguntungkan.
Peningkatan usaha dan pendapatan nelayan tergantung dari dua aktivitas nelayan
tersebut, yaitu perbaikan sistem produksi dan sistem distribusi pemasaran. Ke
dua faktor ini penting mengingat perbaikan sistem produksi akan mengakibatkan
hasil produksi yang lebih besar, sedangkan perbaikan dalam sistem distribusi
pemasaran mengakibatkan pembagian keuntungan akan menyebar secara merata dan
adil.
Masalah yang dikaji sehubungan kondisi
di atas adalah sejauh mana kondisi hubungan sosial pada komunitas nelayan
tradisional yang menyebabkan nelayan berada dalam posisi yang kurang
menguntungkan. Makalah ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk
memperoleh gambaran tentang:
- Karakteristik sosial ekonomi nelayan Pangandaran
- Jaringan sosial komunitas nelayan yang berhubungan dengan aktivitas produksi, dan
- Jaringan sosial komunitas nelayan yang berhubungan dengan mekanisme distribusi pemasarannya.
- Karakteristik sosial ekonomi nelayan Pangandaran
- Jaringan sosial komunitas nelayan yang berhubungan dengan aktivitas produksi, dan
- Jaringan sosial komunitas nelayan yang berhubungan dengan mekanisme distribusi pemasarannya.
Makalah ini ditulis berdasarkan penelitian deskriptif
terhadap nelayan tradisional di desa Pangandaran Ciamis, Jawa Barat. Nelayan di
desa ini telah secara turun-temurun beraktivitas sebagai nelayan tradisional.
Populasi penelitian adalah seluruh nelayan di desa Pangandaran yang terdaftar
sebagai anggota koperasi nelayan Mina Sari, satu-satunya koperasi nelayan di
desa ini. Sampel dipilih secara acak sistematis (sistematic random sampling) berdasarkan
data anggota koperasi, sebanyak 40 responden nelayan (nelayan pemilik) dan 40
responden pendega (nelayan buruh). Data primer diperoleh melalui kuesioner.
Selain itu, data juga diperoleh melalui wawancara terstruktur dan wawancara
mendalam terhadap informan nelayan, pendega, pedagang, dan pengurus koperasi,
serta melalui pengamatan. Data sekunder diperoleh melalui buku Profil Desa dan
Laporan Tahunan Koperasi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus dan
Nopember tahun 2000, peneliti juga telah mengenal kehidupan nelayan di desa ini
pada masa sebelumnya.
Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan
Nelayan
merupakan jenis pekerjaan yang digeluti oleh lebih dari separuh penduduk desa
(56,8%), baik yang tergolong sebagai nelayan pemilik ataupun nelayan buruh
(pendega). Nelayan Pangandaran tergolong ke dalam nelayan kecil atau nelayan
tradisional, yang beroperasi menggunakan perahu kecil berawak dua orang dengan
cara kerja dan peralatannya masih sederhana. Salah satu faktor yang menyebabkan
nelayan Pangandaran tidak mengoperasikan jenis perahu besar seperti yang
digunakan oleh para nelayan besar adalah ketiadaan darmaga bagi kebutuhan
berlabuh. Demi peningkatan produksi, keberadaan dermaga ini sangat diidamkan
oleh para nelayan dan terus diupayakan agar pemerintah membangunnya. Meskipun
demikian hingga saat penelitian ini berlangsung, pembangunan dermaga tersebut
belum ada tanda-tanda terealisir.
Untuk menyokong kegiatan usaha,
nelayan membentuk koperasi (KUD Mina Sari) yang diharapkan dapat mempermudah
pengadaan peralatan. Koperasi ini berkembang menjadi usaha simpan pinjam yang
merupakan salah satu sumber dana bagi nelayan, baik kebutuhan dana operasional
usaha ataupun untuk keperluan rumah tangganya. Koperasi ini terus berkembang
bahkan hingga saat ini telah mempunyai tambahan unit usaha berupa gedung
pertemuan dan olah raga serta warung telepon. Jumlah anggota koperasi pada
tahun 1999 sebanyak 668 orang. Koperasi ini tidak terbuka bagi nelayan buruh
walaupun ada pendega yang telah menjadi anggota koperasi karena sudah lama dan
faktor pertimbangan lain yang diputuskan oleh rapat anggota koperasi.
Kepentingan pendega atas pelayanan koperasi, seperti pinjaman uang atau barang,
diatasnamakan kepada nelayan (sebagai majikannya).
Koperasi ini juga menangani kegiatan
pemasaran (distribusi) ikan melalui kegiatan usaha tempat pelelangan ikan
(TPI). TPI yang dikelola koperasi adalah satu-satunya pintu masuk bagi para
pedagang/tengkulak untuk melakukan pelelangan ikan. Tidak semua
pedagang/tengkulak dapat ikut lelang di TPI tetapi hanya sekitar 4-5 orang
pedagang yang bermodal besar. Para nelayan tidak berhubungan langsung dengan
para pedagang atau tengkulak dalam proses pelelangan ikan tetapi diserahkan sepenuhnya
kepada petugas TPI.
Selain koperasi, pada pertengahan
tahun 2000 telah pula terbentuk susunan pengurus kelompok nelayan di bawah
naungan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). HNSI Pangandaran membawahi
seluruh nelayan Pangandaran dan sekitarnya. Oleh karena pembentukan susunan
pengurus HNSI baru dibentuk tidak lama sebelum penelitian dilakukan, maka
kegiatan atau pun sosialisasi program yang akan dijalankan belum dapat didiskusikan.
Jaringan Sosial dalam Sistem Produksi Nelayan
Jaringan Sosial dalam Sistem Produksi Nelayan
Pada umumnya, para nelayan majikan di
Pangandaran adalah pemilik alat produksi dan ikut terlibat langsung dalam
proses produksi (penangkapan ikan). Hanya sebagian kecil dari mereka yang
tergolong menjadi nelayan yang tidak aktif melaut. Mereka tidak aktif karena
faktor usia atau perempuan yang melanjutkan usaha suami.
Bagaimana jaringan sosial sehubungan
dengan kegiatan produksi? Sistem produksi nelayan terdiri dari beberapa
kegiatan, yaitu kegiatan penyediaan alat-alat produksi pemeliharaan alat-alat
produksi dan penangkapan ikan.
Pengadaan Alat-alat Produksi
Pengadaan Alat-alat Produksi
Alat-alat
produksi seperti perahu, jaring, mesin, wadah-wadah dan alat-alat lainnya
disediakan oleh nelayan itu sendiri. Alat-alat tersebut pada umumnya dibeli
dari pihak lain. Nelayan harus menyediakan modal uang untuk membeli peralatan
tersebut. Memang, modal uang tidak selamanya berasal dari uang milik sendiri
tetapi berupa pula uang pinjaman. Hampir separuh nelayan (45%) masih
membutuhkan dana pinjaman untuk membeli peralatan. Pihak utama yang menjadi
penyedia modal adalah koperasi. Pihak lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Oleh karena itu, nelayan tradisional di Pangandaran dapat dikatakan sebagai nelayan pemilik modal atau pemilik alat produksi sekaligus sebagai nelayan yang aktif melaut. Hal ini berbeda dengan kondisi nelayan skala besar karena pemilik peralatan biasanya para pemilik modal yang tidak aktif melaut, sedangkan nelayannya hanya berperan sebagai anak buah kapal (Bailey, 1982; Lampe, 1989; Rudiatin, 1997; Kusnadi, 2000; Satria, 2001). Oleh karenanya, pemilik modal dapat dibedakan menjadi pemilik modal yang meminjamkan uangnya kepada nelayan, seperti koperasi, dan pemilik modal yang menginvestasikan uangnya untuk membeli peralatan produksi sebagai miliknya sendiri.
Peralatan produksi diperoleh nelayan dengan cara membeli di koperasi ataupun di tempat lain. Perahu biasanya dibeli dari Cilacap Jawa Tengah, sebuah kota nelayan di pantai selatan Jawa Tengah yang letaknya tidak jauh dari Pangandaran. Pembelian perahu ini biasanya difasilitasi oleh koperasi sekaligus sebagai penyandang sebagian bahkan keseluruhan dana yang diperlukan. Dalam pelaksanaannya, biasanya satu atau dua pengurus koperasi melakukan pembelian perahu tersebut ataupun peralatan lainnya, yang kadangkala pula pergi bersama-sama dengan nelayan yang membutuhkannya.
Oleh karena itu, nelayan tradisional di Pangandaran dapat dikatakan sebagai nelayan pemilik modal atau pemilik alat produksi sekaligus sebagai nelayan yang aktif melaut. Hal ini berbeda dengan kondisi nelayan skala besar karena pemilik peralatan biasanya para pemilik modal yang tidak aktif melaut, sedangkan nelayannya hanya berperan sebagai anak buah kapal (Bailey, 1982; Lampe, 1989; Rudiatin, 1997; Kusnadi, 2000; Satria, 2001). Oleh karenanya, pemilik modal dapat dibedakan menjadi pemilik modal yang meminjamkan uangnya kepada nelayan, seperti koperasi, dan pemilik modal yang menginvestasikan uangnya untuk membeli peralatan produksi sebagai miliknya sendiri.
Peralatan produksi diperoleh nelayan dengan cara membeli di koperasi ataupun di tempat lain. Perahu biasanya dibeli dari Cilacap Jawa Tengah, sebuah kota nelayan di pantai selatan Jawa Tengah yang letaknya tidak jauh dari Pangandaran. Pembelian perahu ini biasanya difasilitasi oleh koperasi sekaligus sebagai penyandang sebagian bahkan keseluruhan dana yang diperlukan. Dalam pelaksanaannya, biasanya satu atau dua pengurus koperasi melakukan pembelian perahu tersebut ataupun peralatan lainnya, yang kadangkala pula pergi bersama-sama dengan nelayan yang membutuhkannya.
Sebagai penjerat ikan, para nelayan
menggunakan jaring nilon/gilnet, jaring senar, jaring arad, jogol dan pancing.
Untuk memperoleh jaring ini, nelayan dapat membelinya dari koperasi, toko atau
pedagang keliling yang juga menyediakan alat-alat lainnya. Ada pula nelayan
yang membelinya di Tanjung Priok Jakarta atau di Cirebon karena harganya lebih
murah.
Kondisi yang sama juga berlaku dalam
pembelian/penyediaan mesin motor. Mesin motor dapat mereka peroleh dengan cara
membeli di toko terdekat atau tempat lain dengan perkiraan memperoleh harga
yang lebih murah. Beberapa nelayan membeli mesin motor bekas yang diperolehnya
melalui perantara yang mendapatkannya dari Cilacap, Cirebon ataupun Jakarta
dengan harga separoh dari harga baru.
Kalangan pendega sebetulnya juga
berkeinginan untuk menjadi nelayan yang mempunyai peralatan produksi sendiri
(82,5%). Namun hingga saat ini mereka tidak memiliki dana untuk membeli alat
produksi tersebut. Terdapat beberapa hambatan yang dirasakan pendega dalam
upaya mereka memperoleh dana. Hampir separuh dari para pendega (45%) kesulitan
mencari pinjaman dana karena merasa tidak memiliki jaminan/agunan, dan sekitar
sepertiganya (35%) karena merasa penghasilannya tidak menentu sehingga takut
tidak dapat mengembalikan pinjaman.
Pemeliharaan Alat-alat Produksi
Pemeliharaan Alat-alat Produksi
Kegiatan lain sehubungan kegiatan
produksi ini adalah kegiatan pemeliharaan alat-alat produksi. Alat yang secara
rutin memerlukan perhatian nelayan adalah jaring penangkap ikan. Walaupun
demikian tentunya dua peralatan lainnya (perahu dan mesin motor) juga
membutuhkan perhatian, meskipun untuk kedua alat ini pada tingkat kerusakan
tertentu dikerjakan oleh bengkel. Kegiatan pemeliharaan alat ini biasanya
melibatkan nelayan sendiri, pihak keluarga dan pendega, serta pihak lain seperti
warung/toko sebagai penyedia bahan dan bengkel sebagai penyedia jasa
terampil.
Kerusakan yang terjadi pada alat
jaring, seperti jaring sobek, dikerjakan oleh nelayan dan pendega. Keterlibatan
pendega dalam kegiatan ini merupakan bagian dari tugas sebagai pendega. Namun,
tugas ini lebih merupakan bantuan yang diharapkan oleh nelayan dari pendeganya.
Pekerjaan seperti membetulkan jaring ini seringkali menjadi sumber konflik
ringan manakala pendega tidak ikut terlibat dengan alasan yang tidak jelas. Nelayan
biasanya tidak senang bila mempunyai pendega yang tidak peduli dengan urusan
ini, kecuali ada urusan yang sangat penting. Jika hal ini terjadi, nelayan
harus mengerjakannya seorang diri atau dibantu oleh salah satu anggota
keluarganya. Jika ketidakpedulian pendega berulang kali dilakukan maka dapat
menjadi sebab terjadinya pemutusan hubungan kerja. Di sini terlihat bahwa
hubungan melayan-pendega tidaklah setara tetapi memperlihatkan hubungan yang
hirarkis. Namun jika pendega peduli akan hal ini maka akan potensial untuk
membentuk dan mempertahankan jalinan hubungan sosial nelayan-pendega. Kondisi
tersebut sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan hubungan nelayan pendega dalam
kegiatan pemeliharaan perahu dan mesin motor. Pada tingkat tertentu, ketika kerusakan
perahu dan mesin yang tidak membutuhkan jasa trampil biasanya kegiatan ini
hanya melibatkan nelayan dan pendega. Sebuah kasus yang terjadi saat penelitian
ini dilakukan adalah seorang nelayan tidak pergi ke laut karena galah
penyeimbang perahu patah terkena ombak. Kejadian ini menyebabkan pendega harus
libur kerja dan justru ditugaskan untuk mengganti galah tersebut, yaitu dengan
mencari bambu dari jenis tertentu yang tempatnya cukup jauh. Berkenaan dengan
pekerjaan ini, pendega tersebut tidak menerima upah khusus dari nelayan
majikannya tetapi hanya diberi uang untuk keperluam membeli bambu dan transport
saja. Demikian pula jika terjadi kerusakan pada mesin motor maka orang yang
mengantarkannya ke bengkel adalah nelayan sendiri, anggota keluarga, atau oleh
pendeganya. Pendega biasanya menjadi pihak tumpuan nelayan dalam mengerjakan
hal yang berkaitan dengan pekerjaan nelayan di luar kegiatan mencari/menangkap
ikan di laut. Dengan demikian sebenarnya pekerjaan nelayan dapat dibedakan ke
dalam dua jenis, yaitu pekerjaan di laut dan pekerjaan di darat.
Pekerjaan di laut lebih merupakan
hubungan kerja yang memperlihatkan hubungan yang bersifat ekonomi semata. Hal
ini dapat dijumpai pada hubungan kerja antara nelayan dengan siapapun yang
menjadi pendeganya. Baik pendega tetap maupun pendega sementara (‘cabutan’)
mendapatkan upah yang sama, yaitu 20% dari penghasilan kotor. Sedangkan
pekerjaan di darat kurang memperlihatkan hubungan kerja yang bersifat ekonomi
tetapi justru lebih melibatkan dimensi lain, sosial dan psikologis. Mengapa
demikian? Pekerjaan di darat ini dianggap nelayan sebagai konsekuensi logis
dari hubungan kerja nelayan-pendega yang merupakan wujud kebersamaan dalam
rangka mencari nafkah sehingga harus saling membantu. Dari pihak pendega diketahui
bahwa sudah sepantasnya bila pendega membantu pekerjaan nelayan karena pendega
memiliki ketergantungan kepada nelayan, bukan saja sebatas hubungan kerja
tetapi juga hubungan di luar kerja. Seringkali pada masa sulit ikan,
penghasilan menurun, pendega membutuhkan uluran tangan majikannya (nelayan)
demi menutupi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Jadi, majikan diposisikan
sebagai pelindung dan penjamin sosial bagi kehidupan keluarga pendega. Kasus
seorang pendega ketika menyelenggarakan hajatan sunatan anaknya, misalnya, ia
menerima bantuan dana hajatan, biaya sewa mobil, dan biaya dokter. Majikannya
tersebut juga menjadi orang yang dituakan dalam acara hajatan tersebut.
Demikian pula terjadi hal yang sebaliknya, pada kasus yang dialami isteri seorang
pendega yang ikut membantu membuat kue dan makanan lainnya pada keluarga
majikan (nelayan) ketika majikannya menikahkan putranya. Dari kasus ini
terlihat bahwa hubungan antara nelayan dan pendega tidak hanya terbatas pada
‘kontrak’ kerja tetapi meluas pada hubungan sosial dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Kegiatan Penangkapan Ikan
Kegiatan Penangkapan Ikan
Beberapa kegiatan yang termasuk dalam
kegiatan penangkapan ikan ini adalah penyiapan peralatan dan penangkapan ikan.
Pihak yang terkait dengan nelayan dalam kegiatan ini adalah pendega, anggota
keluarga, jasa angkut peralatan dan jasa angkat-turun perahu ke laut
(pangegoh).
Kegiatan penangkapan ikan dilakukan
pada waktu yang cukup bervariasi. Secara umum dapat dibedakan ke dalam tiga
golongan yaitu penangkapan ikan pada pagi hari, siang/sore hari, dan malam
hari. Penyiapan jaring dan mesin biasanya melibatkan nelayan dan pendega,
kadang-kadang juga anggota keluarga nelayan. Peranan anggota keluarga dalam
proses produksi ini terletak dalam proses persiapan ketika hendak berangkat ke
laut. Isteri biasanya berperan dalam menyiapkan perbekalan makan dan anak yang
laki-laki biasanya membantu dalam menyiapkan kelengkapan lainya, seperti
membantu mengangkat jaring atau mesin. Sebagian nelayan juga mempunyai
tukang/jasa angkut yang sekaligus mempersiapkan peralatannya. Peralatan
selengkapnya dibawa dengan menggunakan gerobak dorong dari rumah ke pantai atau
sebaliknya dari pantai ke rumah.
Pihak yang tidak kalah pentingnya
dalam proses kegiatan produksi adalah para pangegoh. Pangegoh bertugas
memindahkan perahu di pantai yaitu menaikkan perahu dari air ke darat atau
sebaliknya menurunkannya dari darat ke air. Pangegoh ini bekerja dalam bentuk
kelompok. Satu kelompok pangegoh terdiri dari 8 orang. Di antara sesama
pangegoh telah dibagi berdasarkan wilayah dan mereka harus selalu siap bekerja
kapanpun diperlukan para nelayan yang hendak melaut. Setiap kelompok pangegoh
menangani sekitar 30 perahu. Pangegoh ini mendapatkan upah secara harian,
setelah nelayan selesai menjual ikannya di TPI.
Dalam mencari ikan, sesuai dengan
jenis perahu bertipe kecil, cukup dilakukan oleh dua orang, yaitu seorang
nelayan (majikan) dan seorang pendega. Jumlah pendega yang menjadi mitra
nelayan sama dengan jumlah perahu yang dimilikinya. Pemilikan jumlah perahu
terbanyak adalah dua perahu (82,5%). Para nelayan tidak bisa bekerja bila tidak
ada pendega sebagai pendampingnya. Pembagian tugas di laut tidaklah tegas,
seperti kegiatan menyebar atau menarik jaring tidaklah kaku, keduanya saling
berganti dalam melakukan berbagai pekerjaan.
Dalam bidang pendapatan, nelayan
majikan mendapatkan bagian yang lebih tinggi (80%). Besarnya jumlah pembagian
yang diperoleh nelayan majikan dikarenakan majikan menguasai peralatan
produksi, dimana untuk perlatan tersebut, majikan memperolah bagian sebesar
60%. Akan tetapi bila dilihat dari peran mereka sebagai nelayan maka baik
majikan ataupun pendega sama-sama memperoleh bagian sebesar 20%. Upah sebesar
itu merupakan konsekuensi logis dari hubungan kerja (ekonomi) selama 6-8 jam
melaut mencari ikan. Hal ini berlaku secara umum pada komunitas nelayan di
Pangandaran yang menentukan pembagian hasil tidak berdasar upah tetap (absolut)
tetapi berdasarkan prosentase dari pendapatan sekali penangkapan ikan.
Secara ekonomi, status majikan lebih
tinggi dari pendeganya. Kemampuan ekonomi yang relatif terbatas dari pendega
seringkali mengakibatkan majikan menjadi salah satu pihak yang dimintai bantuan
oleh si pendega. Berdasarkan kemampuan ekonomi ini, nelayan majikan menjadi patron
bagi si pendega. Berbagai bantuan pada bidang ekonomi dari majikan menjadikan
pendega mempunyai utang budi terhadap majikannya. Sebagai contoh lebih dari dua
pertiga (82,5%) dari pendega pernah memiliki hutang kepada majikannya. Saat
ini, hampir separuh pendega (42,5%) mempunyai hutang kepada majikannya dan
lebih dari separuhnya (60%) meminjam dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi
sehari-hari. Dengan demikian, hubungan nelayan dengan pendega bukanlah
semata-mata terbatas pada hubungan kerja (bersifat ekonomi) tetapi juga meluas
pada hubungan di luar hubungan kerja tersebut. Keterikatan keduanya dalam
hubungan kerja diperkuat oleh hubungan sosial yang mereka bentuk di luar
hubungan kerja.
Dalam mencari calon pendega, lebih
dari separuh nelayan mencarinya sendiri (57,5%), sedangkan sisanya
mendapatkannya melalui perantara seperti keluarga/kerabat, tetangga, atau
teman. Dilihat dari siapa itu pendega dalam hubungannya dengan nelayan, sekitar
sepertiga (37,5%) pendega merupakan orang lain (bukan kerabat, tetangga atau
teman) yang biasanya berasal dari luar desa, tetapi sekitar sepertiga juga
(35%) pendega masih mempunyai hubungan keluarga/kerabat dengan nelayan.
Sedangkan sepertiga lainya merupakan tetangga dan teman. Hal ini menunjukkan
bahwa para nelayan tidak terlalu mementingkan asal usul atau kedekatan sosial
siapa yang menjadi pendeganya. Aspek yang dipentingkan adalah pendega mau
bekerja dengan baik, jujur, dan ada saling pengertian (cocok) karena menurut
mereka tidak selamanya pendega yang berasal dari kerabat sendiri mempunyai hubungan
kerja sama yang baik.
Dalam mempertahankan dan membina
hubungan baik dengan para pendeganya, para nelayan berupaya bertindak baik
terhadap para pendega (40%) dan ikut menyelesaikan kesulitan yang dihadapi
pendega (35%). Sebagai contoh, bilamana ada di antara pendega yang membutuhkan
dana maka majikan dianggap perlu untuk memberikan bantuan. Data menunjukkan
bahwa hampir separuh nelayan (42.5%) mengakui bahwa para pendeganya saat ini
masih mempunyai hutang (pinjaman) karena kebutuhan ekonomi sehari-hari (50%).
Begitu pula dalam menjaga hubungannya dengan majikan, para pendega berusaha
untuk bertindak baik kepada majikan/ keluarganya (27,5%) dan menjaga kejujuran,
rajin serta tepat waktu bila diperlukan oleh majikan (65%). Saling membantu
dalam pekerjaan dan kehidupan keseharian menjadi faktor penting dalam
mempertahankan hubungan sosial di antara mereka.
Jaringan Sosial Dalam Sistem Distribusi Pemasaran
Jaringan Sosial Dalam Sistem Distribusi Pemasaran
Sistem distribusi yang dimaksudkan
adalah sistem penjualan dari hasil ikan yang diperoleh nelayan. Sistem
distribusi dapat dilihat melalui dua kegiatan yaitu kegiatan pengangkutan dan
penjualan/pelelangan ikan. Kegiatan pengangkutan adalah kegiatan penanganan
ikan yang dilakukan sejak tibanya atau kembalinya nelayan dari kegiatan
menangkap ikan hingga ikan tersebut berada di tempat penjualan ikan, yaitu
tempat pelelangan ikan (TPI) atau pihak konsumen. Kegiatan distribusi ini juga
dikenal sebagai kegiatan pemasaran. Secara umum, pihak yang terlibat dengan
nelayan dalam sistem distribusi atau pemasaran ikan ini adalah jasa angkutan,
pihak TPI/Koperasi, dan pedagang.
Kebutuhan Angkutan
Kebutuhan Angkutan
Jasa angkutan dalam sistem distribusi
ini adalah jasa pembawa ikan hasil tangkapan dari pantai ke tempat pelelangan.
Pada awalnya jasa ini dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan gerobak
dorong atau becak sebagai alat angkutnya tetapi pada saat ini telah menggunakan
mobil sehingga daya angkutnya semakin banyak (ikan milik beberapa nelayan dapat
diangkut secara sekaligus) dan semakin cepat. Pada saat para nelayan merapat ke
pantai maka tukang angkut membawa ikan milik para nelayan ke TPI secara silih
berganti.
Sebagian nelayan bahkan tidak hanya
mempercayai pengangkut ikan ini dalam kegiatan pengangkutan ikan saja tetapi
kadang-kadang ia diminta untuk ‘menjual’ ikan di tempat lelang. Pada kondisi
seperti ini, nelayan hanya menerima uang hasil penjualan ikannya di rumah. Para
pengangkut ikan ini mendapatkan upah dengan tarif yang tidak tetap, tergantung
dari jarak dari lokasi pendaratan ke TPI, dan jumlah (berat) ikan. Nelayan dan
pengangkut ikan ini sudah mempunyai perkiraan berapa jumlah upah yang
semestinya. Pada saat harga ikan sedang tinggi dan hasil tangkapan tergolong
banyak, tukang angkut inipun akan menerima upah yang lebih (ada tip) dari
biasanya. Hubungan keduanya tetap berjalan dengan baik karena diantara mereka
terjadi hubungan yang saling menguntungkan.
Sistem Pelelangan Ikan
Sistem Pelelangan Ikan
Setelah ikan tiba di tempat pelelangan
(TPI), nelayan menunggu saat pelelangan dilakukan. Pelelangan biasanya
dilakukan sekitar jam 09.00 hingga jam 13.00 tetapi juga tergantung dari
kondisi kapan biasanya para nelayan mendarat setelah menangkap ikan di laut. Di
TPI ini nelayan berhubungan dengan petugas TPI dan para pembeli, yaitu para
tengkulak atau pedagang ikan yang sudah mendapat ijin dari koperasi untuk
melakukan pelelangan. Para pedagang mempunyai pelanggan para pedagang pasar
lokal (Pangandaran dan sekitarnya), pasar di kota (seperti Banjar, Ciamis, dan
Tasikmalaya), juga pemasok kepada PT X yang bergerak di bidang pengolahan ikan
yang masih berdomisili di Pangandaran. Sedangkan para pedagang atau konsumen
lain hanya dapat membeli ikan dari para pedagang yang terlibat lelang di
TPI.
Mekanisme Pelelangan
Mekanisme Pelelangan
Sebelum pelelangan ikan dimulai, para
pedagang menyetorkan sejumlah uang kepada pihak administrasi TPI sebagai dana
pembelian ikan. Para nelayan tidak bertransaksi langsung dengan para
pedagang/tengkulak yang sudah mendapatkan ijin dari koperasi/TPI tetapi di
antara keduanya difasilitasi oleh petugas TPI. Petugas TPI mencatat semua
transaksi penjualan ikan untuk setiap nelayan. Ikan yang datang di TPI kemudian
diletakan di lantai berupa tumpukan ikan yang sejenis atau ditempatkan dalam
wadah.
Fluktuasi harga ikan di TPI merupakan
kesepakatan pedagang dan petugas TPI berdasarkan pada jenis ikan, jumlah total
ikan sejenis pada hari itu, dan kualitas kesegaran ikan. Nelayan tidak
mempunyai kekuatan apapun dalam menentukan harga. Nelayan hanya menggerutu jika
terjadi harga ikan di bawah standar. Namun tidak jarang pula terjadi keributan
kecil (konflik) antara nelayan dengan tengkulak dan petugas TPI karena harga
ikan yang rendah dianggap sebagai hasil ‘persekongkolan’. Proses tawar menawar
pada kondisi ini, nelayan berada pada posisi yang lemah, begitu pula posisi
petugas TPI. Namun secara umum, hampir sepertiga responden (32,5%) menyatakan
bahwa harga jual ikan di TPI lebih banyak mengikuti keputusan para pedagang
tetapi sisanya (67,5%) menganggap TPI yang lebih sering menentukan harga ikan.
Setelah kegiatan pelelangan ikan
selesai, para nelayan dapat mengambil uang hasil penjualan ikan ke petugas TPI.
Pada saat inilah petugas administrasi memotong uang nelayan untuk keperluan
yang ada sangkutpautnya dengan kewajiban nelayan terhadap koperasi.
Penjualan ikan kepada pihak di luar
TPI pada dasarnya karena sesuatu hal. Hampir separuh responden (42,5%) pernah
menjual ikannya tidak melalui TPI tetapi langsung berhubungan dengan para
pedagang eceran/bakul (25%), para tengkulak/ pemborong di luar TPI (7,5%), atau
langsung ke PT X (5%). Hal ini mereka lakukan hanya pada kondisi yang khusus,
misalnya ketika mereka tidak mendapatkan ikan yang cukup layak untuk dijual di
TPI, atau sedang terlibat perjanjian hutang (ijon) dengan tengkulak/bakul
tertentu, atau ingin mendapatkan harga jual yang relatif lebih tinggi dibanding
harga jual di TPI saat itu. Namun secara umum, koperasi/TPI dianggap mampu
memberikan harga lebih tinggi daripada pihak lain (57,5%).
4.
Potensi
pariwisata di Pangandaran
Pangandaran
merupakan salah satu kecamatan paling selatan di kabupaten Ciamis, Jawa Barat
yang memiliki wilayah kepesisiran. Wilayah kepesisiran di Pangandaran ini
secara umum telah di kembangkan sebagai daerah tujuan wisata, baik domestik
maupun mancanegara.Potensi di bidang pariwisata di Pangandaran ini tidak lepas
dari tipologi patai yang dimiliki oleh pesisir Pangandaran.
Tipologi coast build by organism yang
terdapat di Pangandaran keberadaannya berasosiasi dengan Tipologi
marine deposition coast. Pantai ini bersebelahan dengan pantai
pasir putih. Pantai ini memiliki reeffrom sejauh 100 meter ke arah breaker zone
laut dimana kedalamannya kurang dari 2 meter. Di pantai ini terdapat hamparan
terumbu karang yang tumbuh cukup intensif. Pantai dengan tipologi seperti ini
hanya terbentuk di satu sudut pantai di pulau pananjung. Walaupun areanya
tergolong sempit, tetapi tipologi pantai seperti ini sudah dimanfaatkan
oleh pemerintah setempat untuk spot wisata snorkeling.
Tipologi wave erosion coast terdapat
padasebagian besar tanjung Pulau Pananjung Pangandaran Tipologi ini nampak
dengan ciri-ciri seperti bentuk pantai yang berliku atau terjal tidak teratur,
material pantai didominasi material pasir. dan ditandai dengan keberadaan stack
berupa hancuran batuan-batuan dengan berbagai ukuran yang berasal dari dinding
pantai (cliff). Dinamika pantai yang terjadi pada daerah ini adalah
erosi oleh gelombang (abrasi). Meskipun demikian, karena material penyusun
batuan di wilayah ini adalah batuan gamping yang keras, dan tidak terdapat
sarana dan prasarana umum yang berada disana sehingga abrasi yang terjadi di
sana tidak begitu beresiko dan membayakan.
Berdasarkan tipologi yang
dimilikinya,Pantai Pangandaran memiliki potensi parawisata yang cukup besar
diwilayah kepesisirannya.
Masing-masing tipologi pesisir
memiliki potensi di jadikan tempat wisata, mengingat masing-masing tipologi pantai
memiliki karakteristik yang unik yang layak ditawarkan sebagai objek
wisata. Tipologi wave erosion coast memiliki kenampakkan laut
lepas yang luas. Selain itu tipologi ini pada beberapa tempat memungkinkan
untuk digunakan sebagai arena panjat tebing.
Tipologi pesisir dengan
tipe Marine deposition coast memiliki gisik pantai yang dapat
digunakan sebagai tempat bermain, berenang, jala-jalan dan beberapa aktifitas
lain yang dapat dilakukan selama berwisata.
Selain suasana pantai yang bisa kita
nikmati di Pangandaran, kita juga bisa mengunjungi salah satu obyek
wisata alam yang memiliki daya tarik khusus yaitu Citumang Pangandaran.
Obyek
Wisata Citumang Pangandaran yaitu sungai Citumang yang mengalir membelah hutan
jati dengan airnya yang bening kebiruan. Tepian sungai yang terdiri dari
ornamen batu-batu padas dengan relung dalam dihiasi relief alam dan aliran
sungai yang menembus ke dalam goa. Keheningan alam akan Anda jumpai disini.
Musik alami berupa gemercik air sungai, bisikan angin sepoi yang menyelinap di
antara pepohonan dan suara satwahutan yang tak pernah sepi. Obyek wisata ini
terletak di Desa Bojong Kecamatan Parigi Ciamis, berjarang lebihJalan menuju lokasi
kurang 15 km dari Pangandaran ke arah barat. Atau sekitar 4 km dari jalan raya
Pangandaran - Cijulang. Jarak seluruhnya dari kota Ciamis sekitar 95 km.
Dapat dicapai dengan kendaraan umum jurusan Cijulang, dilanjutkan dengan kendaraan ojeg, disambung dengan jalan kaki menelusuri tepi sungai dan kebun pendudukan sepanjang 500 meter.
Sisi lain CitumangSetelah melewati pintu masuk, kurang lebih 300 meter perjalanan yang harus Anda tempuh menuju titik tujuan. Sambil berjalan menuruh lokasi, perlu Anda ketahui bahwa nama Citumang berasal dari legenda tentang seekor buaya buntung, Si Tumang. Begitu kuatnya kepercayaan penduduk akan kehadirna buaya buntung tersebut sehingga sampai sekarang meninggalkan nama yang melekat kuat menjadi nama sungai. Versi lain kisah Citumang, berasal dari Cai (Bhs. Sunda = air) yang numpang (cai numpang) yang berkaitan dengan adalah air sungai yang mengalir di bawah tanah. Kata cai numpang ini seiringAir yang bening menanti Andaperjalanan waktu lama-lama berubah menjadi Citumang.
Ketika Anda jumpai sungai yang
rimbun dengan pohon di tiap sisinya, lanjutkan perjalanan Anda agak ke hulu,
karena di sanalah bening dan sejuknya air dapat segera Anda nikmati.Tibalah
kita di tempat tujuan. Aliran air yang mengalir menanti Anda untuk segera turun
menikmati bening dan sejuknya air.
Pada kedalaman tertentu Anda dapat
menikmatinya dengan mandi dan berenang. Lima ratus meter dari lokasi pamandian
ke arah hulu, dijumpai pesona alam berupa aliran sungai Citumang yang masuk ke
dalam perut bumi dan keluar lagi di arah hilir. Aliran sungai yang masuk ke
dalam goa ini diberi nama Goa Taringgul yang kemudian diberikan nama baru
sebagai Sanghyang Tikoro (Batara Tenggorokan).
Menikmati Citumang, tidak sekedar
mandi dan berenang seperti yang selama ini banyak dilakukan wisatawan asing,
tapi dapat AndaAir keluar dari Sanghyang Tikorolakukan kegiatan lainnya
seperti: menikmati suasana sepanjang sungai, petualangan ke dalam goa dan
menikmati privacy di tengah alam yang asli, sejuk dan eksotis.
BAB III
ANALISISIS
Jaringan sosial pada komunitas nelayan
Pangandaran, seperti yang telah terurai di atas, terlihat dari
hubungan-hubungan sosial yang terjadi di dalamnya. Data memperlihatkan adanya
hubungan campuran dari ketiga bentuk hubungan sosial, yaitu hubungan vertikal
atau hirarkis, hubungan diagonal dan hubungan horisontal. Hal ini tergantung
dari konteks dan situasi di mana interaksi itu terjadi, misalnya yang terjadi
pada hubungan antara nelayan dan pandega, bergerak dari hubungan horizontal
hingga hubungan hirarkis, bahkan lebih mendalam lagi seperti hubungan
bapak-anak.
Hubungan sosial yang terbentuk dalam
proses produksi antara nelayan dengan nelayan buruh adalah ketiga bentuk
hubungan di atas, yakni hubungan horisontal hingga hubungan vertikal bahkan
seperti hubungan bapak-anak. Dalam hubungan ini, dominasi berada di pihak
nelayan. Sedangkan hubungannya dengan koperasi dan pedagang, nelayan lebih
banyak menempati posisi subordinat.
Dalam aktivitas distribusi pemasaran, beberapa
pihak yang mempunyai posisi penting adalah TPI/Koperasi dan pedagang. Hubungan
sosial dalam aktivitas ini bersifat diagonal dan hirarkis, dimana nelayan dalam
posisi subordinat. Dalam kondisi hubungan demikian, nelayan berada dalam posisi
yang tergantung kepada pihak lain dan berkonsekuensi pada pembagian keuntungan
yang tidak berpihak kepada nelayan.
Peningkatan usaha dan pendapatan
nelayan tergantung dari dua aktivitas nelayan, yaitu peningkatan pada sistem
produksi dan sistem distribusi pemasaran. Kedua faktor ini penting mengingat
peningkatan sistem produksi akan mengakibatkan hasil produksi yang lebih besar,
sedangkan perbaikan dalam sistem distribusi pemasaran mengakibatkan pembagian
keuntungan akan menyebar secara merata dan adil.
Perbaikan sistem produksi menyangkut
kebutuhan nelayan akan modal usaha. Lembaga penyedia modal, seperti koperasi
dan bank, tidak selalu mudah memberikan pinjaman modal kepada nelayan. Hal ini
menyebabkan beberapa nelayan mencari sumber lain seperti pemodal perorangan
atau kerabatnya, dimana masing-masing membawa risiko tersendiri. Melihat
kondisi ini, koperasi perlu diberikan suntikan dana sehingga dengan modal yang
cukup itu nelayan tidak perlu mengantri untuk mendapatkan tambahan modal usaha.
Demi kesejahteraan nelayan, terutama nelayan buruh, ke depan perlu pula
dipikirkan pentingnya keterlibatan nelayan buruh sebagai anggota koperasi
terutama bagi mereka yang telah memantapkan dirinya untuk bekerja sebagai
nelayan.
Berhubungan dengan bank (BRI), nelayan
masih menghadapi persoalan jaminan serta keluwesan dalam membayar angsuran,
mengingat fluktuasi pendapatan nelayan cukup tinggi. Keluwesan persyaratan bank
memungkinkan nelayan dari kalangan yang paling bawah dapat memanfaatkan
fasilitas kredit pinjaman. Perlu dipertimbangkan bahwa agunan dalam bentuk
material diganti oleh agunan dalam bentuk jaringan sosial. Artinya, bilamana
nelayan sebagai nasabah bank tidak disiplin maka jaringan sosial itu yang ikut
bertanggung jawab. Kenyataan bahwa ada nelayan yang memanfaatkan jasa penyedia
modal non bank (perorangan), dengan risiko yang cukup berat, berangsur-angsur
mereka akan memanfaatkan jasa bank karena kemudahannya. Sebab, kemudahan dalam
memberikan pinjaman dan waktu pengembalian yang luwes merupakan faktor penarik
bagi nelayan, juga nelayan buruh, untuk memperoleh pinjaman dari pemodal
perorangan ini.
Perbaikan sistem distribusi pemasaran
menyangkut rekonstruksi sosial ekonomi yang mampu mensejajarkan posisi dari
pihak-pihak yang terkait di dalam aktivitas ini, seperti mekanisme pelelangan
dan berbagai dukungan teknis lainnya, misalnya cara mempertahankan kesegaran
ikan. Pemerataan pendapatan memang merupakan kenyataan yang sulit untuk
dijalankan, tetapi keinginan untuk saling membagi surflus produksi secara adil
perlu dikedepankan. Dengan demikian, peningkatan kesejahteraan komunitas
nelayan dapat dibangun melalui potensi lokal, yakni jaringan sosial yang
terbentuk pada komunitas nelayan itu sendiri.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Makalah ini
diharapkan dapat memberikan gambaran tentang jaringan sosial komunitas nelayan
tradisional terutama pada bidang produksi dan distribusi pemasaran dan masukan
dalam penyusunan program pemberdayaan ekonomi kerakyatan terutama upaya
peningkatan dalam bidang produksi (hasil menjadi lebih banyak) dan perbaikan
dalam bidang distribusi pemasaran (peningkatan pendapatan).
Saran
Masyarakat
pesisir pantai pangandaran masih membutuhkan pendidikan dan bantuan modal untuk
memajukan sektor perikanan di pangandaran tersebut dengan cara memberikan
nelayan wawasan yang lebih dan memberikan pelatihan-pelatihan untuk nelayan
yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar